Friday, May 05, 2006

Berpolitik Tanpa Partai

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulHingga kini, posisi agamawan dalam kancah politik praktis, masih menyisakan perdebatan sengit. Setidaknya, ada dua kelompok besar yang berseberangan pikiran dalam hal ini. Kelompok pertama menilai, agamawan harus terjun langsung ke dalamnya dengan mengendarai partai tertentu. Itu bukan dosa dan malah jihad mulia. Karena, kerusakan yang ada di dalam kekuasaan politik, dapat mereka benahi secara langsung. Mereka bisa yughayyir biyadih (merubah langsung dengan kekuasaan). Dan itu amar ma'ruf nahy munkar yang paling efektif bagi mereka, Dengan demikian, kelompok ini cukup optimis bahwa hanya dengan masuk ke sana, agamawan dapat berkiprah lebih banyak bagi kemaslahatan masyarakat. Ini biasanya digaungkan oleh kelompok agamin-non-sekuler.

Tentu, ada kelompok lain yang tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Kelompok ini, memandang tidak seharusnya agamawan masuk dalam gelanggang politik praktis, Ada persoalan lebih penting dan lebih besar yang harus ditangani mereka. Selain itu, tak dapat dibantah lagi, gelanggang politik hanya sarat dengan kepentingari sesaat. Padahal, agamawan tidak seharusnya memikirkan kepentingan sesaat itu. Mereka harus menomor wahidkan kepentingan abadi; kemaslahatan umat. Amar ma'ruf nahy munkar terbesar justru jihad mereka di luar sistem, bukan larut dalam politik praktis. Ini biasanya disuarakan kelompok sekuler yang memiliki doktrin pemisahan ngara dan agama atau ruang privat dan ruang sosial

KH Idris Marzuki, Pengasuh Ponpes Lirboyo, pernah menyatakan; “Biarlah umat yang menilai semua dinamika yang berkembang. Ulama hanya berkewajiban menjaga agar umat tidak terperosok ke dalam situasi yang salah.” (Koran Tempo, 9 Maret 2004). Pernyataan ini bisa dimaknai bahwa agamawan tidak seharusnya turun langsung dalam gelanggang politik praktis. Sebab, tatkala terjadi gonjang-ganjing impeachment Gus Dur, sekelompok ulama - yang dimotori antara lain oleh KH Idris Marzuki yang kini justeru menjadi ‘seteru’ Gus Dur -, “ngotot” membelanya. Pledoi ulama ini mengindikasikan, mereka telah terjerat dalam gelanggang politik praktis, kendati secara formal (barangkali) tidak. Sebab itu, penarikan diri para ulama dari gelanggang politik ini, diduga karena faktor traumatis atas krisis Gus Dur waktu itu.

Akhirnya, pesan yang tersirat dari kejadian ini, agamawan mesti netral dari virus politik praktis. Memang, sikap netral seperti inilah yang seharusnya diambil para agamawan. Ini didasarkan pada beberapa alasan.

Pertama, tanpa masuk ke dalam gelanggang politik praktis, tentu mereka masih bisa berpolitik kelas tinggi atau high politics. Berpolitik tidak harus masuk ke sana. Sebab, menurut pemikir dari kalangan Mazhab Maliki Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, politik (al-siyasah) itu berarti segala perbuatan yang akan membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan manusia dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' atau wahyu (al-siyasah ma kana fi’lan aqraba ila al-shalah wa ab’ada ‘an al-fasad wain lam yadha’hu al-rasul wa la nazala bihi wahyun). Dengan demikian, berpolitik dalam pengertian “mewujudkan kemaslahatan” dan “menghilangkan kemafsadatan” adalah wajib, yagn bisa ditempuh melalui jalur luar. Ini yang disebut politik amar ma'ruf nahy munkar yang semestinya diperjuangkan para agamawan.

Kedua, para agamawan adalah pengawal moral masyarakat, hingga kapan pun, Konsekuensinya, mereka harus rnenjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Malah, melalui tugas mulia politik amar ma 'ruf nahy munkar, mereka juga berkewajiban mengontrol perilaku para pelaku politik praktis. Kalau para agamawan berbondong-bondong menjadi pelaku politik praktis, siapa yang mengontrol mereka? Mereka itulah seharusnya simbol kontrol yang sejati. Dan yang lebih penting lagi, netralitas posisi mereka akan terjaga, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat.

Ketiga, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mewariskan persoalan politik kepada agamawan (apalagi mewajibkan masuk gelanggang politik praktis), kendati beliau kepala negara. Karena, agamawan telah diplot untuk ngopeni persoalan masyarakat luas, tanpa mempedulikan latar belakangnya. Memang, Nabi SAW dan Khulafa al-Rasyidin rnerupakan cermin agamawan yang terjun langsung dalam wilayah politik praktis. Kenapa agamawan tidak meniru mereka saja? Ini karena latar belakang panggung politik yang berbeda. Dulu, panggung politik begitu bersih, asri, indah, dan nyaman. Sehingga, mereka akan lebih mudah melakukan amar ma'ruf nahy munkar jika langsung terjun ke sana. Tapi kini, panggung politik begitu kotor dan busuk, tidak nyaman bagi mereka. Terlalu eman bila mereka memasukinya. Perbedaan latar politik ini, juga harus diikuti oleh perubahan keputusan politik agamawan.

Keempat, berdasarkan pengalaman, banyak tokoh agama yang setelah pindah ke haluan politik praktis, peran kemasyarakatannya kian sempit. Ruang geraknya kian rnemudar. Memang, mereka masih menjadi tokoh masyarakat. Tapi tak dapat dipungkiri, masyarakat yang tidak separtai, akan rnudah alergi. Setidak-tidaknya akan menjaga jarak. Ini dampak yang biasa muncul dalam dunia politik praktis.

Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, posisi yang paling strategis bagi agamawan adalah “berpolitik tanpa partai.” Artinya, melakukan politik amar ma'ruf nahy munkar di luar gelanggang politik praktis. Mereka harus menjaga moral masyarakat (termasuk para politisi) tanpa dicemari oleh embel-ernbel partai politik. Wallahu a’lam.[]

*Pernah dipublikasikan Koran Jawa Pos.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home