Sunday, August 12, 2007

al-Huda, Tafsir Lokal Beraroma Orba

Oleh Nurul H. Maarif

Tak banyak karya tafsir al-Qur'an, termasuk di Indonesia, yang berani keluar "pakem". Karena yang beda dianggap salah dan menyalahi. Juga dinilai sesat dan menyesatkan.

Namun ada satu dua karya tafsir yang berani "melanggar"nya. Misalnya, al-Huda: Tafsir Qur'an Bahasa Jawi karya Brigadir Jenderal Purnawirawan Drs. H. Bakri Syahid, cetakan Bagus Arafah Yogyakarta 1979

Tafsir utuh 30 juz berbahasa Jawa-Latin ini, sebelum naik cetak diperiksa ulang oleh penghulu Keraton Yogyakarta KRTH Wardanipaningrat dan Ustadz Rahmat Qasim.

Karya pria kelahiran Yogyakarta, 16 Desember 1918, ini banyak memasukkan penafsiran bernada mendukung pemerintah Orde Baru Soeharto, dengan segala program-programnya.

Tentu saja, ini tak terlepas dari aktivitasnya sebagai Kepala Staf Batalion STM-Yogyakarta, Kepala Pendidikan Pusat Rawatan Ruhani Islam Angkatan Darat, Wakil Kepala PUSROH Islam A.D. dan Asisten Sekretaris Negera RI.

Umpamanya, ketika menafsirkan Qs. al-Nisa' ayat 83 perihal Ulu al-Amri. Bakri Syahid menulis, "Untuk kontek sekarang, Ulu al-Amri itu pemerintah yang menjalankan sistem demokrasi, seperti pemerintah Indonesia yang menerapkan sistem Demokrasi Pancasila."

Terkait Qs. Yunus ayat 7, Bakri Syahid menulis, "Paham sekularisasi itu berlawanan dengan ajaran Agama Islam dan juga tidak bisa diterapkan di negeri Pancasila Indonesia. Sebab, falsafah dan ideologi Pancasila itu menetapkan di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Bab IX Pasal 29, bahwa 'Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.'"

Artinya, tulis Bakri Syahid, masyarakat atau negara yang dicita-citakan pemerintah Indonesia adalah sosialis-relijius. Yaitu masyarakat adil makmur yang mencakup materiil dan spirituil, lahiriah dan batiniah, dan dunia dan akhirat. Inilah masyarakat yang diridlai Allah SWT.

"Negara Republik Indonesia itu Negara Kesatuan, Negara Hukum, serta Negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukan negara ateis, negara sekuler, atau negara Islam," sambungnya di dalam karya setebal 1411 halaman ini.

"Bangsa Indonesia tidak memiliki cita-cita membangun masyarakat sekuler (masyarakat tanpa agami), melainkan masyarakat Pancasila," tulisnya ketika menafsiri Qs. al-Nur ayat 28.

Bakri Syahid juga menguraikan Sumpah Pemuda ketika menafsirkan Qs. al-Ra'd ayat 21. Menurutnya, Sumpah Pemuda berawal dari perjumpaan atau silaturahim anak-anak muda waktu itu yang peduli nasib bangsa. "Lalu menjadi ikrar: Satu Nusa, Satu Bahasa, dan Satu Bangsa. Jujur saja, ini syarat mutlak kekuatan Ketahanan Nasional," tulisnya.

Yang tak kalah menarik, adalah ketika Bakri Syahid menafsirkan Qs. al-Hujurat ayat 6. "Intelijen negara dan stabilitas keamanan itu kewajiban pemerintah dibantu masyarakat," tulisnya.

Qs. al-Hujurat ayat 6-7 ini, tulis Bakri Syahid, di zaman modern berbicara perihal Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) untuk kontek NKRI. Di Negara Pancasila ini, intelijen negara dan stabilisasi keamanan adalah tanggungjawab bersama dengan komando pemerintah.

"Inilah inti kekuatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, kini Tentara Nasional Indonesia, TNI, red.). Sebab UUD 1945 Pasal 30 menyebutkan, setiap warga negara wajib dan berhak membela negara," tulisnya.

Inilah cermin kontektualisasi tafsir karya Bakri Syahid. Melalui gaya dan caranya, Bakri Syahid ingin masyarakat lebih memikirkan nasib bangsa ke depan.

"Diharapkan, dengan tafsir ini, pembaca bisa lebih mengerti, memahami dan juga prihatin atas nasib bangsa," mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga (1972-1976) ini berharap.[]

*Suplemen the WAHID Institute IX/Tempo 25 Juni-2 Juli 2007.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home