Gagasan Toleransi Ulama Klasik
Oleh Nurul H Maarif dan Gamal Ferdhi
Kalimat demi kalimat kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil dibacakan para santri yang bersila mengelilinginya. Ia menyimak dengan khusyu’. Kadang menyela untuk meluruskan bacaan atau memberi penjelasan dari maksud penafsiran Abu Said al Baidhawi (w. 691 H/1191 M) terhadap ayat al-Qur’an tertentu.
“Simaklah, karya al-Baidhawi ini. Dalam kitab-kitab kuning memang banyak penjelasan mengenai batasan-batasan pembalasan yang boleh dilakukan apabila terjadi kekerasan. Saya sendiri sangat menghindari terjadinya kekerasan, apalagi kok sampai pertumpahan darah,” jelas Abdurrahman Wahid pada 1 Ramadhan 1427 H lalu di Masjid al Munawarrah, Ciganjur.
Sebulan Ramadhan penuh, Gus Dur, begitu cucu pendiri Nadhdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari itu biasa dipanggil, ngaji pasanan (mengaji di bulan puasa, red.) kitab kuning bersama para santrinya di pesantrennya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Kitab kuning, adalah sebutan khusus untuk karya-karya ulama abad pertengahan yang biasa dikaji di pesantren-pesantren NU. Kitab ini membahas berbagai bidang tertentu, diantaranya tafsir, fikih, aqidah, hadits, akhlak dan tasawuf.
Sebut saja misalnya, Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir paling terkenal di kalangan pesantren. Kitab ini sangat lunak dalam menafsirkan kebebasan berkeyakinan. Misalnya, saat mengulas Qs. Yunus ayat 99: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksakan manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?”
Penulis Tafsir al-Jalalain, yaitu Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H/1459 M) dan Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H/1505 M) menyatakan, “Jangan (kau paksa) dengan apa yang Allah Swt sendiri tidak ingin melakukannya terhadap mereka!” Begitu juga dengan al-Baidhawi yang menafsirkan, “Sesungguhnya perbedaan keinginan/kehendak mustahil disamakan dengan jalan paksa.” Sedang Ibn Katsir (w. 774 H/1373 M) dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim-nya menyatakan, “(Hidayah) itu bukan urusanmu, malainkan urusan Allah Swt.”
Contoh lainnya, Qs. al-Nahl ayat 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
al-Baidhawi menafsiri ayat ini dengan; “Tugasmu hanya menyampaikan (al-balaqh) dan mendakwahkan (al-da’wah). Sedang petunjuk (al-hidayah) dan kesesatan (al-dhalal) itu bukan urusanmu. Allah Swt lebih tahu siapa yang tersesat dan siapa yang mendapat petunjuk. Allah Swt lah yang (berhak) membalas mereka.”
Ibn Katsir sendiri menyatakan, “Kamu jangan berhasrat mengarahkan orang yang tersesat (dari jalan-Nya). Itu bukan urusanmu. Tugasmu hanya menyampaikan dan hisab itu urusan Kami (Allah Swt).”
Jika kitab-kitab tafsir banyak mengapresiasi perbedaan dan toleransi pada keyakinan kelompok lain, apakah kitab fikih, yang menurut Martin van Bruinessen dalam karyanya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat , sebagai “primadona” dalam pesantren, juga demikian?
Menurut Pengasuh Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir, kitab fikih juga sarat ajaran toleransi. “Berdasarkan bacaan saya. sering dijumpai hal-hal toleransi di dalam kitab fikih,” paparnya.
Kiai kharismatik ini lantas mencontohkan uraian fardhu kifayah dalam kitab Fath al-Mu’in karya Zain al-Din bin Abd al-‘Aziz al-Malibari (w. 975 H/1567 M) dari Mazhab Syafii. Menurutnya, penulisnya menguraikan, diantara fardhu kifayah adalah kiswatu ‘arin, memberi pakaian pada orang yang telanjang, termasuk kafir dzimmi (non muslim yang sudah menyerah, red). “Jadi, kalau ada kafir dzimmi telanjang, fardhu kifayah bagi umat Islam untuk memberi mereka pakaian,” ungkapnya.
Contoh lainnya, imbuh salah satu faqih NU terkemuka ini, jika umat muslim dan kafir dzimmi bersama dalam sebuah perahu yang keberatan beban, sehingga terancam tenggelam, maka harus ada barang-barang di atas perahu yang dikorbankan. Ini demi keselamatan manusia, termasuk keselamatan kafir dzimmi itu. “Kitab fikih banyak sekali bicara seperti itu,” kata Kiai Afif.
Karena itu, tegas Kiai Afif, kebodohan adalah penyebab kaum muslim mengumbar kekerasan terhadap orang yang berbeda keyakinan. “Itu karena ngaji-nya nggak tuntas. Semakin dalam ilmu agama seseorang, saya kira akan semakin toleran,” ujarnya.
“Umar bin Abd al-Aziz sendiri mengatakan, ma yasurruni lau anna umma muhammadin lam yakhtalifu. Aku tak gembira seandainya umat Muhammad ini tak berbeda. Ada perbedaan, maka ada toleransi,” jelasnya.
Penilaian sama dinyatakan Pengasuh Ponpes Nurul Islam Jember Jawa Timur, KH. Muhyiddin Abdussomad. Menurutnya, di dalam kitab Tanbigh al-Ghafilin karya Abu al-Laits al-Samarkandi (w. 373 H/983 M) dijelaskan, umat Islam harus bersikap santun baik kepada orang muslim, yahudi, nashrani, maupun yang berkeyakinan lain.
Ketika ada ayat, faqula lahu qaulan layyinan la’allahu yatadzakkaru aw yakhsya (Berkatalah, wahai Musa dan Harun, pada Fir’aun dengan halus, supaya dia sadar atau takut), sambungnya, itu ditafsirkan oleh penulis kitab ini, bahwa berkata pada Fira’un saja harus santun dan lemah lembut, apalagi pada selainnya.
“Fir’aun itu tidak hanya kafir, tapi zalim. Kepada orang kafir dan zalim kita harus sopan dan santun, apalagi pada orang yang tidak sama agama dan mereka berbaikan dengan kita. Tentunya kita salah besar jika bersifat congkak dan tidak menghormati mereka,” imbuh Kiai Muhyiddin.
Pandangan yang cenderung lunak dan toleran terhadap umat agama lain, juga disampaikan kitab Raudhah al-Thalibin karya Imam Yahya bin Sharaf An-Nawawi Ad-Dimasqi (w. 676 H/1278 M) dari Mazhab Syafii. “Imam al-Nawawi itu lahir pada masa pemerintahan telah rapuh dan hidup di komunitas yang ada Kristennya, di Damaskus, itu dia lebih lunak. Orang kafir menurutnya tidak boleh diperangi, kecuali kalau mereka melakukan hirabah (pemberontakan) pada pemerintah Islam,” kata Pengasuh Pesantren An-Nur, Surabaya, Jawa Timur KH Imam Ghazali Said.
Dari Mazhab Hanafi, kata Kiai Imam Ghazali, ada kitab al-Radd al-Mukhtar yang terkenal dengan Hasyiyah Ibn Abidin karya Muhammad Amin ibn Abidin (w. 1252 H/1836 M). “Ibn Abidin sangat toleran dalam mengapresiasi hukum-hukum non muslim, seperti asuransi,” jelas Wakil Syuriah PCNU Surabaya ini.
Karena itu, Kiai Imam Ghazali meyakinkan, kitab kuning secara keseluruhan lebih didominasi ajaran yang toleran. “Yang keras sangat sedikit. Jadi, bisa kita ambil kesimpulan, pada umumnya fikih klasik itu sangat toleran,” papar master bidang metodologi pengajaran bahasa Arab dari Khourtoum International University Sudan ini.
Kenyataan-kenyataan di atas seperti menepis Temuan Survey Nasional: Sikap dan Perilaku Kekerasan Keagamaan di Indonesia, yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Juli 2006 silam. Salah satu pusat penelitian UIN Jakarta itu menemukan, ajaran kitab kuning berpotensi mendorong terjadinya kekerasan antar agama.
“Dalam kitab kuning ada istilah heretic atau sesat. Itu ada kan? Itu jelas mendorong kekerasan terhadap pemeluk agama lain,” tegas peneliti PPIM Jajang Jahroni.
Tapi Jajang buru-buru menampik anggapan, bahwa survey lembaganya itu menyimpulkan mayoritas kitab kuning mendorong kekerasan. “Sebetulnya kita tidak sedang meneliti kitab kuning, melainkan kekerasan atas nama agama,” jelas Jajang.
Adanya tema fikih yang agak kaku dalam merespon perbedaan keyakinan, ini diakui KH Muhyiddin Abdussomad . “Karena fikih itu doktrinnya ke dalam. Jadi prinsipnya agak kaku. Dalam hal ini toleran, tapi dalam hal lain tidak toleran. Tapi saya kira tergantung siapa yang memahaminya. Semisal Gus Dur, Gus Mus, Pak Masdar, itu semua kan produk kitab kuning. Tapi implementasi toleransi mereka begitu luar biasa, layak kita teladani,” jelas Ketua PCNU Jember ini.
Penyebab banyaknya ulama pengusung toleransi di NU, ini diungkapkan KH Mahfudz Ridwan. “Salah satu yang mendorong sikap ini, karena mereka sering membaca kitab kuning. Kitab semisal Fath al-Mu’in, Fath al-Qarib dan yang lain, kebanyakan ajarannya kan tasamuh (toleransi, red)” kata Pengasuh Wisma Santri Edi Mancoro Gedangan, Salatiga (Lihat: Teladan Pengusung Tasamuh), ini pada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute.
Bahkan NU menjadikan tawasuth (moderat), i’tidal (keadilan), tawazun (berimbang) dan tasamuh (toleran), sebagai prinsip organisasi Islam terbesar itu. Prinsip-prinsip itu diperkenalkan mantan Rais Syuriah PBNU almarhum KH Ahmad Shiddiq.
“Itu memang diambil dari karya kitab kuning Sunni. Maksudnya untuk melindungi semua warga negara yang tidak hanya muslim, tapi terdiri dari berbagai etnis,” jelas KH Imam Ghazali Said.
Berdasarkan bukti-bukti itu, tak salah jika Gus Dur menegaskan, “Kalau kita baca kitab-kitab kuno, jika diandaikan diri kita hidup pada zaman kitab-kitab itu ditulis, maka banyak ditemukan penafsiran yang melampaui zamannya.”
Akhirnya, ajaran toleransi yang bertebaran di dalam kitab kuning, tidak seharusnya terkalahkan oleh segelintir ajaran yang memang berpotensi memantik munculnya sikap intoleransi pada perbedaan. Inilah esensi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.[]
*Suplemen TWI di Majalah Tempo, akhir November 2006
1 Comments:
Dalam amalan harian, kadang-kadang kita menafikan toleransi wujud. Mungkin sebab kita pengikut yang mengikut saja. Marilah kita mengikut dan memahami Islam itu.
Post a Comment
<< Home