Monday, July 17, 2006

Syariah Islam Nusantara

Oleh Nurul Huda Maarif

NurulApi penegakan Syariah Islam (SI) di Indonesia tak pernah padam. Dari waktu ke waktu, upaya itu terus digelorakan oleh kelompok-kelompok muslim formalis. Dan yang mutakhir, upaya itu ditempuh melalui ‘mega proyek’ pembuatan Peraturan Daerah Syariah Islam (Perda SI). Menanggapi hal ini, sebagian masyarakat, terutama masyarakat muslim, menerimanya dengan dalih sebagai konsekuensi demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan. Sementara sebagian yang lain menolak dengan dalih Perda SI tak ubahnya praktik ‘kudeta’ terhadap UUD 1945 dan Pancasila.

Bola pro-kontra pun terus menggelinding ke segala penjuru negeri, tak terkecuali di senayan, tempat para anggota DPR RI mengeruk rezeki. Terbukti, setidaknya 56 anggota dewan sepakat membubuhkan tanda tangan memorandum, sebagai reaksi ketidaksetujuan mereka atas Perda SI itu. Mereka meminta Ketua DPR RI menyurati Presiden RI supaya meninjau ulang keberadaan Perda SI yang menurut mereka bermasalah itu.

Dalam pandangan kelompok dewan pro memorandum ini, Perda SI nyata-nyata bertentangan dengan undang-undang di atasnya, seperti UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan soal agama tidak bisa dilimpahkan kepada daerah. Untuk itu, tidak boleh ada toleransi sedikitpun atas keberadaan Perda SI itu. Tidak sampai di situ, mereka juga mensinyalir, fenomena itu tak lain sebagai upaya ‘kampung mengepung kota’ atau ‘syariatisasi merangkak’ menuju Negara Islam. Ini berbahaya bagi kelangsungan bangsa Indonesia, kata mereka.

Atas sikap ini, setidaknya 134 anggota DPR RI bereaksi sebaliknya, dengan membubuhkan tandatangan kontramemorandum. Mereka menegaskan bahwa apa yang dituduhkan kelompok dewan promemorandum tidak benar adanya. Kelompok kontramemorandum juga menilai, Perda SI justru bagian dari amanat Pancasila dan UUD 1945 itu sendiri, yang menegaskan bahwa Syariah Islam merupakan salah satu unsur hukum di negeri ini. Dan, itu bukan upaya syariatisasi merangkak menuju Negara Islam, kata mereka.

Setelah diadakan rapat dengan Ketua DPR RI, prokontra itu pun berakhir kecut dengan ‘kekalahan’ kelompok promemorandum. Gagasan nyurati presidenpun harus rela dieliminasi dari pentas. Sebagai gantinya, kelompok promemorandum dianjurkan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). MA yang akan menilai keabsahan Perda SI itu.

Dua wacana yang seolah bertabrakan inilah yang kini mendominasi pentas perpolitikan di negeri ini, utamanya terkait hubungan antara negara dan agama. Juga antara kelompok islamis dengan kelompok sekuler. Dikatakan seolah bertabrakan, karena hemat saya, sebetulnya kedua wacana itu bisa ditemukan pada satu titik tuju yang sama: yaitu soal kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi rakyat. Baik yang menyetujui Perda SI maupun yang menolak, insya Allah, semuanya dalam rangka ingin mewujudkan tiga simpul kata itu. Hanya saja caranya berbeda; satu formalistis dan satu lagi substantiv.

Berawal dari kesamaan titik tuju itu, saya mencoba memberi jalan tengah yang saya sebut secara serampangan sebagai Syariah Islam Nusantara (SIN), yang merupakan kombinasi antara doktrin Islam dengan aspek logis keindonesiaan.
SIN, hemat saya, adalah syariah Islam yang berbasis keragaman, baik agama, budaya, etnik, maupun ras masyarakat Indonesia. Dengan ujaran lain, SIN adalah syariah Islam berbasis Bhineka Tunggal Ika, yang (kalaupun dipaksaterapkan) diharapkan bisa menjadi payung bersama, dan membuat rasa nyaman bagi ‘musafir’ yang berteduh di bawahnya.

Untuk itu, ada beberapa karakteristik SIN yang perlu dikedepankan. Pertama, SIN berorientasi pada substansi bukan simbol formal. Pemunculan simbol-simbol keislaman, apalagi ke-Araban secara tidak proporsional misalnya, justru akan memantik terjadinya jurang menganga antar berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Diakui, simbol atau kulit itulah yang sebetulnya bisa menghilangkan potensi kebersamaan. Soal pakaian misalnya. Jubah yang nota bene sangat berbau Arabis, tidak seharusnya ditonjolkan sebagai identitas keagamaan tertentu di negeri ini. Sebab jika ini yang terjadi, kelompok lain di luar kelompok berjubah itu tidak akan merasakan kebersamaan sebagai warga Indonesia. Jika hilang kebersamaan sebagai bangsa, bagaimana kita akan membangun bangsa ini ke depan?

Kedua, SIN tidak berorientasi monolitis melainkan pluralis. Orientasi bahwa semua masyarakat Indonesia harus berpandangan (atau beragama) tunggal, untuk kontek Indonesia yang plural ini tidak selayaknya dikedepankan. Biarkanlah agama di negeri ini beragam, berikut kepercayaannya. Biarkanlah budaya di negeri ini beragam, sesuai akarnya. Bukankah Islam menegaskan tidak adanya paksaan hidup monolitis? Allah Swt sendiri menciptakan banyak agama dan banyak suku, dengan tujuan li ta’arafu (saling mengenal satu sama lain) sesuai identitasnya masing-masing. Dengan demikian, unsur missi monolitis harus disingkirkan jauh-jauh dalam konteks Indonesia. Sebaliknya, penghargaan terhadap keragaman (pluralitas), baik agama, budaya, pandangan, dll, harus menjadi priotitas utama demi masa depan bangsa ini.

Ketiga, SIN berorientasi pada kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan rakyat. Di tengah jutaan rakyat yang kelaparan, jutaan lainnya bodoh, dan jutaan lainnya lagi pengangguran, maka hendaknya penegakan syariah Islam diorientasikan untuk mengentaskan kenestapaan ini. Tentu dengan tanpa pandang bulu siapa mereka dan dari latar belakang agama apa. Di sinilah sebetulnya letak missi agung agama; missi kemanusiaan. Jika bentuk penegakan syariah seperti ini yang diprioritaskan, yakinlah wajah generic Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan mewujud secara nyata.

Keempat, SIN tidak berorientasi memberangus local wisdom (kearifan lokal). Kearifan lokal, apapun bentuknya, merupakan kekayaan negeri ini yang tiada terkira. Jika penegakan syariah justru memberangus semua itu, bisa dipastikan ini bukan syariah yang rahmatan lil ‘alamin melainkan la’natan lil ‘alamin. Lihatlah keteladanan wali songo, yang dakwah Islamnya justru mampu memadukan unsur Islam, Hindu-Budha dan tradisi lokal. Inilah yang menjadikan dakwah mereka bisa diterima oleh berbagai kalangan, karena kearifan lokal mereka justru dihargai bukannya diberangus.

Kelima, SIN juga berorientasi pada penghargaan yang tinggi terhadap UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara yang memayungi seluruh komponen bangsa. Penegakan syariah harus sejalan seiring dengan semangat dua ‘barang keramat’ itu.

Akhirnya, jika umat Islam yang mayoritas di negeri ini tetap ngebet atau bahkan kebelet merealisasikan – pinjam terminologi Dr. Moeslim Abdurrahman – ‘NKRI berjubah Syari’ah’, maka jubah syariah seperti di ataslah yang harus dikenakan. Dan, semua orang, tanpa memandang asal-usulnya, akan merasa sebagai mitra yang baik, bukannya sebagai the other, guna mewujudkan cita-cita kebangsaan ke depan. Wa Allah a’lam.[]

0 Comments:

Post a Comment

<< Home