Thursday, April 26, 2007

Kajian Isra' Mi'raj: Cara Allah SWT Menetapkan Kebijakan

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulSetiap 27 Rajab, memori kita selalu tersedot ke masa belasan abad silam, guna merenungi Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw, sebuah "drama" maha penting sepanjang sejarah kerasulan Muhammad. Melalui "drama" inilah, beliau menerima penegasan kewajiban shalat; kewajiban yang menjadi satu-satunya pembeda kemusliman dan kekafiran, satu-satunya yang diterima langsung di haribaan-Nya, satu-satunya rukun Islam yang dikumandangkan dalam azan, dan satu-satunya yang pertama dihisab di hari kebangkitan. Inilah makna penting "drama" yang terus mendulang prokontra ini.

Dalam tradisi Sunni, rekaman Isra' Mi'raj terabadikan dalam kitab-kitab Hadis mu'tabar, seperti Shahih al-Bukhari (II/299. No. Hadis: 3887) dan Shahih Muslim (I/91-92. No. Hadis: 259 dan 263). Oleh kalangan Sunni, kedua kitab ini dinilai sebagai kitab paling otentik setelah al-Qur'an. Karenanya, "drama" Isra' Mi'raj yang tersiar di dalamnya, sepanjang sejarah tak pernah diutak-atik mereka. Baru setelah kehadiran pembaru Mesir, Muhammad Abduh, kesahihan "drama" Isra' Mi'raj dipersoalkan, karena dinilai irasional.

Pengingkaran ini tidak terlepas dari background pemikiran penulis Tafsir al-Manar ini, yang rasionalis dan senantiasa mengedepankan sisi-sisi rasionalitas sebuah peristiwa. Manakala peristiwa tidak bisa dicerna rasio, maka pada saat sama peristiwa itu diingkarinya. Sebab itu, Muhammad Abduh acap diklaim lebih Mu'tazilah (sebuah mazhab rasionalis dalam Islam) ketimbang pengikut Mu'tazilah itu sendiri.

Aspek irasional Isra' Mi'raj ini juga pernah dilontarkan cendekiawan muslim Indonesia berhaluan Syiah, Husein Shahab. Secara terang-terangan, ia menolak keotentikan riwayat itu, medio 1998, kala menjadi pembicara pada bedah buku Pergeseran Pemikiran Hadis karya M Abdurrahman yang diselenggarakan BEMJ TH IAIN (kini UIN) Jakarta. Saat itu, ia lebih spesifik menyorot dialog Nabi Muhammad Saw dengan Nabi Musa As, yang menurutnya tidak masuk akal.

Dalam kedua kitab mu'tabarah itu memang diberitakan, setelah Nabi Muhammad Saw menerima penegasan kewajiban shalat sejumlah 50 kali sehari, beliau lantas turun ke bumi. Dalam perjalanan turun dari Sidrat al-Muntaha itulah, beliau bersua Nabi Musa As. Akhirnya mengalirlah dialog, yang intinya, Musa mengusulkan agar beliau memohon dispensasi pada Allah. Sebagai rasul yang lebih dulu diutus, Musa melihat umat Nabi Muhammad Saw tidak akan sanggup menjalankan kebijakan itu.

Nabi Muhammad Saw setuju dengan anjuran Musa. Beliau lantas kembali menemui Allah Swt guna memohon dispensasi. Ending-nya, beliau mendapat dispensasi sampai hanya 5 waktu sehari, setelah 9 kali berrembug dengan Allah Swt. Dari kenyataan ini, seperti dilontarkan Husein Shahab, muncul pertanyaan; apakah Musa lebih mengerti tentang kondisi riil umat Nabi Muhammad Saw ketimbang Allah Swt sendiri, sehingga kebijakan Allah Swt itu "dipersoalkan"nya? Jika Musa lebih faham ketimbang Allah Swt, kata Husein, ini tentu irasional. Sehingga, riwayat Isra' Mi'raj tak layak dipertahankan lagi.

Benarkah "protes" Musa itu indikasi ia lebih mengerti ketimbang Allah Swt? Benarkah peristiwa ini irasional, sehingga tak layak lagi dipertahankan? Lebih jauh lagi, sebelum kita gegabah menolak atau menerima riwayat ini, adakah kemungkinan-kemungkinan lain yang justeru memberikan pelajaran penting bagi kita sehingga kian menguatkan otentisitas berita ini? Untuk mengorek kemungkinan-kemungkinan lain itulah, tulisan sederhana ini hadir. Dan, Penulis menganggap selesai perdebatan ruh atau jasad Nabi Muhammad Saw-kah yang mangkat ke haribaan-Nya.

Allah-pun Bertoleransi

Cendekiawan muslim kontemporer, Dr. Yusuf al-Qardhawi, pernah menyatakan, Hadis shahih tidak akan bertentangan dengan al-Qur'an dan akal. Bila terjadi pertentangan, hanya ada dua kemungkinan: Hadisnya yang dhaif atau pemahaman kita yang keliru. Berkaitan dengan Hadis Isra' Mi'raj yang nyata-nyata dinilai shahih (terutama) oleh kaum Sunni, maka seyogyanya Hadis itu tidak bertentangan dengan (al-Qur'an dan) akal. Dan bila pertentangan dengan akal tidak bisa dielakkan, seperti asumsi Husein Shahab, maka kita perlu memahami ulang substansi Hadis itu. Sebab, dalam pandangan penulis, Hadis itu tidak bertentangan dengan akal sama sekali.

Seperti diketahui, dalam "drama" Isra' Mi'raj itu melibatkan tiga pihak, Allah Swt, Nabi Muhammad Saw, dan Nabi Musa As. Ketiga pihak itu penulis ibaratkan sedang berada dalam sebuah negara, dengan Allah Swt sebagai penguasa (pemerintah), Nabi Muhammad Saw sebagai wakil rakyat, dan Nabi Musa As sebagai oposisi. "Drama" itu sendiri mengangkat tema utama "Penetapan Kewajiban Shalat". Dan kita akan melihat bagaimana ketiga pihak itu memainkan perannya masing-masing dengan sangat menarik.
Sebagai Penguasa Mutlak, Allah Swt sebenarnya punya otoritas penuh (hak prerogatif) untuk menetapkan kebijakan-Nya tanpa harus berdialog terlebih dahulu dengan rakyat.

Lebih dari itu, Allah Swt sangat dan sangat mampu memaksakan kebijakan-Nya tanpa bisa dibantah siapapun. Rakyat harus sam'an wa tha'atan, nggak usah rewel dan bawel. Yang menolak niscaya kena hukuman. Tapi, Allah Swt tidak menghendaki perilaku otoriter seperti ini. Karenanya, Ia mengajak Nabi Muhammad Saw "sebagai wakil rakyat" untuk berrembug. Bukankah dampak kebijakan itu akan dirasakan secara langsung oleh rakyat juga?

Sebagai Penguasa, awalnya Allah Swt menawarkan (bukan memaksakan!) kebijakan kewajiban shalat sebanyak 50 kali dalam sehari. Sebagai rakyat yang taat, Nabi Muhammad Saw menunjukkan kepatuhan tanpa membangkang sedikitpun. Tapi, kepatuhan mutlak itu diluruskan (tepatnya dikritik) Nabi Musa As yang mewakili golongan oposisi. (Musa memang dikenal sebagai rasulullah yang sangat kritis). Musa melihat, umat Nabi Muhammad Saw tidak akan sanggup memikul kebijakan berat itu, berdasarkan pengalaman umat Nabi Musa As. Sebagai umat berfisik tangguh, umat Musa tidak sanggup melakukan kebijakan itu. Lantas bagaimana mungkin umat Nabi Muhammad Saw yang nota bene berfisik lemah akan mampu memikulnya?

Karena itu, sebagai oposisi, Nabi Musa As melihat, jika kebijakan Penguasa tidak sesuai kemampuan dan kondisi rakyat, maka yang terjadi justeru kemafsadatan bukannya kemaslahatan. Untuk menjembatani masalah inilah, perlu diadakan dialog antara Pihak Penguasa dengan rakyat, untuk mencari titik temu standar kemampuan rakyat dengan beban kebijakan yang dipikulnya. Dengan ujaran lain, Penguasa tidak boleh memaksakan kebijakan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh rakyat. Ini sesuai firman Allah Swt. Benar saja, berdasarkan saran Nabi Musa As itu, Nabi Muhammad Saw lantas "memberanikan" diri negosiasi dengan Allah Swt. Bagaimana sikap Allah Swt sebagai pemegang kebijakan? Ternyata Allah Swt tidak memaksakan kebijakan-Nya secara otoriter, kendati Ia Penguasa Muthlak.

Inilah menariknya, yang dengan segala keagungan-Nya, Allah Swt justru mendengarkan suara rakyat. Dan, di sini pula pentingnya keberadaan oposisi, yakni untuk mengontrol kebijakan Penguasa. Tentu oposisi yang beriktikad baik, bukan oposisi yang selalu sentimen pada Penguasa. Yang tak kalah dimengerti, dalam drama itu, bukan berarti Allah Swt benar-benar tidak mengerti kemampuan rakyat-Nya. Allah Swt tentu sangat mengerti. Ia melakukan semua ini, tak lain untuk meneladankan bagaimana seharusnya etika penguasa dalam menetapkan kebijakan untuk rakyatnya. Karenanya, tidak tepat kita mengatakan Nabi Musa As lebih mengerti kondisi umat Nabi Muhammad Saw ketimbang Allah Swt, sehingga riwayat itu harus ditolak mentah-mentah.

Dalam QS al-Baqarah ayat 286, Allah Swt berfirman "la yukallif Allah nafsan illa wus'aha" (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya). Ayat ini memberikan informasi secara gamblang, bahwa Allah Swt tidak pernah menetapkan kebijakan yang memang tidak mampu dilaksanakan hamba-Nya. Allah Swt mengerti, bahkan sangat mengerti bahwa hamba-Nya tidak akan sanggup melaksanakan titah shalat 50 kali sehari dan hanya mampu 5 kali saja. Itulah cara Allah Swt mendidik kita.

Berteladan pada Isra' Mi'raj

Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meniru "drama" yang dipertontonkan dalam peristiwa Isra' Mi'raj itu. Sebelum memutuskan kebijakan, hendaknya para penguasa terlebih dahulu berdialog secara intensif dengan rakyat, minimal melalui wakil-wakilnya, kendati dialog itu harus dilakukan berkali-kali dan memakan waktu lama, sebagaimana Allah Swt berdialog dengan Nabi Muhammad Saw yang sampai 9 kali. Dialog adalah upaya terbaik untuk mencari kesepahaman. Sehingga tidak akan terjadi kebijakan yang tidak sanggup dipikul oleh dan justru akan membebani rakyat.

Jika ada pemaksaan kebijakan yang nyata-nyata tidak mampu dilaksanakan rakyat, maka saat itulah terjadi penindasan dan otoriterianisme. Padahal, kebijakan (tidak lain) haruslah dilandaskan untuk kemaslahatan rakyat bukan untuk menyengsarakan mereka. Ini sesuai kaidah fiqhiyyah, tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manuthun bi al-mashlahah (kebijakan penguasa kepada rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan). (Mabadi' Awwaliyyah, hal. 40).

Karenanya, bila terbukti kebijakan penguasa tidak sesuai dengan tuntutan kemaslahatan rakyat, maka peran oposisi (sebagai kontrol) harus menampak, seperti yang diperlihatkan Nabi Musa As dalam "drama" di atas. Mereka harus berani malakukan kritik jika dirasa ada kebijakan yang berpotensi negatif. Makanya, kita semua berharap, para penguasa menetapkan kebijakan didasarkan untuk kebaikan mereka. Titik! Tirulah bagaimana Allah Swt menetapkan kebijakan-Nya dalam "drama" Isra' Mi'raj itu. Wa Allah a'lam.[]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home