Thursday, November 22, 2007

Yang Diperkosa, Yang Dicambuk

Oleh Nurul H. Maarif

cah-elikKabar memilukan tersiar dari Jeddah. Diberitakan Sydney Morning Herald, Kamis (22/11/2007), seorang wanita berusia 19 tahun dari Suku Syiah di Kota Qatif, Arab Saudi, diculik dan diperkosa 7 pria. Saat penculikan terjadi, ia sedang berdua-duaan bersama seorang pria yang bukan mahram-nya. Atas dasar ini, Dewan Pengadilan Tinggi Saudi memutuskan hukuman untuknya; cambuk 200 kali dan penjara 6 bulan. Sedang para pemerkosa hanya divonis antara 2 tahun dan 9 tahun penjara, tanpa hukuman cambuk secuilpun. Adilkah?

Ada beberapa hal yang penting dibaca dari peristiwa ini. Pertama, hukum seharusnya (lebih) disasarkan pada pelaku bukan korban. Apalagi hukuman di atas, jelas sangat berat bagi korban dan sangat ringan bagi pelaku. Mungkin para pengadil di sana berasumsi, wanita itulah "penyebab" atau "pemancing" terjadinya perkosaan itu. Dan, "penyebab" atau "pemancing" tak seharusnya luput dari hukuman. Asumsi ini seharusnya dihilangkan dalam kontek ini, karena berarti memojokkan perempuan. Seakan-akan perempuan adalah biang kejahatan, hingga dalam keadaan terjepitpun masih saja dianggap salah. Ini jelas paradigma bias yang perlu dikoreksi.

Kedua, soal berdua-duaan dengan lawan jenis non-mahram yang juga dijadikan dasar penghukuman, itupun debatable. Ketentuan di Saudi Arabia, barangkali juga di Serambi Makkah Aceh, orang yang ketahuan berdua-duaan dengan non-mahram sudah mengharuskannya kena hukuman. Pertanyaannya: apakah ketentuan ini ada presedennya dalam hukum Islam? Memang Rasulullah SAW pernah menyatakan, "la yakhluwanna ahadukum (sebagian riwayat: rajulun) bi imratin illa ma'a dzi mahramin/jangan kalian bersepi-sepian dengan perempuan kecuali beserta mahram-nya" (HR. al-Bukhari). Adakah preseden hukum, cambuk misalnya, di dalam sabda Nabi Muhammad SAW ini? Bukankah ini tak lebih sebagai "warning" untuk kehati-hatian belaka?

Ketiga, wanita itu berlatar suku Syiah di Kota Qatif, Arab Saudi, sedang pengadil berlatar kelompok Sunni. Jangan sampai, apa yang terjadi pada wanita malang ini tersebab faktor primordialitas aliran keagamaan! Yang dianggap "berbeda" -- kendati belum klir kesalahannya -- dikenai hukuman sekerasnya dan yang dianggap "kelompok" -- kendati telah klir kesalahannya -- dikenai hukuman seringannya. Kira-kira, apa alasan para pelaku tidak dikenai hukuman cambuk, padahal hukum di sana mengharuskan demikian atau bahkan lebih berat dari sekedar cambuk?

Seharusnya, keadilan ditegakkan di atas kepentingan apapun. Allah SWT berfirman, "I'dilu huwa aqrab li al-taqwa/berbuat adillah, karena keadilan lebih dekat pada ketakwaan" (Qs. al-Maidah: 8). Jika tidak, umat ini niscaya rusak, sebagaimana sinyalemen Rasulullah SAW terkait rusaknya umat terdahulu; jika yang melanggar hukum kelompok sendiri (orang kuat) maka akan diringankan hukumannya, tapi jika yang melanggar hukum kelompok lain (orang lemah) maka akan diberatkan hukumannya. Inilah, antara lain, tercermin dari kisah Fatimah al-Makhzumiyyah si bangsawan pencuri bokor emas, yang membuat Nabi Muhammad SAW murka.

Keempat, tidak seharusnya pengadilan memutuskan hukuman bagi orang yang belum tentu bersalah. Ada adagium, "lebih baik salah melepas penjahat, daripada salah memenjarakan orang yang benar" atau "lebih baik salah memberi pemaafan, ketimbang salah menjatuhkan hukuman". Bahkan kisah Maiz bin Malik, menunjukkan betapa Rasulullah SAW sangat berat memutuskan hukum, hatta kepada pelaku kejahatan yang mengakuinya dengan jujur.

Dikisahkan, Maiz bin Malik, meminta Rasulullah SAW untuk membersihkan dirinya dari dosa. Berkali-kali permintaannya ditolak. Baru pada yang keempat kalinya, pengakuan jujurnya telah berbuat zina dipertimbangkan oleh baginda. Itupun Rasulullah SAW tak serta-merta menghukumnya. Masih ada keraguan, benarkah pengakuan valid? Atau hanya sensasi? Karena itu, kondisi kejiwaan, saksi, apakah coitus itu betul-betul terjadi dan sebagainya, diperiksa dengan super teliti oleh baginda, sampai akhirnya hukuman rajam dijatuhkan.

Kisah yang diriwayatkan Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi dalam Shahih Muslim-nya itu memberi pelajaran penting; kepada orang yang jelas-jelas mengaku berbuat kejahatan dan meminta dihukum saja sanksi tidak bisa serta-merta dijatuhkan, apalagi kepada orang yang baru diduga bersalah. Hakim haruslah hati-hati, karena satu kakinya tergantung di surga dan satu kakinya lagi tergantung di neraka.

Untuk itu, hendaknya semua ini menjadi pelajaran. Jangan sampai korban yang seharusnya mendapat perlindungan hukum, justru menerima sanski atas tuduhan yang tidak jelas. Sudah jatuh tertimpa tangga! Wa Allah a'lam.[]

*www.gusdur.net, Kamis, 22 November 2007.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home