Toleransi Kaum Sufi
Oleh Nurul Huda Maarif
Menteri Agama Mukti Ali (1971-1976), telah meretas jalan toleransi antar umat beragama. Retasan ini kian matang dengan munculnya Trilogi Kerukunan Umat Beragama (kerukunan intern umat satu agama, kerukunan antar umat berbeda agama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah) yang digemakan Menteri Agama Kabinet Pembangunan III (1977-1982) Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Bila kita sudi menengok jauh ke belakang, sebenarnya gagasan di atas telah lama diretas kaum sufi, terutama sufi falsafi, kendati dengan format berbeda dan acapkali lebih “ekstrim.” “Keekstriman” itu misalnya, (salah satunya) ditunjukkan oleh Ibnu ‘Arabi (560-638 H) melalui konsep wahdat al-wujud yang menimbulkan pro-kontra hebat di kalangan ulama.
Muhammad Abd al-Haq Ansari menyatakan, “Doktrin Ibnu ‘Arabi mengabaikan obyektivitas keburukan dan merelatifkan keimanan, memaafkan keyakinan dan tindakan yang keliru, juga mengabaikan hukuman dan neraka ‘sebagai surga lain.’” Ini bukti nyata, betapa tingkat toleransi yang ditampilkan Ibnu Arabi sangat tinggi hingga tak mengenal tapal batas.
Merajut Toleransi
Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya ada tiga alasan utama yang melatari toleransi kaum sufi. Pertama, adanya indikasi bahwa ajaran kaum sufi merupakan adopsian dari ajaran lintas agama atau kepercayaan. Misalnya, kaum sufi dianggap mewarisi perilaku zuhud dan praktik-praktik monastik dari ajaran Nasrani, fana dari Budhisme, keinginan untuk mengetahui realitas luhur melalui pemurnian jiwa dan iluminasi dari ajaran gnotisisme, multiplicity dari ajaran kebersatuan Neo Platonisme, serta teori monistik dari ajaran Vedanta India.
Tesis ini, jika benar, menunjukkan betapa kaum sufi-falsafi, tidak lagi hirau dan malah acuh terhadap sumber-sumber ajaran yang mereka nukil. Mereka tidak lagi terpaku dan terjebak hanya pada satu sumber ajaran (Islam). Mereka bahkan coba meramu dan meracik beragam ajaran dari berbagai sumber, untuk dijadikan satu kesatuan ajaran yang indah. Mereka tak peduli ramuan dan racikan itu sinkretistik. Yang penting, asalkan ramuan atau racikan itu dapat mengantarkan kedekatan erat pada Sang Khalik, akan mereka amalkan. Ini substansi dari semua ajaran agama, sejatinya. Dan keterbukaan seperti inilah yang menjadi cikal-bakal toleransi bagi mereka kala menatap perbedaan ‘jalan’ yang ada. Karena memang, sedari awal, spiritualitas mereka dibangun di atas keragaman ajaran.
Kedua, kaum sufi tidak mau terjebak, terpaku, dan berjibaku pada simbol-simbol lahiriah agama formal. Mereka telah melampaui simbol (beyond the symbol) formal agama. Substansi, dalam keyakinan mereka, jauh lebih urgen ketimbang simbol. Pun demikian, bukan berarti mereka meninggalkan simbol sama sekali. Mereka hanya tak mau terkungkung secara buta dalam dunia simbol itu. Karena dalam keyakinan mereka, tujuan yang harus digapai justru apa yang ada di balik simbol, bukan simbol itu. Simbol tak lebih sekedar sarana penghantar menuju sasaran. Sebab itu juga, mereka acapkali disebut ahl al-haqiqah atau ahl al-bathn.
Terkait sikap beyond the symbol ini, sufi terbesar Persia, Jalaluddin Rumi, pernah menyatakan, (yang intinya) untuk pergi ke Makkah dapat ditempuh berbagai jalan yang kita suka. Kita bisa melalui darat, laut, atau udara. Onta, keledai, kapal, dan yang lain, juga sah-sah saja dijadikan kendaraan. Pun kita dapat melalui negara yang berbeda. Semua itu bukan persoalan. Karena yang maha penting adalah tujuan; Makkah. Makanya tak penting memperdebatkan jalannya. Memperdebatkan jalan malah tak akan mengantarkan kita pada tujuan sejati.
Ketiga, imbas dari pemikiran wahdat al-wujud. Gagasan Ibnu 'Arabi ini, jelas sangat mewarnai pemikiran para sufi-filosof setelahnya, terutama terkait bagaimana melihat keragaman jalan kebenaran. Sebab itu, para sufi-filosof yang terimbas oleh teori ini, memiliki sikap demikian toleran, yang bahkan sampai pada taraf “ekstrim.”
Menurut sufi India yang getol mengkritik wahdat al-wujud, Syekh Ahmad Sirhindi, doklrin ini bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, doktrin ini membenarkan penyembahan terhadap berhala dan politeisme, karena ia mengidentikkan dunia dengan Tuhan. Akibatnya, berbagai penyembahan atas obyek akan disamakan dengan penyembahan terhadap Tuhan.
Sebab itu, lanjutnya, doktrin ini akan berujung pada konsep wahdat al-adyan. Buktinya, seperti dinukilkan Abu al-Wafa’ al-Taftazani, Ibnu Arabi menyatakan: “Sumber agama-agama itu hanya satu, yaitu Hakikat Muhammad.” Konsekuensinya apa? Semua agama – apapun bentuk dan model penyembahannya – adalah tunggal dan kepunyaan Allah.
Malah, seperti dituturkan AA Afifi, Ibnu Arabi yang panteistik itu pernah menyatakan; “Hanya pada Dia sajalah kita gantungkan tiap sesuatu. Ketergantungan kita kepada benda-benda lain adalah bukti ketergantungan kita pada-Nya, karena benda-benda itu tidak lain adalah pemunculan-Nya.” Ini, pada gilirannya, juga akan memunculkan sikap toleransi atas berbagai penyembahan, termasuk pada benda-benda. Karenanya, Asghar Ali Engineer menyimpulkan, sufi yang menganut wahdat al-wujud dapat bergaul dengan semua orang, tanpa melihat latar belakang kepercayaannya.
Toleransi Gila?
Melihat kenyataan di atas, kiranya tidak berlebihan bila muncul kesan bahwa agama formal cenderung tidak toleran terhadap keyakinan yang berbeda. Buktinya, acapkali muncul konflik, baik fisik maupun non-fisik, yang justru “dilatari” oleh faktor agama formal.
Atas kenyataan ini, mau tak mau kita harus prihatin. Di tengah berbagai keragaman (pluralutas) yang ada, toleransi yang seharusnya menjadi tradisi menyenangkan justru menampak sebagai angan yang tak pernah menjadi kenyataan. Sikap intoleransi dan saling menganggap salah keyakinan lain yang berbeda, itulah yang lantas mewarnai keberagamaan kita. Untuk itu, sudah sepatutnya kita sudi menoleh untuk berkaca pada tradisi kaum sufi yang sangat menjunjung tinggi toleransi, kendati pada tahap tertentu, oleh penganut agama formal toleransi mereka dinilai “ekstrim”, “kebablasan”, atau bahkan “gila”.
Seharusnya, toleransi “gila” mereka tidak lantas membuat kita alergi apalagi apatis, sehingga emoh meliriknya. Apapun model toleransi itu, asalkan dapat merekatkan hubungan antar berbagai penganut agama, idealnya kita pertimbangkan sebagai alternatif. Mengapa? Inti keberagamaan kita tak lain untuk menciptakan kedamaian di muka bumi ini, bukan? Dan sis-sia belaka, jika keberagamaan kita tak mampu mewujudkan kedamaian, bukan? Wallahu allam.[]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home