PBNU Yang Alergi Perbedaan
Oleh Nurul Huda Maarif
Diberitakan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi mengecam penolakan PP Fatayat Nahdlatul Ulama terhadap Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) sebagai tindakan indisipliner. Hal ini ditegaskan Hasyim usai menerima Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, di Gedung PBNU, Rabu (26/4/06),
Dikatakannya juga, berdasar mandat Rais Amm PBNU KH Ahmad Sahal Mahfudz, PBNU akan mengirimkan surat peringatan kepada seluruh badan otonom (banom) maupun lembaga lain di bawah PBNU, supaya memiliki kesamaan sikap sesuai kebijakan resmi PBNU terkait pro-kontra RUU APP. Dan kebijakan resmi PBNU yang dikeluarkan pada Jum’at (17/3/06) dan ditandatangani oleh KH Ahmad Sahal Mahfudz (Rais Aam), Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Katib Aam), KH A. Hasyim Muzadi (Ketua Umum), dan Dr. Endang Turmudi (Sekretaris Jenderal), adalah mendukung segera pengesahan RUU APP.
Tak disangkal lagi, rencana pemberian ‘warning award’ PBNU itu merupakan buntut dari jumpa pers bertema Selamat Hari Kartini; Tolak RUU APP, yang digelar pada 20 April 2006 lalu di Gedung PBNU. Kala itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, Rieke Diah Pitaloka, Olga Lydia dan Gugun Gondrong, menyampaikan penolakannya atas RUU APP. Tak ketinggalan, Ketua Umum PP Fatayat NU Maria Ulfa Anshor, yang saat itu hadir, turut menyatakan penolakannya atas RUU APP ini. Inilah pemantik ‘kegeraman’ PBNU, barangkali.
‘Ala kulli hal, setidaknya ada tiga point penting yang patut dicatat dari ‘perseteruan’ PBNU dengan ‘puteri’nya, Fatayat NU ini. Pertama, rencana PBNU memberi peringatan pada Fatayat NU karena berbeda pandangan, menunjukkan secara vulgar betapa sikap moderatisme atau penghargaan atas keragaman pandangan, telah hilang dari lingkaran PBNU. Kenyataan ini bisa berdampak jauh. Misalnya klaim NU sebagai bandul moderatisme Islam Indonesia, akan luntur seiring adanya upaya penunggalan pandangan ini. Ujungnya, moderatisme hanya akan menjadi mitos bagi NU.
Kedua, hilangnya sikap moderatisme ini akan berdampak serius pada munculnya otoritarianisme dalam bidang pemikiran keagamaan. Pandangan di luar keresmian PBNU akan dianggap salah dan menyimpang, sehingga layak ‘disesatkan’ atau minimal wajib diluruskan. Inilah sebentuk tirani intelektualitas sejatinya, yang sama sekali tidak memberi kesempatan pada pihak lain untuk berbeda.
Ketiga, sikap yang ditunjukkan Fatayat NU, yang berani berseberangan 180 derajat dengan PBNU itu membuktikan, bahwa wajah NU tidak tunggal. Wajah NU itu beragam. Dan menariknya, sikap yang berbeda ini muncul dari kelompok perempuan NU, kelompok yang menjadi obyek tunggal dalam RUU APP. Dengan ujaran lain, penolakan yang disuarakan Ketua Umum PP Fatayat NU itu tak lain adalah suara dari banyak (bukan semua) kaum perempuan NU itu sendiri. Karena itu, upaya penunggalan pandangan dalam lingkungan NU tidak akan pernah menuai hasil, karena sejak awal NU memang berdiri di atas keragaman. Itulah fitrah NU, yang tak dapat diubah, hatta oleh PBNU sekalipun.
Untuk itu, jika terbukti ada ‘intimidasi’ dari PBNU kepada Fatayat NU untuk menyamakan sikap, maka dugaan banyak kalangan seperti M. Mas’ud Adnan dalam artikelnya NU Mulai Miring ke Kanan? (Jawa Pos, 28/3/ 2006) dan Zuhairi Misrawi dalam artikelnya Nahdlatul Ulama Makin Radikal (Koran Tempo 22/4/2006), bahwa PBNU kian ke kanan dan kian mundur, itu telah menemukan titik terang jawaban. Titik terang yang juga berarti kegelapan bagi NU. Dan itulah kerugian maha dahsyat bagi masa depan NU yang sedang dihadapkan pada zaman penduniaan (globalization).
Dan untuk mengerem kecenderungan negative PBNU ini, ada baiknya kita mempertimbangkan pandangan intelektual Mesir Dr. Athif Iraqi. Menurutnya, paling tidak ada tiga point utama yang saat ini harus dikedepankan umat Islam guna menyongsong situasi penduniaaan yang tak mungkin terelakkan lagi, yaitu pertama, keterbukaan (al-infitah). Umat Islam, tentu saja termasuk NU di dalamnya, harus mendahulukan keterbukaan dalam menyikapi keragaman pandangan. Keharmonisan antar berbagai antar akan didapatkan dengan langkah ini.
Kedua, dialog (al-hiwar). Dialog dengan jalan musyawarah, kendati tidak mesti harus mencapai kemufakatan dalam arti ketunggalan pandangan, juga tak kalah penting untuk dikedepankan. Rayakanlah perbedaan dengan senyum mengembang. Apalagi di zaman kekinian, yang tingkat intelektualitas dan argumentasi kian beragam, dialog dengan cara yang baik dan saling menghargai (wa jadilhum bi allati hiya ahsan) lebih tak dapat dielakkan lagi, walau tidak setiap dialog rasanya manis dan menyenangkan.
Dan ketiga, kemajuan (al-taqaddum). Umat Islam harus berfikir jauh ke depan, tidak pragmatis, dan apalagi mundur ke belakang. Dan sebenarnya, upaya-upaya penunggalan pandangan itu tidak selaras sama sekali dengan semangat al-taqaddum ini. Alih-alih memajukan Islam, penunggalan ini malah akan memerosokkan Islam ke lembah kemunduran yang sangat dalam.
Akhirnya, sebagai kawula NU, penulis masih berharap, semoga PBNU bisa merayakan perbedaan dengan riang kendati ‘pahit’ rasanya dan semoga apa yang ditunjukkan PBNU itu bukanlah sikap antipati, melainkan hanya alergi pada perbedaan. Jika hanya alergi, masih ada harapan untuk disembuhkan dengan memberi obat penawar. Tapi jika sudah antipati, fantadhir al-sa’ah (tunggulah saat kehancurannya). Wa Allah a’lam.[]
Matraman, Kamis 27 April 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home