KH Maman Imanul Haq Faqih: Ibadah Ritual Tak Cukup Membangkitkan Kemanusiaan
Oleh Nurul H. Maarif
Pengasuh Ponpes al-Mizan, Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, KH Maman Imanul Haq Faqih tak canggung untuk mendakwahkan gagasan keberagamaan melalui kesenian.
�Padahal ada pesantren yang memusuhi kesenian. Katanya seniman itu setan, sedangkan pesantren itu surga,� tutur Kang Maman, panggilan akrab kiai berusia 34 tahun ini.
Sebab itu, di pesantren yang didirikannya pada 1998 itu, selain mengajarkan kitab kuning dan tradisi khas pesantren lainnya, ia juga mengembangkan berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun modern. Kepada 700-an santrinya, misalnya, ia mengajarkan tari kontemporer, musik, gamelan shalawat bahkan debus.
�Kekerasan hanya cukup kita jadikan tontonan menghibur dan sebagai ibrah (teladan, red.) moral, seperti pertunjukan debus itu. Tidak ada korban. Tidak ada yang disakiti,� ujarnya mengomentari kesenian debus.
�Ini membuat kita berfikir supaya tidak melakukan kekerasan yang sebenarnya pada orang lain,� imbuhnya.
Melalui pertunjukan seni, kata Kang Maman, dirinya dan para santri ingin melakukan kritik terhadap ibadah ritual banyak kaum muslim di negeri ini. Menurutnya, ibadah ritual seolah tidak cukup untuk membangkitkan rasa kemanusiaan.
�Kalau tadi dipertontonkan pecahan beling atau kaca yang dibasuhkan ke muka, itu sebagai peringatan. Bangsa kita kalau wudhu sudah tidak cukup dengan air, tapi harus dengan beling atau kaca, karena hari ini air sudah tidak bisa masuk ke pori-pori ruhani kita. Banyak orang yang ber wudhu , tapi tidak punya rasa malu. Banyak orang yang ber wudhu , tapi wajahnya masih terlihat kelam dan karatan. Mari kita ber wudhu untuk membersihkan muka-muka kemanusiaan kita, menguatkan tangan-tangan kemanusiaan kita, dan itu semua demi kita,� ajaknya.
Bahkan kiai muda kelahiran Sumedang, 8 Desember 1972 ini menyatakan, pesantren harus mampu mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya. Kalau bisa, imbuhnya, pesantren harus menyusun strategi kebudayaan.
�Ini sebagai ikhtiar menerobos ide-ide untuk mempertemukan sejumlah pemikiran yang emansipatif, eskploratif, dan membumikan nilai keberagamaan dalam konteks kemanusiaan,� katanya suatu ketika dalam acara Halaqoh Budaya Pesantren dan Seni Tradisi: antara Relasi dan Hegemoni , di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat.
Tentang group gamelan shalawatnya yang dinamai Qi Buyut misalnya, alumni Ponpes Bantar Gedang, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Raudlotul Mubtadi�in Pekalongan Jawa Tengah, dan Ponpes Ar-Raudloh Tambak Beras Jombang Jawa Timur ini mengungkapkan, nama itu diambilnya dari kosa kata Arab.
�Qi Buyut itu dari bahasa Arab. Qi terambil dari kata waqa yaqi yang artinya jaga. Dan buyut artinya rumah. Jadi maksudnya, jagalah rumah hati, rumah kemanusiaan, rumah agama dan sebagainya,� katanya. �Qi Buyut ini personilnya adalah santri seniman,� tambahnya.
Yang menarik, melalui seni ini, ia mampu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Penghayat Kepercayaan, Jemaah Ahmadiyah dan sebagainya, tanpa ada sekat apapun. Ini tak lain karena seni atau budaya mampu melembutkan kekakuan sikap dan menampilkan penghargaan terhadap perbedaan.[]
*Suplemen WI di Majalah Gatra
1 Comments:
Sejak 1994, baru kulihat lagi sosok maman imanul haq tahun 2007 saat diliput disebuah tv swasta tentang pondok pesantren al-mizan. Saat itu aku terperangah melihatnya karena beliau adalah teman sekamar saat nyantri di pondok Arroudlah "Bahrul Ulum" Tambakberas Jombang Jatim. Sosoknya yang tampan, bijak dalam bersikap, kemampuan dalam mengorganisir, kemampuan sebagai fasilitator dan konsultan bagi teman di pondok.
Masihkah beliau ingat dengan sosok AHMAD ROFIQ dari Cilacap???
Thanks buat mas Nuha
salam kenal ahmadrofiq.com
Post a Comment
<< Home