Isi Lebih Toleran Ketimbang Kulit
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ajaran yang menekankan isi akan lebih toleran, ketimbang yang mengedepankan kulit atau formalitas. Berikut pernyataan Guru Besar UIN Jakarta Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer kepada Nurul H. Maarif dan J. Widhi Cahya dari the WAHID Institute:
Bagaimana pandangan tarekat di Indonesia terhadap perbedaan agama?
Umumnya toleran. Tapi kita tidak bisa menggeneralisir, karena aliran tarekat itu bermacam-macam. Itupun sangat tergantung gurunya. Ada guru yang sangat toleran dan ada yang kurang.
Mengapa tarekat bisa toleran?
Umumnya yang toleran itu menganut doktrin wahdat al-wujud Ibn Araby. Doktrin ini sangat menekankan aspek esoteric dan tidak peduli bentuk. Bukan berarti bentuk itu tidak ada. Bentuk itu otomatis. Naqsabandiyyah, Syatariyyah, atau yang lain, yang menganut paham ini, mereka toleran.
Mereka tidak pernah mempersoalkan agama formal?
Saya tidak berani mengatakan seperti itu. Yang jelas, mereka toleran pada non muslim. Sehingga non muslimpun bisa masuk ke sana. Ini banyak terjadi di Barat, kendati tidak semua. Di sana, ada beberapa tarekat yang mempersilahkan non muslim ikut berzikir atau berdoa bersama, tanpa menanyakan agamanya. Misalnya tarekat Maulawiyyah. Tarekat ini anggotanya banyak dari non muslim.
Alasan filosofisnya apa?
Saya kira karena kelompok itu lebih menekankan esensi atau esoteric. Bentuk apa saja, Yahudi, Islam, Kristen, dan sebagainya, tapi toh esensinya sama. Orang bertauhid, itu tunduk pada Tuhan dan selalu merasakan kehadiran-Nya. Ini esensi yang perlu ditekankan. Waktu di Skotlandia, saya punya kawan dari Jerman. Dia mengaku ikut Tarekat Naqsabandiyyah di Eropa. Menariknya, dia agamanya Katolik dan dia tidak masuk Islam.
Amalannya sama dengan yang muslim?
Sama saja!
Anda pernah belajar tasawuf di Beshara Skotlandia. Bagaimana lembaga ini?
Ini lebih esoteric lagi. Di situ bentuk tidak diutamakan. Yahudi, Islam, Kristen, sekuler, atau apa saja, itu yang penting intinya. Jadi arahnya man 'arafa nafsahu fagad 'arafa rabbah. Beshara ini tidak ada silsilahnya. Ini pendidikan esoteric saja. Pendidikan spiritual yang tidak ada baiat dan tidak ada mursyid. Ini universal untuk siapa saja.
Kitab apa yang diajarkan di sana?
Fushush al Hikam karya Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn Araby. Disamping itu juga dipelajari karya Jalaluddin Rumi, Tao dan Bhagavad-Gita. Orang kalau memahami Ibn Araby akan mudah memahami Upanishad dan Tao. Itu ketemu!
Apakah lembaga spiritual modern (non tarekat) juga banyak yang toleran?
Tasawuf itu tidak harus punya lembaga. Intinya kan mendekatkan diri sedekatnya pada Allah. Tapi memang, orang akan lebih mudah melalui guru atau organisasi ketimbang belajar sendiri. Ibn Araby sendri punya guru sampai 70 orang lebih. Bahkan gurunya ada yang perempuan. Orang yang bisa menjalaninya tanpa guru itu punya bakat yang luar biasa.
Anda pernah menulis, lembaga spiritual modern cenderung seperti lembaga bisnis?
Memang bisnis itu nggak haram. Itu terhormat. Sufi itu banyak yang pedagang. Saya mengritik, itu karena ada kecenderungan bisnisasi tasawuf. Tapi saya tidak pernah menuding lembaga atau orang yang membisniskan tasawuf. Itu kritik untuk hati-hati saja.
Siapa tokoh tarekat di Indonesia yang toleran?
Kalau zaman dulu, itu banyak. Ada Abdus Shamad al-Palimbangi, Syamsuddin al-Sumatrani, dan banyak lagi. Pokoknya kalau yang diutamakan itu isi, itu lebih toleran ketimbang yang kulit. Hanya saja, biasanya orang lebih setia pada kulit ketimbang isi. Akibatnya membunuh orang atas nama agama.
Dengan pengajaran tasawuf, Anda yakin konflik antar agama bisa selesai?
Bisa! Bisa! Cuma tidak semua orang bisa belajar tasawuf. Dan umumnya, orang berantem itu karena simbol. Abdul Karim Soroush menyatakan, Islam itu ada dua. Islam kebenaran dan Islam identitas. Islam kebenaran itu yang didakwahkan para nabi. Itu membawa kebenaran, bukan identitas. Kalau kita membawa Islam sebagai identitas, itu akan lebih mudah menyulut konflik antara sesama muslim, atau dengan non muslim. Masing-masing akan menonjolkan identitas.
Harapan Anda?
Yang terpenting menghormati perbedaan. Kadang kita lupa, bahwa kita harus menghormati perbedaan.
*Suplemen the WAHID Institute III di Majalah TEMPO, 25-31 Desember 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home