Thursday, February 07, 2008

Kikisnya Budaya Dialog Kita

Oleh Nurul H. Maarif

Nurul HudaBenarkah budaya dialog/musyawarah dalam diri kita kian hari kian terkikis? Siapapun tidak akan mudah menjawab pertanyaan ini. Namun jika melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada bulan pertama 2008 ini, di berbagai wilayah negeri ini, tampaknya kita sulit membantah pertanyaan itu. Semuanya seakan justru membenarkannya.

Umpamanya, tindak anarkisme hebat yang dilakukan aremania (suporter Arema Malang). Lantaran menilai wasit pertandingan Arema Malang vs Persiwa Wamena (1-2) tidak adil dan diskriminatif, karena menganulir 3 gol yang dilesakkan Arema, mereka lantas memporak-porandakan Stadion Brawijaya milik Persik Kediri. Kursi-kursi dihancurkan. Gawang dibakar. Fasilitas stadion lainnya diobrak-abrik. Kerugian ditaksir mencapai miliaran. Wasit dan asistennya pun dikeroyok.

Di Mataram terjadi bentrok antar mahasiswa IAIN Mataram dengan aparat kepolisian. Pemicunya adalah kebijakan rektorat menaikkan biaya smester. Karena dinilai memberatkan, mahasiswa lantas menggelar aksi penolakan dengan berdemonstrasi. Akibatnya, tiga mahasiswa ditangkap. Efek dominonya, demonstrasi tidak hanya dilakukan untuk menolak kebijakan rektorat, tapi juga untuk meminta pembebasan tiga rekan mereka.

Di Jawa Timur juga terjadi bentrok antara masyarakat yang menolak pengoperasian PT Petrochina, dengan aparat kepolisian. Seorang warga mengalami luka serius di kepala, sehingga harus dirawat. Dari luar Jawa tersiar kabar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang sedang menggelar aksi demonstrasi terlibat bentrok dengan pengiring jenazah. Seorang pengiring jenazah dikeroyok hingga babak belur.

Yang terbaru, ribuan guru dan siswa di Meringin Jambi, mogok belajar-mengajar (hingga artikel ini ditulis, mereka telah menjalankan aksinya selama empat hari). Mereka berdemo menuntut 20 % alokasi APBD untuk kepentingan pendidikan, sesuai amanat Undang-undang. Nyatanya Pemda hanya menganggarkan 4,3 % dari jumlah APBD Rp 900 M. Inilah pemicu kekecewaan mereka.

Kikisnya Dialog
Melihat peristiwa-peristiwa di atas, disamping berbagai peristiwa serupa lainnya yang tidak terekspos media masa, tampaknya kita cenderung membenarkan bahwa budaya dialog diantara kita kian hari kian terkikis, terkikis dan terkikis. Dalam menyelesaikan persoalan, bahasa dialog tidak lagi kita lirik, kalah oleh bahasa anarkisme, demonstrasi, ngotot-ngototan, bentrok dan seterusnya. Jika ini terus terjadi, tidak mustahil budaya dialog akan betul-betul pudar. Predikat sebagai penjunjung asas "musyawarah untuk mufakat" pun akan luntur dari diri kita.

Diakui atau tidak, perubahan budaya ini dipantik oleh banyak hal: kemiskinan yang kian menggila, perpolitikan yang carut-marut, ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana, dan seterusnya. Namun, begitu mudahnyakah semua ini mengikis budaya dialog kita yang telah tertanam begitu lamanya? Atau ada hal lain yang salah dalam diri kita, misalnya terkait penghayatan kita pada ajaran agama?

Dalam doktrin agama apapun, tak terkecuali Islam, dialog atau musyawarah sangat dipentingkan untuk dijadikan alat menyelesaikan berbagai persoalan; keagamaan, sosial, politik maupun ekonomi. Tentu dialog yang betul-betul dilakukan dengan kesadaran bersama untuk mencari kemufakatan, ditempuh dengan kesabaran, kerendahhatian, dan tanpa emosi. Jika hal-hal ini dijalankan, peristiwa anarkisme di atas tidak seharusnya terjadi.

Karena pentingnya budaya ini, Allah SWT berfirman, "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (Qs. Ali Imran: 159). Melalui ayat ini, Allah SWT melarang kita berbuat kasar pada musuh sekalipun dan menyuruh kita menjalankan musyawarah jika ada persoalan. Karenanya, tidak seharusnya emosi dikedepankan, lebih-lebih jika yang kita hadapi adalah saudara sendiri, yang hidup di tanah air yang sama.

Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka," (Qs. al-Syura: 38). Dialog inilah yang senantiasa dijalankan Ras�lull�h SAW, dalam hal apapun. Ketika suatu saat beliau menempatkan pasukan perangnya di daerah yang tandus-kering tak berair, beliau lantas meminta pandangan para sahabat. al-Hubbab bin al-Mundzir, lantas memberi masukan. Tempat itu, menurutnya, tidak strategis, sehingga akan menyulitkan pasukan muslimin. Atas usulan sahabatnya ini, beliau menerima dan mengubah posisi pasukannya. (Sangat banyak contoh lain terkait sikap Rasul ini).

Firman Allah SWT dan sikap Rasulullah SAW itu menunjukkan betapa urgennya dialog. Karena dialog adalah naluri kita. Kehilangan semangat dialog, berarti terkikisnya naluri kemanusiaan kita. Namun kami yakin, siapapun (di kedalaman hatinya) setuju akan pentingnya dialog untuk mengatasi berbagai persoalan. Hanya saja masalahnya, kesadaran untuk menjalankan dialog ini acapkali terkalahkan oleh ego dan emosi, sehingga dialog dianggap tidak penting dan tidak bermanfaat.

Jika hal ini yang terjadi, tidak malukah kita disandangi predikat sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi-tinggi asas "musyawarah untuk mufakat" Karena hal itu sesungguhnya bukanlah budaya kita. Budaya kita adalah dialog, musyawarah, kekeluargaan, guyub, gotong-royong dan seterusnya.

Akhirnya, semoga dialog atau musyawarah tidak kehilangan fungsi dan manfaatnya di negeri ini. Wa Allah a'lam.[]

Jurang Mangu, Sabtu, 26 Januari 2008

(Dimuat di Radar Banten)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home