Monday, November 26, 2007

Ketulusan di Balik Bencana

Oleh Nurul H. Maarif

UrulMelewati jalan berlubang, retak-retak dan naik turun, rombongan itu akhirnya tiba di Kabupaten Mukomuko, Propinsi Bengkulu tepat pukul setengah sepuluh malam, Selasa (18/9). Walau seminggu berlalu, namun belum banyak bantuan untuk penduduk daerah terparah yang diguncang gempa berkekuatan 7,9 SR itu.

Rombongan yang dipimpin Avianto Muhtadi itu ternyata dari Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) PBNU. Bersamanya, turut serta sejumlah relawan NU, GP Ansor, IPNU, IPPNU, Banser, dan tim dokter. Mereka datang untuk menyalurkan bantuan bagi para korban gempa. Terpal, beras, mie instant, air mineral, susu bayi, pembalut wanita, pengobatan gratis, dan banyak lagi, mereka berikan.

Komitmen kemanusiaan NU pada korban bencana alam diwujudkan dengan merancang program CBDRM pada 2006. "Lembaga ini bermula dari inisiatif Lembaga Penanganan Kesehatan NU (LPKNU) yang ingin mengurangi resiko bencana," ujar Program Manager CBDRM PBNU Avianto Muhtadi kepada Nurun Nisa dari the WAHID Institute.

Awalnya, tutur Avianto, diadakan seminar perihal CBDRM pada 2005. Kiai dari 18 pengurus NU propinsi, 18 satkorlak, dan 18 ponpes se-Indonesia, diundang sebagai peserta. Saat itu muncul keinginan membentuk gerakan yang secara kelembagaan mengurusi bencana. "Usulan ini kemudian menjadi program satu tahun, 2006-2007, yang disponsori AusAid. Para pengusaha NU sendiri belum pernah (memberi dana melalui CBDRM, red.)," terangnya.

Lembaga ini juga bekerja sama dengan the UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) badan PBB yang mengurus masalah kemanusiaan dan perusahaan-perusahaan yang peduli kemanusiaan.

Program yang ditanganinya, memberi pelatihan manajemen pananggulangan bencana. Tiga pilot project dipilih, yaitu Ponpes Nurul Islam Jember, Ponpes Ash-Shiddiqiyyah Jakbar, dan Ponpes Darussalam Watucongol Magelang. "Dipilihnya tiga pilot project itu karena di Jember dan Jakarta rawan banjir. Di Magelang rawan letusan gunung Merapi. Mereka juga berbasis NU," ujarnya.

Melalui program ini, pihaknya telah merekrut 1500 Santri dan Masyarakat Siaga Bencana (SMSB). Untuk 2008, katanya, direncanakan ada lima pilot project lagi. Dan pada 2009 akan merambah luar Jawa. "Kita akan melatih mitigasi atau penanggulangan bencana berupa pemetaan daerah, penanaman pohon, dan membuat tanggul secara berkelanjutan," ujarnya.

Avianto punya alasan sendiri kenapa program ini penting dibentuk. Menurutnya, NU itu organisasi besar, tapi belum sistematis mengurusi bencana. "Ini terlihat dari respon mereka ketika ada bencana," ungkapnya.

Aviantopun diminta PBNU mengonsep CDBRM, untuk diajukan ke ajang muktamar yang akan datang supaya menjadi lembaga khusus.

Muhammadiyyah juga memiliki tim khusus yang menangani korban bencana, yaitu Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Menurut Wakil Sekretaris MDMC, Husnan Nurjuman, embrio MDMC adalah Muktamar Muhammadiyah pada 2000.

Waktu itu, ujarnya, bernama Badan Penanggulangan Bencana dan Masalah Kemanusiaan. Badan ini lantas disubkan di bawah pengurus Majelis Kesehatan dan Layanan Kesejahteraan Muhammadiyah. "Baru pada 2007, MDMC resmi berdiri mandiri membawahi urusan bencana dan kemanusiaan," terangnya.

Melalui ribuan relawan, MDMC membantu korban di Aceh, Yogyakarya, Bengkulu, dan Jakarta. Dananya digalang dari masyarakat, termasuk LAZIS Muhammadiyah. Pun dari hasil kerja sama dengan Direct Relief International Santa Barbara, AusAID, dan UNICEF.

Ketika terjadi gempa Bengkulu misalnya, MDMC menangani 1000 keluarga pengungsi. Dengan dukungan 7 dapur umum, setidaknya 2 ton beras dimasak setiap hari. Mereka juga disertai tim medis dari RSI Cempaka Putih Jakarta.

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pun memiliki program serupa. Namanya Humanity First Indonesia (HFI). Didirikan pada 2004, HFI menginduk pada HF di London Inggris yang berdiri pada 1994. "HF sifatnya antar benua dan telah ada di 20 negara," kata Ketua HFI Basyiruddin Pontoh, kepada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute (lihat: Wadah Khidmat untuk Kemanusiaan).

Misi HFI memberantas kemiskinan, kebodohan, membantu di bidang kesehatan, dan membantu korban bencana alam. "Kalau ada bencana, HFI memberi pengobatan, dapur umum, membangun sarana prasarana, dan bantuan pasca bencana," ujarnya.

Menggunakan jasa relawan, HFI turut membantu korban tsunami Aceh, Merapi, gempa Yogja dan Jateng, tsunami Pangandaran, banjir Jakarta, dan sebagainya. "Bantuan datang dari siapa saja. Kita tidak membatasi. Ada yang sifatnya rutin dan ada yang sifatnya insidentil," katanya.

Selain ormas, ketika terjadi gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah misalnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendirikan Posko Gus Dur untuk Kemanusiaan. "Posko ini didirikan sebagai bentuk tanggungjawab dan kepedulian terhadap para korban gempa," kata Ahmad Suaedy yang terlibat mendirikan posko ini.

Posko ini telah menyalurkan dana, tenda, tikar, genset, kasur, baju, masker, selimut, sarung, susu, sembako, mie instan, biskuit, air mineral, obat-obatan, perlengkapan shalat, kompor, pembalut wanita, peralatan mandi, dan sebagainya.
Posko yang juga beroperasi di Aceh dan Porong Sidoarjo, ini bahkan membangun 270 unit rumah transisi seluas 4x6 meter bagi para korban gempa Yogyakarta, yang diserahkan langsung oleh Gus Dur. "Sebanyak 100 unit di Kecamatan Piyungan, 90 unit di Kecamatan Wonokromo, dan 80 unit di Kecamatan Bambanglipuro," kata Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid.

Posko ini juga menyumbangkan crusher (mesin penghancur puing). "Tidak hanya mesinnya, tapi juga dibarengi pelatihan. Puing-puing itu akan dicetak menjadi batako," jelas Yenny.

Di Porong Sidoarjo, 18 kiai mendirikan Posko Independen -- populer disebut Posko Kiai. "Banyak rakyat sengsara akibat Lumpur Lapindo. Semua rusak. Akhirnya kita fokus memberikan bantuan pada korban," ujar koordinator lapangan Posko, KH. Hasyim Ahmad.

Menurut pengasuh Ponpes al-Islamiyah Kludan Sidoarjo ini, pendirian Posko memiliki tiga tujuan. Pertama, mencarikan bantuan makan. Kedua, membantu di bidang kesehatan, bekerja sama dengan RS Siti Hajar dan IDI. Ketiga, memberikan keamaan ruhani. "Kita sering kumpul untuk sharing masalah dan istighatsah," terangnya.

Crisis Center Gereja Kristen Indonesia (CC-GKI) juga giat membantu korban bencana. Saat gempa Yogyakarta dan Jateng misalnya, pihaknya bekerja sama dengan Ponpes al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten, pimpinan KH. Muslim Imampuro. "Semua itu karena empati yang mendalam pada para korban," jelas Ketua CC GKI Pendeta Albertus Patty.

Bantuan makanan, minuman, susu bayi, pakaian, selimut, obat-obatan, pelayanan kesehatan, pendirian rumah sederhana, peralatan sekolah, masker, perahu karet dan sebagainya, digalang secara swadaya dari umat Gereja Kristen Indonesia (GKI).

Kendati berlatar Kristen, katanya, tuduhan kristenisasi relatif jarang dialaminya. Mungkin karena lembaganya melibatkan dokter dan suster muslim, bahkan kiai dan ustadz sebagai pelayan spiritual para korban.

Namun diakuinya, di lapangan ada saja masalah kecil. Saat membantu korban gempa di Sragen, bendera Tim GKI diturunkan kelompok Islam radikal. "Setelah mereka pergi, masyarakat korban sendiri yang memasang bendera itu. Ternyata para korban tidak mempermasalahkan," terangnya.

Di Katolik ada Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia. Diantara programnya membantu korban bencana alam, yang telah dilakoni sejak 2002. Saat tsunami Aceh misalnya, PADMA Indonesia bekerja sama dengan Forum Kepedulian untuk Aceh (Forka) turut membangun mushalla dan asrama pesantren. "Ada dua pesantren putera dan puteri yang kita bangun di Aceh," ujar aktivis PADMA Indonesia Theo Tulasi.

Isu kristenisasi tak luput menerpa. Di Aceh, ujar Theo, pihaknya diusir dari posko oleh kelompok radikal. Operasipun terhenti sepekan. Diakuinya, PADMA Indonesia memang Katolik, tapi setiap tugasnya tidak mengatasnamakan agama. "Saya tegaskan, PADMA Indonesia tidak bermaksud mengkristenkan orang. Ini kemanusiaan," terangnya.

Tanpa memandang sekat-sekat agama, Romo Sandyawan Sumardi selalu hadir dalam tiap bencana, membantu para korban yang tidak berdaya.

"Di Aceh, saya mencarikan ratusan al-Qur�an," kata Romo Sandy (baca: Kemanusiaan, Refleksi Iman yang Sesungguhnya).

Bencana yang terjadi beruntun di negeri ini, tampaknya menggugah kelompok-kelompok agama untuk lebih fokus pada urusan kemanusiaan.[]

*Pencarian data dibantu oleh Nurun Nisa dan M. Subhi Azhari.
**Suplemen the WAHID Institute XIV di Majalah TEMPO, Senin, 26 November 2007.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home