Tuesday, February 13, 2007

Tendang Sana Tendang Sini

Oleh Nurul H Maarif


cah-elikSaya tidak bernyanyi atau baca puisi. Saya hanya ingin menyampaikan isi hati saya. Tiga anak saya putus sekolah, karena saya tidak mampu membayar SPP. Tunggakan saya Rp. 5.8 juta. Saya sudah kirim surat pada pemerintah. Tapi saya ditendang sana ditendang sini. Saya tidak punya harapan lagi pada pemerintah. Makanya, dengan terpaksa, saya berhadap pada kepedulian bapak-ibu yang menumpang bus ini.

Kira-kira, itulah intisari �orasi kepedihan� yang disampaikan lelaki tua berbaju hitam, yang saya dengar di atas bus patas AC 57 Ciputat-Gajah Mada, sepulang dari lembaga karitatif Eka Tjipta Foundation di Jl MH. Thamrin. Bagi yang bisa menyelami kedalaman hati wong cilik, orasi itu terasa begitu menyayat hati. Perih, laksana sayatan sembilu. Dan itu, hanyalah pucuk gunung es.

Wong cilik memang �ditakdirkan� serba susah, yang kesusahannya acapkali dijadikan �proyek� bagi wong licik. Wong cilik, juga �ditakdirkan� serba kurang. Untuk membayar biaya pendidikan saja misalnya, mereka harus berhutang kanan-kiri. Banting tulang dan peras keringat. Bahkan kadang peras darah. Ini menunjukkan, selain sadar pentingnya pendidikan, mereka juga sadar kewajibannya sebagai warga negara. Bukankah pemerintah menitahkan warganya untuk berpendidikan minimal 9 tahun?

Namun, di saat para warganya kesulitan membayar biaya pendidikan, karena memang tidak ada kemampuan sama sekali, kemana pemerintah? Lantas apa makna kewajiban pendidikan 9 tahun bagi mereka? Kemana larinya anggaran pendidikan yang (masih terlalu kecil, yaitu sejumlah) 20 % dari total APBN? Ini menjadi musykil. Pemerintah mewajibkan sesuatu yang tidak dimampui warganya.

Untungnya, banyak lembaga swasta yang merasa bertanggungjawab soal pendidikan ini, yang rela menggalang dana beasiswa. Misalnya sekolah yang dikelola SMART Dompet Dhuafa Republika, Sanggar Akar, Sanggar Ciliwung, Taring Padi dan sebagainya. Dan, wong cilik ini senang lantaran sangat terbantu. Sesuai pengakuan lelaki tua di awal tulisan ini, jika meminta pada pemerintah, maka �tendang sana tendang sini� yang didapatkan. Makanya, tidak keliru bila wong cilik tak punya harapan banyak pada pemerintah.

Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Sebagai pihak yang paling bertanggung jawab soal ini, idealnya pemerintah menjalankan pesan kaidah Ushul Fiqih amrun bi al-syai� amrun bi wasa�ilih. Memerintah sesuatu, berarti juga memerintah mencari sarananya. Memerintah menambal genting bocor, secara tidak langsung, berarti memerintah mencari tangga. Demikian juga �titah wajib� berpendidikan itu. Memerintah berpendidikan, secara tidak langsung, berarti juga memerintah mencari �wasilah� mendapat pendidikan itu: yaitu biaya (baca: uang). Dalam kidah lain disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib. Jika pendidikan tidak tercapai secara baik kecuali dengan biaya, maka mencari biaya itu menjadi wajib.

Masalahnya, bagaimana wong cilik bisa mendapat biaya pendidikan, jika lapangan pekerjaan tidak tersedia? Mungkin juga pekerjaan itu ada, tapi toh seringkali hasilnya tidak lebih sekedar untuk makan sehari-hari. Di sinilah peran pemerintah sangat ditunggu-tunggu, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan dengan UMR yang memadai!

Itulah keharusan pemerintah, yang segala kebijakannya harus dilandaskan untuk kepentingan warganya. Tasharruf al-imam �ala al-ra�iyyah manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemerintah harus diorientasikan untuk kemaslahatan warga). Makanya, tidak seyogyanya pemerintah memaksakan titah wajib berpendidikan, jika masih banyak persoalan di sebaliknya yang terus menindih para warga itu.

Dalam kontek ini, ada baiknya pemerintah �meniru� kebijakan Bupati Rangkas Bitung Banten, H. Mulyadi Jayabaya. Dalam banyak kesempatan, dia selalu menyatakan, pendidikan adalah titik pijak kemajuan bangsa. Namun, jika sarana dan prasarananya tidak memadai, kewajiban pendidikan 9 tahun itu menjadi mustahil terlaksana. Untuk itu, pengusaha sukses ini lantas memperbaiki total ribuan sekolah di seluruh wilayahnya, yang ia nilai tidak layak pakai. Dan untuk sisa jabatannya beberapa tahun ke depan, sekolah geratis akan menjadi agendanya. Setelah ada sekolah geratis, semboyan �pendidikan wajib 9 tahun� tidak akan menjadi omong kosong lagi.

Pendidikan ini baru satu kasus, yang menunjukkan �ketidakberdayaan� pemerintah mengurusnya. Belum lagi soal banjir, terutama di wilayah DKI Jakarta, yang menjadi berita besar bulan ini. Banyak pihak, termasuk KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menilai, pemerintah tidak siap dan tampak gagap menangangi problem ini.

Ini sangat berbeda dengan lembaga karitatif semisal Eka Tjipta Foundation (ETF), milik bos Sinar Mas Eka Tjipta Wijaya, Gerakan Positif yang diketuai Inayah Abdurrahman Wahid, Buana Indonesia, Kappala, Sapa Persada Indonesia, Komunitas Air Putih dan sebagainya. Lembaga-lembaga nonpemerintah ini malah tampak sangat siap, kapan dan di manapun terjadi bencana. Kendati hanya dikelola enam orang misalnya, ETF bisa menjangkau seluruh penjuru wilayah Indonesia. �Bantuan harus sesegera mungkin sampai pada para korban bencana,� tandas Direktur Eksekutif ETF, Timotheus Lesmana, suatu ketika. Prinsip seperti inilah yang seharusnya ditiru pemerintah.

Melihat semua ini, kita bertanya-tanya, mengapa pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab langsung menangangi korban bencana, justru kalah siap dengan lembaga-lembaga swasta ini? Bahwa pemerintah telah melakukan banyak hal, itu tidak bisa dinafikan. Namun soal kesiapan, keseriusan, dan rasa kemanusiaanlah yang bisa membuat kita sigap jika terjadi bencana, itu juga tidak bisa dinafikan.

Ini persis seperti sentilan Gus Dur, saat menjadi pembicara pada Kongkow Bareng Gus Dur di Radio 68 H Jakarta, Sabtu, 9 Februari 2007 silam, terkait lambannya penanganan korban banjir di DKI Jakarta. �Ini kelalaian Pemda. Mereka nggak siap karena banyak korupsi. Kalau nggak ada untung, mereka nggak mau kerja,� kritiknya. Wa Allah a�lam.[]