Tuesday, November 14, 2006

Berpolitik tanpa Partai

Oleh Nurul H Maarif

NurulTULISAN Saiful Amien Shalihin, Agamawan dan Pilihan Politik (Minggu, 22 Februari 2004), yang mengajak atau bahkan "memprovokasi" para agamawan untuk terjun ke gelanggang politik praktis secara intensif, cukup menggelitik. Di tengah-tengah berbagai kecaman kenegatifan dunia politik, para agamawan yang selama ini diklaim sebagai pengawal moral bangsa malah diajak nyemplung ke lumpur politik. Ini sama saja dengan mencelupkan sebelah kaki para agamawan ke dalam neraka.

Karena itu, pandangan Saiful yang cukup optimistis itu perlu mendapat sorotan. Jujur saja, sebagai santri, penulis tidak rela dan merasa eman-eman bila para agamawan, terutama kiai-kiai pesantren, menggadaikan urusan masyarakat yang lebih penting, untuk pindah dunia sebagai politisi praktis. Keberatan ini didasarkan beberapa alasan.

Pertama, berpolitik adalah keharusan bagi siapa pun, baik agamawan, kiai, atau masyarakat umum. Tapi, berpolitik dalam pengertian bukan politik praktis yang berkendaraan partai politik tertentu. Berkaitan dengan ini, Syaikh Ibnu ’Aqil -seperti acapkali dinukil oleh Masdar F. Mas’udi- memberikan definisi politik (bahasa agama; siyasah) secara apik. Menurut dia, politik tak lain berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemafsadatan (kerugian), kendati tidak berlandaskan syara’ dan tidak didasarkan wahyu.

Maka, perilaku apa pun yang mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, itulah politik. Lebih luasnya, perilaku politik ini dikenal dengan politik amar makruf nahi munkar. Politik seperti ini yang semestinya dilakukan para agamawan. Mereka tetap harus berpolitik, tetapi di luar sistem politik praktis. Berpolitik, tetapi tak berpartai. Itu lebih penting ketimbang harus masuk dalam gelanggang politik praktis. Toh mereka tetap bisa menyuarakan kebenaran.

Hal ini sekaligus menepis pandangan Saiful yang menyatakan, "Dengan berpolitik, masuk ke salah satu parpol, tokoh agama bisa menyuarakan kebenaran….". Seakan, kebenaran hanya dapat disuarakan dengan satu jalan; masuk parpol. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.

Kedua, para agamawan harus diposisikan sebagai pengawal moral masyarakat, sampai kapan pun. Konsekuensinya, mereka harus menjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar makruf nahi munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol para pelaku politik praktis itu sendiri. Karena itu, tatkala para agamaman berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Masyarakat yang seharusnya dibimbing? Ini akan rancu dan lucu. Sebab, tidak seharusnya para agamawan itu dikontrol. Mereka itulah simbol kontrol yang sejati. Yang lebih penting, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga dapat berinteraksi dengan masyarakat jenis apa pun.

Ketiga, betul, Khomeini dan tokoh-tokoh NU dulu banyak yang berpolitik praktis. Tapi, bukan berarti hal itu menjadi legitimasi bagi para agamawan selanjutnya untuk berpolitik praktis. Perbedaan situasi dan kondisi menuntut adanya perbedaan keputusan politik. Masuknya para agamawan pada dunia politik praktis dulu memang sangat dimungkinkan dan bagus saja. Tapi kini?

Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Sebut saja KH Zainuddin M.Z. Ruang geraknya kian memudar. Memang, beliau masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi, tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai dengannya, akan menjadi alergi. Karena, walau bagaimanapun, politik praktis akan mudah memunculkan alergi bagi masyarakat yang memang tidak sehaluan.

Dengan alasan-alasan di atas, sekali lagi, peran para agamawan harus dinetralkan dari virus partai atau politik praktis. Berpolitiklah di luar sistem atau politik amar makruf nahi munkar. Berpolitiklah tanpa partai. Karena sejatinya, itulah yang lebih penting. Akhirnya; Politik yes, politik praktis no. Wa Allah a’lam.[]

*Jawa Pos, Minggu, 29 Februari 2004

1 Comments:

At 9:50 PM, November 22, 2006, Blogger jiwakitamerdeka said...

Dengan atau tanpa partai politik, dakwah tetap berjalan untuk pimpin manusia kepada syurga Allah. Partai politik hanya sebagai alat (means) untuk pastikan Islam di hayati keseluruhannya.

Dengan atau tanpa parti politik, pastikan kita berjuang bersama jamaah. Rasulullah s.a.w. yang sudah sempurna pun ada sahabat-sahabat perjuangannya. Inikan pula kita. Kita tentu lebih perlu kepada kawan-kawan seperjuangan, iaitu jamaah. Wassalam.

 

Post a Comment

<< Home