Oleh Nurul Huda Maarif

Juara pertama Lomba Baca al-Qur'an tingkat Taman Pendidikan al-Qur'an se-Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dalam rangka Hari Amal Bhakti Departemen Agama ke-45, itu akhirnya digondol Muslihin Rozi.
Padahal pada saat mengikuti lomba, yang digelar pada 15 Desember 1990 itu, Muslihin belum genap berumur 10 tahun. Dia masih duduk di kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah.
Namun kemampuan siswa Taman Pendidikan al-Qur'an (TPA) Darus-Salam Kemiri Subah Batang, Jateng, membaca al-Qur'an tidak diragukan. Di bawah gemblengan Ustadz Mudha'af Adam, Muslihin kecil -- yang kini menginjak dewasa -- begitu lancar dan fasih melafalkan ayat-ayat al-Qur'an.
"Itu berkat metode Qiraaati yang kita ajarkan," ujar pengurus Ponpes Darus-Salam Syamsul Maarif Syahid, yang kala itu turut mendampingi Muslihin kecil.
Metode baca al-Quran Qira'ati ditemukan KH. Dachlan Salim Zarkasyi (w. 2001 M) dari Semarang, Jawa Tengah. Metode yang disebarkan sejak awal 1970-an, ini memungkinkan anak-anak mempelajari al-Qur'an secara cepat dan mudah.
Hal ini diakui pengajar metode Qira'ati, yang juga asisten Ketua Dewan Masjid Indonesia, Abdullah Syafii Damanhuri. Menurutnya, ini lantaran Qira'ati menawarkan pengajaran yang sistematis dan mendetail.
"Misalnya, metode ini mengajarkan bacaan gharib (bacaan langka, red.) dalam al-Qur'an, yang tidak diajarkan metode lain," ujar peraih syahadah (sertifikat) Qira�ati dari Ustadz Abu Bakar Zarkasyi, putera KH. Dachlan Salim Zarkasyi.
Kiai Dachlan yang mulai mengajar al-Qur'an pada 1963, merasa metode baca al-Qur'an yang ada belum memadai. Misalnya metode Qa'idah Baghdadiyah dari Baghdad Irak, yang dianggap metode tertua, terlalu mengandalkan hafalan dan tidak mengenalkan cara baca tartil (jelas dan tepat, red.)
Saat itu juga, terbetik di benak Kiai Dachlan keinginan menyusun metode yang mudah dan digemari anak-anak, dengan orientasi bacaan tartil. Bertahun-tahun dengan penuh ketekunan dan kesabaran, Kiai Dachlan mengamati dan meneliti majlis pengajaran al-Qur'an di banyak mushalla, masjid, dan majlis tadarus al-Qur'an.
Ia pun kecewa. Karena dari hasil pengamatannya, murid-murid pengajian tidak mengindahkan mad (bacaan panjang pendek, red.). Itu membuatnya lebih serius untuk menemukan metode yang mujawwad murattal (mengajarkan tajwid dan cara baca tartil, red.). Kiai Dachlan kemudian menerbitkan enam jilid buku Pelajaran Membaca al-Qur'an untuk TK al-Qur'an untuk anak usia 4-6 tahun pada l Juli 1986.
Usai merampungkan penyusunannya, KH. Dachlan berwasiat, supaya tidak sembarang orang mengajarkan metode Qira'ati. Tapi semua orang boleh diajarkan Qira'ati.
"Dalam 100 siswa/santri hanya 1 orang yang kurang pandai. Jika ada lebih dari 1 orang yang kurang pandai, maka yang perlu dipertanyakan gurunya," pesan pendiri TPA Roudhatul Mujawwidin Semarang ini.
Untuk mengajarkan buku jilid 1-2 metode ini, guru diharuskan telaten mengajari murid seorang demi seorang. Ini supaya guru mengerti kemampuan anak-anak didiknya. Untuk jilid 3-6 dilakukan secara klasikal, yaitu beberapa murid membaca dan menyimak bersama dalam satu ruangan.
Dalam perkembangannya, sasaran metode Qiraati kian diperluas. Kini ada Qiraati untuk anak usia 4-6 tahun, untuk 6-12 tahun, dan untuk mahasiswa.
Setelah metode Qira'ati, lahir metode-metode lainnya. Sebut saja metode Iqra' temuan KH. As'ad Humam dari Yogyakarta, yang terdiri enam jilid. Dengan hanya belajar 6 bulan, siswa sudah mampu membaca al-Qur'an dengan lancar.
Iqra' menjadi populer, lantaran diwajibkan dalam TK al-Qur'an yang dicanangkan menjadi program nasional pada Musyawarah Nasional V Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), pada 27-30 Juni 1989 di Surabaya.
Tiga model pengajaran metode ini, adalah; pertama, Cara Belajar Santri Aktif (CBSA). Guru tak lebih sebagai penyimak, bukan penuntun bacaan. Kedua, privat, yaitu guru menyimak seorang demi seorang. Ketiga, asistensi. Jika tenaga guru tidak mencukupi, murid yang mahir bisa turut membantu mengajar murid-murid lainnya.
Keprihatinan akan banyaknya masyarakat yang buta huruf Arab, menggugah Otong Surasman menemukan metode al-Bayan. Al-Bayan, yang hanya satu jilid dengan 71 halaman, ini disusun sejak 1994.
Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an Jakarta ini mulai menuangkan penelitiannya dalam tulisan tangan pada 1995. Awalnya, penemuan itu dinamai metode Insani. Setelah dievaluasi, metodenya dipadatkan, dan namanya diubah menjadi al-Bayan. Dengan belajar enam bulan, murid mampu melafalkan ayat al-Qur'an secara baik.
Hattaiyyah adalah metode baca al-Qur'an yang paling fantastis. Dengan metode penemuan Muhammad Hatta Usman, ini anak didik mampu membaca al-Qur'an dalam waktu 4,5 jam. Metode ini akan lebih mudah diterapkan bagi anak didik yang telah mampu baca tulis huruf latin. Karena metode ini menggunakan pendekatan Bahasa Indonesia.
Caranya, 28 huruf Arab dicari padanannya dalam aksara Indonesia. Tanda baca pun diperkenalkan dalam rumus-rumus bahasa Indonesia. Sehingga, hanya dengan enam kali pertemuan, masing-masing 45 menit, anak didik bisa membaca al-Qur'an.
Walau kurang dikenal, metode al-Barqy dapat dinilai sebagai metode cepat membaca al-Qur'an yang paling awal. Metode ini ditemukan dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Muhadjir Sulthon pada 1965. Awalnya, al-Barqy diperuntukkan bagi siswa SD Islam at-Tarbiyah, Surabaya. Siswa yang belajar metode ini lebih cepat mampu membaca al-Qur'an. Muhadjir lantas membukukan metodenya pada 1978, dengan judul Cara Cepat Mempelajari Bacaan al-Qur'an al-Barqy.
Uniknya, metode ini memadukan ho-no-co-ro-ko (aksara Jawa) dan huruf Arab. Hanya saja, untuk alasan efektifitas, aksara Jawa yang tersusun dari lima suku kata dipadatkan menjadi empat suku kata.
Terinspirasi Qira'ati, Pengasuh Ponpes Darul Falah Jepara Jawa Tengah, KH. Taufiqul Hakim membuat Amtsilati pada 2001. Bedanya, Qira'ati untuk memudahkan membaca al-Qur'an, Amtsilati untuk memudahkan membaca kitab gundul (kitab tanpa harakat, red.) atau kitab kuning.
"Terdorong dari metode Qira'ati yang mengupas cara membaca yang ada harakatnya, saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harakatnya," kata Kiai Taufiq (baca: Kitab Gundul Bukan Lagi Hantu).
Jauh sebelum Amtsilati, Pengasuh Ponpes Salafiyyah Seblak Jombang Jawa Timur almarhum KH. Muhammad Ma'shum bin Ali, menggubah metode canggih memahami sharf (bentuk dan perubahan kata dalam Bahasa Arab, red.).
Metodenya itu disusun dalam karya berjudul al-Amtsilah al-Tashrifiyyah, cetakan CV Pustaka al-Alawiyah Semarang. Di sana diuraikan bentuk-bentuk dan perubahan kata; kata kerja lampau, sekarang, akan datang, kata benda, subjek, dan seterusnya, hingga sangat mendetail.
Saking pentingnya, metode gubahan menantu Hadhratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asyari ini digunakan di hampir seluruh pesantren di negeri ini. Santri-santri wajib menghafalnya, jika ingin mumpuni menguasai kitab kuning.
"Di pesantren Sunda kitab ini juga digunakan," ujar Pengasuh Ponpes al-Ikhwan Cigadung Bandung, yang juga Ketua Tanfidziah PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil.
Karya ini juga telah diuji Tim Penilai Buku Ditjen Binbaga Islam Tahun 1991/1992. Hasilnya, berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam No. 58/E/1992, tanggal 5 September 1992, karya ini dinilai memenuhi syarat sebagai bahan bacaan pelajaran keislaman.
Ada juga karya lain berjudul Murad al-Awamil Mandaya karya Syeikh Nawawi bin Muhammad Ali bin Ahmad, dari Mandaya Carenang Serang, Banten. Karya ini mengulas masalah nahwu dengan latar Bahasa Arab yang ringan. Di pesantren wilayah Banten, karya ini menjadi menu wajib bagi santri pemula.
Metode-metode itu tak lapuk di makan zaman. Bahkan hingga kini masih diterapkan di mana-mana.[]
*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, Senin 27 Agustus 27