tag:blogger.com,1999:blog-244512712024-03-07T16:16:39.518-08:00Nurul Huda MaarifAku terlahir, pada 1980, dengan nama Nurul Huda. Sebagai ungkapan kecintaanku pada ortuku, nama belakangku aku embelin Maarif. Kemiri, Subah, Batang, Jateng, adalah tempat pertamaku menjejak di bumi yang fana ini. (email: nuhamaarif@yahoo.com)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.comBlogger82125tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-18175567274979440992008-12-29T17:37:00.001-08:002008-12-29T17:43:12.613-08:00Renungan Tahun Baru Islam 1430 H: Menuju Kemanusiaan Berbasis TauhidOleh Nurul H. Maarif*<br /><br />Kalender Islam (KI) kini telah menapaki usia ke-1430, tepat pada 29 Desember 2008. Itu berarti, peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw (terjadi pada 24 September 622 M) sebagai pijakan dimulainya KI telah terjadi 14 abad silam (perihal terbentuknya KI, lihat: MM Azami, 65 Sekretaris Nabi, 2008, hal. 24-29). Peristiwa hijrah ini memang klasik lantaran telah lama terjadi. Namun kandungan nilainya terus mengalami kebaruan dan kontektualitasnya tak pernah lapuk dimakan zaman.<br /><br />Uraian demi uraian yang menggali nilai-nilai adiluhung hijrah terus dilakukan, hatta oleh akademisi nonmuslim. Mutiara dan hikmah kehidupan pun terkuak dengan berbagai cahaya kemilaunya. Sampai-sampai Muhammad Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1972) menyebut peristiwa ini sebagai “pembuka pintu baru dalam kehidupan politik.” Pasalnya, paska hijrah ini Nabi Saw mencanangkan dasar peradaban yang menghormati martabat dan HAM. <br /><br />Nabi Saw misalnya, mengakui kebebasan beragama, menyatakan pendapat, jaminan keselamatan harta benda, larangan tindak kejahatan, dan sebagainya. Ini terbukti dengan diterbitkannya Piagam Madinah (Mitsaq Madinah) yang berisi kesepakatan hidup bersama antar berbagai ragam komunitas. Tahapan baru kehidupan Nabi Saw ini, oleh Guru Besar Sosiologi Universitas California AS Robert N Bellah, malah disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban. Menurutnya, ini terlalu modern untuk ukuran Timur Tengah kala itu. <br /><br />Ini baru satu sisi mutiara hijrah Nabi Saw. Masih banyak sisi lain yang tak kalah menarik diulas. Namun toh samudera inspirasi itu tak pernah kering. Bahkan terus menyemburkan nilai-nilai baru. Ibarat mutiara, peristiwa hijrah akan memancarkan cahaya berbeda-beda tergantung siapa yang memandangnya.<br /><br />Dan benar saja, hijrah baik dalam pengertiannya yang leterlek maupun metaforis tak pernah mati. M. Abdullah al-Khatib dalam karyanya, Makna Hijrah Dulu dan Sekarang, mengisahkan sahabat yang sowan pada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, saya baru mengunjungi kaum yang berpendapat hijrah telah berakhir.” “Sesungguhnya hijrah tidak ada hentinya, hingga terhentinya tobat. Tobat pun tidak ada hentinya, hingga matahari terbit dari barat,” respon Nabi Saw. <br /><br />Kemanusiaan Berbasis Tauhid<br />Diantara nilai adiluhung hijrah Nabi Saw, adalah pengajaran prinsip “kemanusiaan berbasis tauhid”. Maksudnya, prinsip yang mengedepankan kepedulian pada sisi kemanusiaan (kemiskinan, pendidikan kaum lemah, kesehatan kaum papa, dll), namun berpijak pada ketauhidan yang kukuh. Bukan kemanusiaan yang kering nilai ketauhidan. <br />Misalnya, sebelum Nabi Saw dan para sahabatnya eksodus ke Yatsrib (yang lantas menjadi Madinah), sisi ketauhidan lebih dulu ditancapkan di Makkah selama + 13 tahun. Di bumi spiritual Makkah – karena sebagai kiblat shalat dan poros haji – ayat-ayat ketauhidan yang banyak diturunkan. Ayat-ayat ini diniatkan sebagai landasan pacu mengarungi kehidupan ini. <br /><br />Setelah ketauhidan ini kukuh, barulah Nabi Saw dan para sahabat dititahkan mengelola Madinah sebagai bumi kemanusiaan. Di sana, mereka harus berbaur dengan komunitas yang heterogen, baik agama maupun etnis. Ada Yahudi, Nasrani, Watsani (penyembah berhala) dan sebagainya. Lantas dicanangkan tata kehidupan bermasyarakat melalui Piagam Madinah. Di sinilah peran khalifah fi al-ardh begitu nyata, ketimbang di Makkah. <br /><br />Di Madinah yang + 10 tahun ini, ayat-ayat tentang hubungan sosial, hubungan antar agama, kepedulian pada si lemah, termasuk ayat wajib zakat diturunkan. Ini karena orientasi kehidupan di Madinah lebih pada nilai humanisme ketimbang spiritualisme an sich. Namun, nilai kemanusiaan ini baru terlaksana setelah nilai ketauhidan tertanam kukuh. Karenanya, menjadi “tak ada makna” bahkan kering, nilai kemanusiaan yang tak dipondasi nilai ketauhidan. Hambar rasanya orang berzakat tanpa percaya wujud Allah SWT. Begitupun “tak ada nilai” orang yang percaya wujud Allah SWT tapi acuh pada nilai kemanusiaan.<br /><br />Dengan demikian, keduanya – baik ketauhidan maupun kemanusiaan – harus berjalan beriringan, kendati ketauhidan tetap diletakkan sebagai pondasinya. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Itulah orang-orang yang beroleh kemenangan”. (Qs. at-Taubah: 20). Beriman dulu, berhijrah, dan baru berpikir tentang nilai kemanusiaan baik dengan harta maupun diri. Inilah orang yang beroleh kemenangan. Dan inilah altruisme, sifat mementingkan orang lain berbasis ketauhidan.<br /><br />Peristiwa hijrah juga menunjukkan, kendati Makkah sebagai bumi spiritual sangat dicintai Nabi Saw dan bahkan berat ditinggalkan, tetap saja realitas sosial Madinah tak lantas diabaikannya. Kendati Makkah adalah tempat yang sungguh-sungguh menenteramkan batin, realitas kehidupan Madinah tetap harus diurus. Tak boleh berlama-lama di menara gading Makkah dengan acuh pada kondisi kemanusiaan di Madinah. Atas dasar itu, sudah seharusnya kita mengaca pada hijrah Nabi Saw; dalam konteks menuju kemanusiaan Madinah berbasis ketauhidan Makkah.<br /><br />Pun demikian, tentu saja “fitrah”nya, spiritualisme akan lebih diimajinasikan oleh umat manusia ketimbang humanisme. Nabi Saw sendiri selalu ingin kembali ke bumi spiritual Makkah. Hingga akhirnya terjadilah Fathu Makkah pada 12 Ramadhan 8 H. Tapi sebagai khalifah di bumi yang ditugasi mengurus hal-ihwal kemanusiaan, Nabi Saw tidak lantas menetap di Makkah melainkan kembali ke Madinah hingga akhirnya meninggal di sana, di tengah tugas-tugas kemanusiaannya. <br /><br />Akhirnya, marilah kita berhijrah menuju kemanusiaan dengan pondasi ketauhidan yang kukuh. Letakkanlah Allah SWT sebagai dasar dan orientasi kehidupan ini. “Siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Siapa berhijrah karena dunia atau wanita, maka hijrahnya menuju yang ia inginkan.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Wa Allah a’lam.[]<br /><br />Jakarta, 24 Desember 2008<br />*Pengajar YPI Qothrotul Falah Cikulur Lebak BantenNurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-4638579809463162532008-11-24T20:09:00.000-08:002008-11-24T20:17:13.091-08:00Surat Terbuka untuk Bupati Lebak Terpilih 2009-2013Oleh Nurul H. Maarif<br />Salam. Tuan Bupati Mulyadhi Jayabaya yang terhormat. Semoga Tuan senantiasa diberi kesehatan oleh Allah SWT untuk mengemban amanah sebagai pelayan masyarakat Lebak periode 2009-2013. Kemenangan Tuan, yang telak itu (62 % lebih), menunjukkan dukungan dan harapan yang begitu besar dari rakyat Tuan. Jagalah kepercayaan mereka dan tunaikanlah janji Tuan untuk mensejahterakan mereka, baik secara ekonomi, pendidikan, kesehatan maupun lainnya. Apalagi ini kali kedua Tuan dipercaya menduduki posisi yang sama.<br /><br />Semoga pula, motivasi Tuan merebut posisi Bupati bukan lantaran thalab al-jah (mencari pangkat/kedudukan), melainkan karena panggilan dan tanggungjawab kemanusiaan. Yakinlah, jika motivasi pertama yang diniatkan, maka tak akan ada dukungan bagi Tuan. Dan mari renungkan kembali baik-baik firman Allah SWT, “Katakanlah (Muhammad)! Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapapun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapapun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapapun yang Engkau kehendaki.” (Qs. Ali Imran ayat 26).<br /><br />Semua nikmat ini, wahai Tuan, pertama-tama tak lain atas kehendak-Nya, disamping usaha Tuan dan tim Tuan yang sungguh-sungguh berjuang siang dan malam itu. Kami semua berharap, melalui “tangan” Tuan, Allah SWT menghendaki dan hendak menjadikan Lebak sebagai daerah yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ini harapan kami semua, yang sudah semestinya juga menjadi harapan dan cita-cita Tuan. Semoga! <br /><br />Wahai Tuan, Tuan kini milik kami semua, warga Lebak. Kendati mulanya Tuan diusung partai tertentu (karena ini persyaratan Pilkada), tak pelak lagi Tuan sekarang milik rakyat Lebak. Tuan bukan lagi milik partai pengusung. Tuan telah melebur dalam diri rakyat Lebak. Tuan adalah rakyat Lebak dan rakyat Lebak adalah Tuan. Pun, kendati ada diantara kami yang tidak memilih Tuan pada 16 Oktober 2008 lalu, karena kami memiliki pilihan, keyakinan, kreteria dan harapan sendiri, tapi Tuan kini pemimpin kami dan kami wajib menaatinya. <br /><br />Bukalah tangan Tuan lebar-lebar untuk menerima siapapun yang mulanya tidak memilih Tuan. Bukalah juga tangan Tuan untuk “musuh-musuh” Tuan yang lain. Tak boleh ada ruang dendam di hati Tuan kendati sekecil dzarrah. Karena membangun daerah ini, mustahil berhasil jika Tuan sendirian, hanya dimiliki dan untuk segelintir orang/kelompok. Kita semua kini kawula Tuan, yang seluruhnya harus dan berhak diberi keadilan, karena hak dan kewajiban sebagai warga sama belaka dengan hak dan kewajiban para pengikut setia Tuan sebagai warga. <br /><br />Wahai Tuan, pepatah lama mengatakan, sayyidul qaumi khadimuhum (pemimpin umat adalah pelayan mereka). Dengan menjadi Bupati, Tuan telah menyerahkan diri untuk menjadi pelayan rakyat Lebak yang sesungguhnya. Kewajiban Tuan melayani kami dan kewajiban kami menaati Tuan. Hajat hidup yang kami butuhkan, perbaikan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lainnya, karenanya hendaklah Tuan tunaikan dengan sebaiknya. Jangan sekali-kali Tuan lupa hakikat diri Tuan sebagai pelayan. Jika Tuan lupa sedikit saja, maka kealpaan akan terus menimpa Tuan. Ujungnya, harapan dan cita-cita seluruh warga Lebak tak akan terwujud. Tuanpun akan menjadi pecundang. Dan kami yakin, Tuan bukanlah tipe pemimpin yang demikian. Tuan adalah harapan sekaligus pelita kegelapan kami semua.<br /><br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Muhammad SAW yang tak mau makan atau minum sebelum seluruh sahabatnya makan dan minum. Di akhir masa kerasulannya, Beliau masih terus memikirkan nasib umatnya: ummati…ummati…. Pernah suatu ketika Beliau menyepelekan dan acuh pada sahabatnya yang buta, Abdullah bin Ummi Maktum, karena Beliau ingin mengambil hati para punggawa Kafir Quraisy. Beliau lantas ditegur keras oleh Allah SWT atas sikapnya yang “sok” elitis. Beliau bahkan dicap oleh-Nya sebagai “yang bermuka masam”. (Qs. ‘Abasa: 1-11). Beliapun insyaf dan senantiasa menyapa Abdullah dengan ucapan: marhaban biman atabani rabbi (Selamat datang wahai orang yang menyebabkan aku ditegur Allah SWT). Rasulpun sadar, orang kecil dan seakan tak berharga, yang lebih sering disepelekan, sesungguhnya mereka itulah yang lebih membutuhkan perhatian dan belaian kasih sayang pemimpin, termasuk Tuan. <br /><br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Abu Bakar al-Shiddiq yang tegas pada orang-orang yang merusak tatanan kehidupan berbangsa. Para pengingkar zakat yang diyakini akan merusak perekonomian dan tatanan negara, Beliau tak segan-segan menumpasnya. Bukan karena benci. Bukan pula karena dendam. Namun untuk menjaga stabilitas masyarakat dan untuk kepentingan kesejahteraan mereka. <br /> <br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Umar bin al-Khattab yang rela bersusah-payah menggendong sekarung gandum untuk rakyatnya yang kelaparan. Beliau juga sosok yang mengayomi semua rakyatnya, termasuk mereka yang berbeda keyakinan atau agama sekalipun. Siapapun yang berada di wilayahnya, mereka adalah rakyatnya yang berhak mendapat perlindungan selayaknya sebagai warga.<br /><br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Usman bin ‘Affan yang zuhud pada harta dan tak tamak. Kendati Tuan dikelilingi tumpukan harta, hendaklah Tuan menempatkan harta-harta itu di luar hati Tuan. Jangan ia disimpan di dalam hati Tuan. Apalagi sampai lengket di hati. Inilah perilaku zuhud, yang saat ini jarang kita dapati dari para pemimpin di negeri ini. Kita tidak ingin, Tuan bernasib sama seperti sebagian pemimpin dan anggota dewan, yang karena ketamakan dan kerakusannya, lantas sisa umurnya dihabiskan di dalam jeruji besi yang pengap dan jauh dari kehormatan. Kami percaya Tuan bukan tipe pemimpin yang demikian. <br /><br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Ali bin Abi Thalib, yang begitu ketakutan ketika mendengar seekor Keledai (benar, cuma seekor Keledai yang “dungu”) terpeleset di sebuah jalan di wilayah kekuasaannya. Sebagai pemimpin yang bertanggungjawab pada kemaslahatan rakyat, Beliau begitu ketakutan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat atas cederenanya seekor Keledai. Mari kita renungkan! Keledai saja begitu diperhatikan oleh Beliau, apalagi manusia? Lalu, apa yang akan Tuan perbuat ketika melihat kondisi jalan-jalan dan sekolah-sekolah reot siap roboh di wilayah Tuan yang tidak hanya bisa mencederai hewan atau manusia, tapi bahkan bisa membunuh mereka? <br /><br />Tuan, besar harapan kami Tuan bisa meneladani lelaku Baginda Umar bin Abdul Aziz yang tak mau menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Suatu ketika, puteranya datang untuk membincangkan masalah keluarga. Lampu penerang ruangan lantas Beliau matikan. Gelap gulita. Beliau beralasan, yang dibicarakan adalah urusan keluarga, sehingga tidak seharusnya menggunakan fasilitas negara. Ini memang lelaku tingkat tinggi yang tidak mudah diteladani, Tuan. Tapi, tidak ada yang mustahil di dunia ini, jika kita berniat. <br /><br />Alangkah senang dan bahagianya, Tuan dipercaya melayani rakyat Lebak selama dua periode berturut-turut. Jarang yang punya kesempatan seperti Tuan. Karenanya, kami yakin, Tuan sangat tahu mana-mana hajat hidup masyarakat Lebak yang musti ditunaikan. Tuan juga sangat tahu, kebijakan Tuan haruslah senantiasa diorientasikan untuk kemaslahatan mereka (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah). Tuan, jika kepemimpinan Tuan “hari ini” lebih buruk dari “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak celaka. Jika kepemimpinan Tuan “hari ini” sama dengan “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak merugi. Jika kepemimpinan Tuan “hari ini” lebih baik dari “kemarin”, maka Tuan dan rakyat Lebak beruntung. Tentu saja ini yang kita semua harap dan nantikan. Kami berdoa, semoga Tuan dan kita semua bisa menggapainya.<br /><br />Tuan, yakinlah apa yang kami sampaikan ini bukanlah nasihat. Ini semata menunaikan tanggungjawab untuk saling mengingatkan sebagai sesama makhluk Allah SWT (tawashau bi al-haqq wa tawashau bi al-shabr). Harapan kami, Tuan termasuk pemimpin yang dikehendaki baik oleh Allah SWT, bukan sebaliknya. Dalam riwayat Sayyidah ‘Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: Jika Allah SWT menghendaki kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah SWT akan menjadikan baginya wazir shidqin (menteri atau tangan kanan yang jujur). Jika sang pemimpin salah/luput, wazir akan mengingatkannya dan jika sang pemimpin telah ingat, wazir lantas akan membantunya. Sebaliknya, jika Allah SWT menghendaki keburukan bagi seorang pemimpin, maka Allah SWT akan menjadikan baginya wazir su’in (menteri atau tangan kanan yang tidak jujur). Jika sang pemimpin salah/luput, wazir tidak akan mengingatkannya dan jika sang pemimpin telah ingat, wazir tidak akan membantunya. (HR Abu Dawud). <br /><br />Untuk itu Tuan, sering-seringlah tengok pembantu-pembantu Tuan: apakah mereka ini termasuk wazir shidqin atau sebaliknya wazir su’in? Jika saja ada yang tidak beres dari mereka, segeralah ambil tindakan karena semua ini akan berdampak pada kepemimpinan Tuan, yang akhirnya juga berdampak pada rakyat. Lalu carilah wazir-wazir yang jujur dan berkomitmen tinggi mensejahterakan rakyat Lebak. Dan, tentu saja kami semua di belakang Tuan.<br /><br />Akhirnya, bagi calon yang “kebetulan” belum menang, kami berharap mereka bisa legowo dan bisa merenungi ucapan bijak calon presiden Partai Republik, John McCain, yang kalah bersaing dengan Barack Husein Obama dari Partai Demokrat. “Dia (Obama) lawan utama saya semasa kampanye berlangsung. Sekarang dia presiden saya. Saya meminta seluruh warga AS mengucapkan selamat kepada Obama dan berharap AS di masa mendatang menjadi negara yang sejahtera, kuat, dan anak-anak kita aman, terhindar dari segala marabahaya.” <br /> <br />Sekarang, pilkada telah usai. Tidak ada lagi lawan dan tidak ada lagi musuh. Semua adalah kawan yang semestinya bersinergi dan bahu-membahu membangun Lebak hingga mewujud menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, sesuai harapan kita semua. Sekian, mohon maaf, dan wa Allah a’lam. Wasalam.[]<br /><br />*Penulis adalah rakyat Cikulur Lebak dan Pengajar YPI Qothrotul Falah Cikulur<br /><br />Jum’at, 14 Novemver 2008Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-77978903040401052902008-09-24T00:55:00.000-07:002008-09-24T01:01:29.239-07:00Pemimpin Berkarakter ThalutOleh Nurul H. Maarif<br /><br />Melalui Qs. al-Baqarah [2]: 247, Allah SWT menceritakan penolakan Bani Israil atas penunjukan Thalut sebagai pemimpin, karena ia dinilai berasal dari keluarga miskin dan bukan darah biru. Cara pandang umat saat itu (dan bahkan saat ini), masih melihat seseorang dari aspek “harta” dan “keturunan”nya. Keduanya acapkali dianggap penentu sukses kepemimpinan seseorang, dan karenanya lebih dipentingkan dari karakter kepemimpinan itu sendiri. <br /><br />Siapa sesungguhnya Thalut, yang hidup setelah zaman Nabi Musa AS? Menurut ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî, Thalut adalah rajulan faqiran la nasaba lahu wa la mala (lelaki miskin, bukan keturunan darah biru dan tak berharta). (Tafsir Ibn ‘Araby, 2001, jilid I, h. 81). Dalam Tafsir al-Thabari, Ibn Jarir al-Thabari menukil riwayat dari Ikrimah menyatakan, Thalut adalah penjual air – profesi yang dianggap mewakili strata kelas bawah.<br /><br />Menurut al-Thabari, berdasarkan riwayat Qatadah, Thalut adalah keturunan Bunyamin, kelompok yang tidak memiliki darah kenabian dan kerajaan. Dalam tradisi Bani Israil, seorang pemimpin harus muncul dari latar belakang keturunan nabi dan raja (sabt nubuwwah wa sabt mamlakah). Itu sebabnya, ketika dua syarat ini tak terpenuhi, mereka lantas menolaknya. Dan Thalut, ditakdirkan bukan dari kelompok ini. Bani Israel pun ramai-ramai menolaknya. Mereka heran, kenapa orang “tak berharga” seperti Thalut justru dikirim sebagai pemimpin mereka. <br /><br />Sesungguhnya, di balik “kekurangan”nya itu, Allah SWT memberi Thalut kelebihan berupa keunggulan intelektual dan tubuh yang perkasa (basthah fi al-‘ilm wa al-jism). (Qs. al-Baqarah [2]: 247). Diceritakan al-Thabari misalnya, Thalut mendapat karunia wahyu dari Allah SWT dan memiliki ukuran tubuh tinggi-besar, ukuran yang tidak pernah dimiliki orang pada masa itu. Inilah kelebihan Thalut; berwawasan luas sebagai prasyarakat manajerial kepemimpinannya dan berfisik tangguh sebagai prasyarat keperwiraannya sekaligus simbol keberanian dan ketegasannya. Dalam kokteks Thalut, ketangguhan fisik ini tak lain untuk mengalahkan Raja Jalut yang tiran dan represif pada rakyatnya.<br /><br />Untuk itu, ‘Abd al-Razzâq al-Qasyânî menyatakan, seharusnya yang ditekankan bagi calon pemimpin adalah al-ruhaniyyah atau aspek spiritual berupa al-‘ilm (pengetahuan) dan al-badaniyyah atau aspek fisik berupa keperkasaan dan ketangguhan (ziyadah al-qawi, syiddah al-binyah/fithrah, dan al-basthah). Hal inilah yang tampaknya diabaikan Bani Israil. Mereka hanya menekankan aspek material dan mengabaikan aspek spiritual (yang justeru) sebagai ruh seorang pemimpin.<br /><br />Karena pentingnya substansi kepemimpinan ini, tak heran jika suatu ketika seorang budak bernama Ibnu Abzi diberi amanat menggantikan sementara posisi Gubernur Makkah pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab. Gubernur yang definitif, Nafi’ bin Harist al-Khuza’i, kala itu tengah keluar kota. Kenapa budak yang dipilih oleh Umar? Alasannya karena ia menguasai al-Qur’an dan Ilmu Faraidh. Penguasaan kedua hal ini melayakkannya dipilih sebagai pemimpin. Sama sekali Umar tak melirik latar belakang “harta” dan “keturunan”nya. <br /><br />Dari peristiwa di atas, banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran terkait prosesi pilih-memilih dan angkat-mengangkat pemimpin. Pertama, sudah menjadi “tradisi” kita menggugat atau menyoal latar belakang calon pemimpin. Baik latar belakang “harta” atau “keturunan”. Tradisi ini telah berlangsung sepanjang masa. Malah sekarang ada tambahan “tradisi baru”, yaitu menggugat ijazah/latar belakang formal pendidikannya. Yang sarjana “diyakini” lebih baik dan jaminan kesuksesan dibanding yang non-sarjana. Gugatan ini biasanya dilakukan kelompok tertentu yang tidak setuju. Lagi-lagi yang dituntut bukan yang substansi, melainkan yang sampingan. <br /><br />Kedua, point pokok kepemimpinan adalah basthah fi al-‘ilm wa al-jism. Tipe inilah yang berprinsip tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-mashlahah (kebijakannya berorientasi untuk kemaslahatan umat). Tipe ini tak pandang agama dan latar belakang lainnya. Karenanya, Taqiyuddin bin Taimiyyah konon berpendapat, pemimpin/penguasa muslim yang zalim akan hancur, namun penguasa kafir yang adil akan langgeng. Titik tekannya “keadilan” bukan yang lainnya.<br /><br />Ketiga, yang tak kalah penting, kepemimpinan itu tergantung izin Allah SWT. Hanya Allah SWT lah yang bisa mengangkat dan menurunkan seseorang dari posisi pemimpin. Thalut yang ditentang habis oleh umatnya, bisa jadi pemimpin atas kehendak-Nya. Kenyataan ini sekaligus untuk mengingatkan para pemimpin, bahwa kepemimpinannya tak datang dengan sendirinya. Sebab itu, kepemimpinannya harus disadari akan dimintai-Nya pertanggungjawaban, sehingga perilaku yang tidak diridhai-Nya akan dijauhi.<br /><br />Keempat, berkat iman yang kokoh, komitmen, dedikasi yang tinggi, praktik hidup yang lurus, disiplin serta diiringi keridhaan Allah SWT, kelompok kecil yang dipimpin Thalut sanggup menggulingkan kelompok Jalut yang besar lagi tiran dan represif terhadap rakyat. Karenanya, tak boleh ada kesombongan pemimpin, bahwa dirinyalah yang besar dan kuat sehingga berhak sewenang-wenang pada rakyatnya. Jika bibit kesombongan ini telah muncul, maka tunggulah kehancurannya. <br /> <br />Itulah beberapa pelajaran penting terkait terpilihnya si penjual air Thalut sebagai pemimpin. Semoga kita tidak seperti Bani Israil yang gemar menggugat calon pemimpin hanya karena tidak sesuai “selera” kita. Semoga kita mendapatkan pemimpin yang berkarakter; unggul di bidang intelektual, manajerial dan tangguh. Detik demi detiknya untuk melayani umat beroleh keadilan dan kesejahteraan. Wa Allah a’lam.[] <br /><br />Jakarta, 13 September 2008Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-74791475800638925272008-09-13T00:08:00.000-07:002008-09-13T00:10:40.190-07:00Keadilan dalam Islam*Oleh Nurul H. Maarif<br /><br />1. Terma-terma Keadilan<br /><br />al-Qur’an, setidaknya menggunakan tiga terma untuk menyebut keadilan, yaitu al-‘adl, al-qisth, dan al-mîzân. <br /><br />al-‘Adl, berarti “sama”, memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika hanya satu pihak, tidak akan terjadi “persamaan”. <br /><br />al-Qisth, berarti “bagian” (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya “persamaan”. al-Qisth lebih umum dari al-‘adl. Karena itu, ketika al-Qur’ân menuntut seseorang berlaku adil terhadap dirinya, kata al-qisth yang digunakan. Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...(Surah al-Nisa’/4: 135).<br /> <br />al-Mîzân, berasal dari akar kata wazn (timbangan). al-Mîzân dapat berarti “keadilan”. al-Qur’an menegaskan alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan. Allah SWT berfirman: Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan). (Surah al-Rahman/55: 7).<br /><br />2. Makna-makna Keadilan<br /><br />Beberapa makna keadilan, antara lain;<br />Pertama, adil berarti “sama”<br /> <br />Sama berarti tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Persamaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah persamaan hak. Allah SWT berfirman: “Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...” (Surah al-Nisa'/4: 58).<br /> <br />Manusia memang tidak seharusnya dibeda-bedakan satu sama lain berdasarkan latar belakangnya. Kaya-papa, laki-puteri, pejabat-rakyat, dan sebagainya, harus diposisikan setara. <br /><br />Kedua, adil berarti “seimbang”<br /> <br />Allah SWT berfirman: Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang). (Surah al-Infithar/82: 6-7).<br /> <br />Seandainya ada salah satu anggota tubuh kita berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan).<br /> <br />Ketiga, adil berarti “perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu pada setiap pemiliknya”<br /> <br />“Adil” dalam hal ini bisa didefinisikan sebagai wadh al-syai’ fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Lawannya adalah “zalim”, yaitu wadh’ al-syai’ fi ghairi mahallihi (menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya). “Sungguh merusak permainan catur, jika menempatkan gajah di tempat raja,” ujar pepatah. Pengertian keadilan seperti ini akan melahirkan keadilan sosial.<br /> <br />Keempat, adil yang dinisbatkan pada Ilahi.<br /><br />Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah SWT. Keadilan Ilahi merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.<br /> <br />Allah disebut qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (Surah Ali ‘Imram/3: 18). Allah SWT berfirman: Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hamba-Nya (Surah Fushshilat/41: 46).<br /><br />3. Perintah Berbuat Adil<br /><br />Banyak sekali ayat al-Qur’an yang memerintah kita berbuat adil. Misalnya, Allah SWT berfirman: Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Surah al-Ma-idah/5: 8).<br /> <br />Dijelaskan ayat ini, keadilan itu sangat dekat dengan ketakwaan. Orang yang berbuat adil berarti orang yang bertakwa. Orang yang tidak berbuat adil alias zalim berarti orang yang tidak bertakwa. Dan, hanya orang adil-lah (berarti orang yang bertakwa) yang bisa mensejahterakan masyarakatnya. <br /> <br />Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (Surah al-A’raf/7: 29). Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (Surah al-Nahl/16: 90). Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-sebaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Surah al-Nisa/4: 58). <br /><br />Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan Keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri ataupun ibu bapakmu dan keluargamu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih mengetahui keadaan keduanya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga kamu tidak berlaku adil. Jika kamu memutar balikkan, atau engggan menjadi saksi, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Nisa’/4:135).<br /><br />Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Surah al-Hujurat/49: 9).<br /><br />4. Bidang-bidang Keadilan <br /><br />Beberapa bidang keadilan yang wajib ditegakkan, antara lain, <br />Pertama, keadilan hukum<br /><br />Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, itulah ayat-ayat yang memerintahkan untuk menegakkan keadilan hukum, kendati pada diri dan keluarga kita sendiri. Ketegasan tanpa pandang bulu inilah yang juga diteladankan Nabi Muhammad Saw.<br /><br />Diriwayatkan, pada masa beliau, seorang perempuan dari keluarga bangsawan Suku al-Makhzumiyah bernama Fatimah al-Makhzumiyah ketahuan mencuri bokor emas. Pencurian ini membuat jajaran pembesar Suku al-Makhzumiyah gempar dan sangat malu. Apalagi, jerat hukum saat itu mustahil dihindarkan, karena Nabi Muhammad Saw sendiri yang menjadi hakim-nya. <br /><br />Bayang-bayang Fatimah al-Makhzumiyah akan menerima hukum potong (Surah al-Ma’idah/5: 38) tangan terus menghantui mereka. Dan jika hukum potongan tangan ini benar-benar diterapkan, mereka akan menanggung aib maha dahsyat, karena dalam pandangan mereka seorang keluarga bangsawan tidak layak memiliki cacat fisik. Lobi-lobi politis pun digalakkan supaya hukum potong tangan itu bisa diringankan atau bahkan diloloskan sama sekali dari Fatimah al-Makhzumiyah. Uang berdinar-dinar emas dihamburkan untuk upaya itu.<br /><br />Puncaknya, Usamah bin Zaid, cucu Nabi Muhammad Saw dari anak angkatnya yang bernama Zaid bin Haritsah, lantas dinobatkan sebagai pelobi oleh Suku al-Makzumiyah. Kenapa Usamah? Karena Usamah adalah cucu yang sangat disayangi Nabi. Melalui orang kesayangan Nabi ini, diharapkan lobi itu akan menemui jalan mulus tanpa rintangan apapun, sehingga upaya meloloskan Fatimah dari jerat hukun bisa tercapai. Apa yang terjadi?<br /><br />Upaya lobi Usamah bin Zaid, orang dekatnya, itu justru mendulang dampratan keras dari Nabi Muhammad Saw, bukannya simpati. Ketegasan Nabi dalam menetapkan hukuman tak dapat ditawar sedikitpun, hatta oleh orang dekatnya. Untuk itu, Nabi lantas berkata lantang: “Rusaknya orang-orang terdahulu, itu karena ketika yang mencuri adalah orang terhormat, maka mereka melepaskannya dari jerat hukum. Tapi ketika yang mencuri orang lemah, maka mereka menjeratnya dengan hukuman. Saksikanlah! Andai Fatimah bint Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Itulah ketegasan Nabi dalam menegakkan hukum, hatta pada orang yang paling disayanginya sekalipun.<br /><br />Kedua, keadilan ekonomi<br /><br />Islam tidak menghendaki adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Karena itu, (antara lain) monopoli (al-ihtikar) atau apapun istilahnya, sama sekali tidak bisa dibenarkan. Nabi Muhammad Saw misalnya bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.<br /><br />Larangan demikian juga ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman: Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang Dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Surat al-Hasyr/59: 7). <br /><br />Umar bin al-Khattab (khalifah Islam ke-2) pernah mengumumkan pada seluruh kawulanya, bahwa menimbun barang dagangan itu tidak sah dan haram. Menurut riwayat Ibnu Majah, Umar berkata, “Orang yang membawa hasil panen ke kota kita akan dilimpahkan kekayaan yang berlimpah dan orang yang menimbunnya akan dilaknat. Jika ada orang yang menimbun hasil panen atau barang-barang kebutuhan lainnya sementara makhluk Tuhan (manusia) memerlukannya, maka pemerintah dapat menjual hasil panennya dengan paksa.”<br /><br />Dalam kaca mata Umar, pemerintah wajib turun tangan untuk menegakkan keadilan ekonomi. Sehingga ketika ada oknum-oknum tertentu melakukan monopoli, sehingga banyak pihak yang terugikan secara ekonomi, pemerintah tidak bisa tinggal diam apalagi malah ikut menjadi bagian di dalamnya. Mebiarkan dan atau menyetujui perbuatan mereka sama halnya berbuat kezaliman itu sendiri. <br /><br />Ketiga, keadilan politik<br /><br />Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ada tujuh golongan yang bakal dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu: Pemimpin yang adil (imamun adil), pemuda yang tumbuh dengan ibadah kepada Allah (selalu beribadah), seseorang yang hatinya bergantung kepada masjid (selalu melakukan shalat berjamaah di dalamnya), dua orang yang saling mengasihi di jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah, seseorang yang diajak perempuan berkedudukan dan cantik (untuk bezina), tapi ia mengatakan: "Aku takut kepada Allah", seseorang yang diberikan sedekah kemudian merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang dikeluarkan tangan kanannya, dan seseorang yang berdzikir (mengingat) Allah dalam kesendirian, lalu meneteskan air mata dari kedua matanya.” (HR Bukhari)<br /><br />Pemerintah atau pemimpin yang adil akan memberi hak pada yang berhak, yang komitmen bertanggungjawab pada warganya. Tidak mudah menjadi pemimpin adil. Karena itu, kita tidak seharusnya berebut menjadi pemimpin. Inilah sebabnya Umar bin al-Khattab menolak usul pencalonan anaknya, Abdullah bin Umar, sebagai penggantinya. Namun prinsipnya, Islam memandang siapapun berhak menjadi pemimpin tanpa melihat latar belakangnya, hatta orang Habasyah (Etiopia sekarang) yang rambutnya kriting laksana gandum sekalipun. Dan, sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, kepemimpinannya harus ditaati. <br /><br />Keempat, keadilan berteologi/berkeyakinan<br /><br />Islam memberikan kebebasan penuh bagi siapapun untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya. Termasuk keyakinan yang berbeda dengan Islam sekalipun. Konsekuensinya, kebebasan mereka ini tidak boleh diganggu-gugat. Bahkan Muhammad Syahrûr menyatakan, percaya pada kekebasan manusia adalah satu dasar akidah Islam yang pelakunya dapat dipercayai beriman pada Allah SWT. Sebaliknya, kufr adalah tidak mengakui kebebasan manusia untuk memilih beragama atau tidak beragama. <br /><br />Bukti kebebasan ini, antara lain: Allah SWT berfirman: Allah lebih tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Surah al-Nahl/16: 125). Redaksi yang mirip bisa ditemukan juga pada Sûrah al-Najm/53: 30 dan Sûrah al-Qalam/68: 7.<br /><br />Dan katakanlah: kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka siapa yang ingin beriman, hendaklah ia beriman, dan siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir…. (Sûrah al-Kahf/18: 29).<br /><br />Tidak ada paksaan untuk memasuki agama. Sesungguhnya telah jelas-jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu, siapa yang ingkar kepada taghut dan yang beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Sûrah al-Baqarah/2: 256).<br /><br />Yang penting diperhatikan, adalah bahwa pilihan kepercayaan apapun yang kita anut, semua memiliki konsekuensinya masing-masing. Kesadaran untuk memilih keyakinan harus pula dibarengi oleh kesadaran akan konsekuensinya. Sehingga, pilihan kita betul-betul sebagai “pilihan yang bertanggungjawab” dan “bisa dipertanggungjawabkan.” <br /><br />Kelima, keadilan kesehatan<br /><br />Abu Hurairah meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT berfirman pada hari kiamat: Wahai bani Adam, Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku. Bani Adam bertanya: Wahai Rabbku, bagaimana bisa aku menjenguk-Mu sedang Engkau adalah Tuhan sekalian Alam? Allah menjawab: Tidakkah kamu melihat seorang hamba-Ku sedang sakit dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah kamu mengetahui, andaikata kamu menjenguknya, kamu mendapati-Ku di sisinya? (HR. Imam Muslim).<br /><br />Hadis kudsi di atas menunjukkan, jika kita “menjenguk” – dalam pengertiannya yang luas – tetangga kita yang sakit, maka kita akan menemukan Allah SWT di sana. Tidak “menjenguk”nya berarti tidak menemukan-Nya. Apa maknanya? Kita bisa merenungkannya masing-masing. Yang jelas, dalam hal ini pemerintah juga wajib “menjenguk” warganya yang sakit. Siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Cara “menjenguk”nya? Bisa saja dengan pengobatan geratis, dan sebagainya.<br /><br />Keenam, keadilan pendidikan<br /><br />Allah SWT berfirman: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Mujaadilah: 11). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tholabul ilmi farîdhotun 'alâ kulli muslim” (HR. Ibnu Majah). (Setidaknya) dua argumen ini, memberikan pengertian bahwa menuntut ilmu atau mendapatkan pendidikan, adalah hak bagi siapapun tanpa pandang latar belakang. <br /><br />5. Universalisme Keadilan Islam<br /><br />Keadilan dalam Islam itu universal dan tidak mengenal boundaries (batas-batas), baik batas nasionalitas, kesukuan, etnik, bahasa, warna kulit, status (sosial, ekonomi, politik), dan bahkan batas agama sekalipun. Pada orang yang berbeda keyakinan dan bahkan hewan sekalipun, keadilan harus ditegakkan. <br /><br />Allah SWT berfirman: Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (Surah al-An’am/6: 152).<br /><br />Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan. (Surah al-Hadid/57: 25).<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (Surah al-Nisa'/14: 135).<br /><br />Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlakulah adil, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. (Surah al-Maidah/5: 8)<br /> <br />Orang berbeda agama pun wajib diberi keadilan. Allah berfirman: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan tuqsithu (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain untuk mengusir kamu... (Surah al-Mumtahanah/60: 8).<br /><br />Kisah (a) <br />Seorang pria Mesir beragama Kristen Koptik (salah satu aliran Kristen yang berkembang di Mesir) mendatangi Umar bin al-Khattab di Madinah, yang kala itu sebagai pemimpin kaum muslim, untuk mencari keadilan. <br /><br />Pria Mesir itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku mencari perlindunganmu dari penindasan.” “Kamu telah mencari perlindungan d imana ia seharusnya dilindungi,” jawab Umar. <br /><br />“Ketika aku sedang berlomba dengan putra Amr bin Ash, aku berhasil mengalahkannya. Namun kemudian dia memukuli aku dengan cambuknya dan berkata: ‘aku adalah putra bangsawan’!” cerita pria Mesir mengadu.<br /><br />Mendengar pengaduan itu, Umar yang dikenal adil dan bijaksana itu berang. Ia ingin memberikan keadilan pada orang Kristen Koptik itu. Umar lalu menulis surat untuk Amr bin ‘Ash (gubernur Mesir saat itu) dan memerintahkannya segera menghadap beserta putranya.<br /><br />“Ke mana Pria Mesir itu? Suruh dia ambil cambuk dan pukul putra Amr!” pinta Umar. Pria Mesir itu pun menuruti perintah Umar. Ia memukuli putra Amr bin Ash dengan cambuk. <br /><br />Anas berkata, “Maka dia memukuli putra Amr. Demi Allah, ketika pria Mesir itu memukulinya, kami kasihan dan meratapinya. Dia tidak berhenti sampai kami menghentikannya.”<br /><br />Kemudian Umar berkata pada Pria Mesir itu, “Sekarang pukulkan cambuknya ke kepala Amr yang botak itu.”<br /><br />Pria Mesir itu bingung dan menjawab, “Ya Amirul Mukminin, yang menganiaya aku itu putranya, dan aku telah menyamakan kedudukanku dengannya.”<br /><br />Umar lantas bertanya pada Amr bin ‘Ash, “Sejak kapan kamu telah memperbudak rakyatmu, padahal ibu-ibu mereka telah melahirkan mereka sebagai orang-orang merdeka?”<br /><br />“Ya Amiral Mukminin, aku telah lalai dan pria Mesir itu tidak mendatangiku untuk mendapatkan keadilan,” jawab Amr.<br /><br />Kisah (b)<br />Ali bin Abi Thalib (Khalifah Islam ke-4), pernah menemukan baju besinya di rumah seorang Yahudi. Maka Ali mengadukan Yahudi itu ke pengadilan karena diduga mengambil bajunya. Sayangnya, Ali tidak bisa membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Maka hakim memutuskan, yang salah adalah Ali dan yang berhak atas baju itu adalah Yahudi. Ali pun menerima keputusan pengadilan itu, kendati posisinya sebagai kepala negara dan yang dihadapi rakyatnya sendiri. <br /><br />6. Pelaksana Keadilan<br /><br />Islam hanya menekankan prinsip keadilan dan pentingnya keadilan bagi semua. Perihal bagaimana cara mendapatkan keadilan, itu sepenuhnya diserahkan pada umatnya. Termasuk bagaimana membangun negara yang akan menjadi sarana tercapainya keadilan, itu juga tidak diatur oleh Islam. Mau berasas Islam, sekuler, demokrasi, teokrasi, teodemokrasi, dan apapun namanya, yang penting ditekankan adalah KEADILAN. <br /><br />Yang jelas, siapapun kita, baik sebagai individu maupun pemerintah, harus menjadi martir penegakan keadilan sesuai jangkaun wilayah kita. “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian/kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih,” pesan Nabi Muhammad SAW.<br /><br />7. Buah Keadilan<br /><br />Keadilan, dalam hal apapun, akan membuahkan kedamaian dan kesejahteraan. Inilah inti kemaslahatan bagi umat. Dan ini lebih mungkin dilaksanakan oleh para pemimpin atau pemerintah. Untuk itu, tasharruf imam ala al-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah (kebijakan pemimpin bagi warganya harus diorientasikan untuk kemaslahatan mereka). Sayyidul qaum khadimuhum (pempimpin umat adalah pelayan bagi mereka). Pemimpin harus melayani umatnya untuk mendapatkan keadilan ini. Karena itu, keadilan yang berujung pada kedamaian dan kesejahteraan harus dikejar terlebih dahulu ketimbang urusan pribadi ataupun golongan. <br /><br />Ada kisah, khalifah Harun al-Rasyid pernah disindir sufi-pembanyol Nasruddin Hoja. “Kamu pilih keadilan atau harta?” tanya khalifah. “Harta!,” jawab Nasruddin tegas. <br /><br />Khalifah marah bukan kepalang. “Harusnya yang kamu pilih keadilan. Itu juga yang saya pilih,” kata khalifah berang. “Orang memang akan menginginkan apa yang tidak dimilikinya,” jawab Nasruddin ringan. <br /><br />Nasruddin punya keadilan, tapi tak punya harta, makanya ia menginginkan harta. Khalifah punya harta, tapi tak punya keadilan, makanya ia menginginkan keadilan. Bagaimana kita di negeri ini? Bahkan kita tidak punya dua-duanya! Inilah cermin masyarakat yang bangkrut. Wa Allah a’lam bi al-sawab.[]<br /><br />*Makalah disampaikan dalam diskusi terbatas di Yayasan PADMA Indonesia, Tebet Jakarta, Kamis, 5 Juni 2008.Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-6878467276850244022008-04-22T23:13:00.000-07:002008-04-22T23:22:47.325-07:00Rasulullah dan Tetangga Non-muslimnyaOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/200612/2006-12-07-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="cah-elik" />Rasulullah Saw adalah teladan kebaikan atau uswah hasanah (Surah al-Ahzab [33] : 21). Ibarat mata air, aneka kebaikan terus menyembur dari dirinya, tiada habis-habisnya. Dan, tak sebutir keburukanpun yang muncul darinya. <br /><br />Akhlak beliau adalah cermin keagungan. Perangainya cermin kemuliaan. Maka tak heran, jika permaisuri tercintanya, 'Aisyah binti Abi Bakr berucap takjub; kana khuluquhu al-Qur'an/akhlak beliau adalah al-Qur'an. (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid V, h. 163). Akhlak al-Qur'an, tak syak lagi, adalah seagung-agung dan semulia-mulia akhlak. <br /><br />Itulah teladan paling agung (sekaligus paling berat untuk ditiru) dari Rasulullah Saw. Beliau, seperti diakuinya, memang diberi mandat oleh Allah Swt li utammima makarim al-akhlaq/untuk menyempurkan moralitas (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).<br /><br />Karena itu, sebagai umatnya, sudah seharusnya kita menimba banyak-banyak mata air akhlak itu dari Rasulullah Saw, untuk diamalkan dalam keseharian kita di tengah masyarakat. Inilah sejatinya inti bi'tsah beliau ke dunia fana ini, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin/kerahmatan bagi semua makhluk (Surah al-Anbiya' [21] : 107). <br /><br />Diantara kemuliaan akhlak Rasulullah Saw, adalah tata krama atau etikanya dalam menjalin hubungan sosial dengan para tetangganya. Diceritakan, suatu ketika Aisyah r.a. menyelenggarakan kenduri dengan menyembelih kambing. <br /><br />Seusai matang, oleh Aisyah r.a., masakan daging kambing itu lantas dibagi-bagikan pada tetangga dekatnya. (Ini sesuai anjuran Rasulullah Saw, jika kita memasak, hendaklah diperbanyak kuahnya, supaya para tetangga juga turut merasakannya/HR Muslim dan al-Darimi). <br /><br />"Isteriku, apakah Si Fulan juga telah dikirimi masakan?" tanya Rasulullah Saw memastikan.<br /><br />"Belum! Dia itu Yahudi dan saya tidak akan mengiriminya masakan," jawab Aisyah r.a. tegas.<br /><br />Apa reaksi Rasulullah Saw? Beliau tetap meminta Aisyah r.a. untuk mengiriminya. "Kirimilah! Walaupun Yahudi, ia adalah tetangga kita," pinta Rasulullah Saw beralasan. <br /><br />Itulah etika bertetangga Rasulullah Saw. Beliau "mengritik" sikap isterinya sendiri yang memilih-milih dan memilah-milah tetangga berdasarkan latar belakang agamanya. Bagi beliau (dan seharusnya bagi umatnya), tetangga tetaplah tetangga sampai kapanpun, tiada peduli latar belakang suku, agama, ras, golongan dan sebagainya. Karena itu, pada kesempatan lain, beliau mengategorikan tetangga menjadi tiga. <br /><br />Pertama, tetangga yang memiliki satu hak. Inilah tetangga yang paling rendah haknya. Mereka ini tetangga yang musyrik dan tidak memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga. <br /><br />Kedua, tetangga yang memiliki dua hak. Mereka ini tetangga yang beragama Islam. Mereka memiliki hak sebagai tetangga dan memiliki hak sebagai muslim. <br /><br />Dan ketiga, tetangga yang memiliki tiga hak. Inilah tetangga yang paling tinggi haknya. Mereka ini tetangga yang beragama Islam sekaligus memiliki tali atau darah kekeluargaan. Mereka memiliki hak sebagai tetangga, muslim, dan keluarga. (HR al-Bazzar dari Jabir bin Abdillah).<br /><br />Anjuran berbuat baik pada tetangga, dengan tanpa melihat apapun latar belakangnya, juga kita temukan dalam Surah al-Nisa' [4]: 36. Tetangga, dalam ayat ini, dibedakan menjadi dua: al-jar dzi al-qurba (tetangga dekat) dan al-jar al-junub (tetangga jauh). <br /><br />Abu al-Fida' Isma'il bin Katsir, dalam Tafsir al-Qur'an al-'Adhim, (Kairo: al-Maktab al-Tsaqafi, 2001 M, jilid I, h. 483), menukil beberapa penafsiran untuk mejelaskan hal ini. Misalnya, penafsiran Ibn 'Abbas yang menyatakan, al-jari dzi al-qurba adalah mereka yang memiliki hubungan kekerabatan dengan kita. Sedang al-jar al-junub, adalah mereka yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita.<br /><br />Penafsiran lainnya dari Nauf al-Bukali, al-jar dzi al-qurba adalah al-jar al-muslim (tetangga yang muslim). Sedang al-jar al-junub adalah al-Yahudi wa al-Nashrani (Yahudi dan Kristen). <br /><br />'Abd al-Rahman bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzy, dalam Zad al-Masir fi 'Ilm al-Tafsir (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1404 H, jilid II, h. 78-79) juga menukil riwayat yang kurang lebih sama. Namun ditambahkannya, al-jar dzi al-qurba itu terjadi karena faktor ke-Islam-an itu sendiri. <br /><br />Tiada Sekat<br />Kategorisasi tetangga yang diberikan Rasulullah Saw di atas, menyiratkan pelajaran dan keteladanan sangat peting bagi kita. Bagi beliau, kebertetanggaan tidak seharusnya disekat oleh latar belakang apapun. <br /><br />Hatta pada tetangga yang musyrik sekalipun, beliau tidak lantas menjauhinya. Bagi beliau, mereka tetap memiliki satu hak sebagai tetangga dan hak itu harus ditunaikan. Untuk itu, komunikasi, relasi sosial dan hubungan kemasyarakatan tetap penting di jalin dengan mereka. Dan itu dibuktikannya melalui traktat Piagam Madinah.<br /><br />Satu hal yang terlarang dijalin bersama mereka adalah akidah. Soal akidah ini, harus ada garis demarkasi yang jelas dan tegas. Kita adalah kita dan mereka adalah mereka. Tidak boleh ada pencampurbauran. <br /><br />Dalam al-Qur'an disebutkan dengan terang, lakum dinukum wa liya din/bagimu agamamu dan bagiku agamaku (Surah al-Karifun [109] : 6). Akibatnya pun harus ditanggung masing-masing di hadapan Allah Swt kelak. <br /><br />Pertanyaannya kini; jika demikian agung dan mulianya etika bertetangga Rasulullah Saw, sudahkah kita meneladaninya? Sudahkah kita hidup berdampingan secara rukun dan damai dengan tetangga kita yang non-muslim? <br /><br />Tampaknya tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Karena alih-alih dengan tetangga yang non-muslim, dengan tetangga muslim yang beda riual qunut subuh, tahlil, wirid, ziarah kubur atau maulid saja, kita acapkali masih saja 'berantem' tiada henti. Seakan tiada kata damai diantara kita. <br /><br />Lantas, kapan kita akan mulai meneladani etika bertetangga a la Rasulullah Saw, untuk mewujudkan misi rahmatan lil 'alamin itu? Wa Allah a'lam.[]<br /><br />Banten, Selasa, 17 Maret 2008Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-19274032824173736852008-04-09T01:57:00.000-07:002008-04-09T02:03:01.985-07:00Dakwah Islam di Dunia DigitalOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />"Tiga puluh tahun lagi, tidak akan ada koran dan buku," demikian kata seorang kawan, beberapa waktu lalu. Pernyataan yang mengagetkan, sekaligus mengkhawatirkan ini, ujarnya didasarkan pada analisis para pakar media. Koran dan buku, katanya, akan tergantikan oleh teknologi digital. Para penerbit pun ditaksir akan gulung tikar. <br /><br />Saudara sepupu penulis, yang kini tengah menekuni Program Studi Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. "Ini mungkin agak bodoh. Saya ingin mendirikan pesantren tahfidh, dengan basis skill ilmu komputer. Islam harus lebih digital," kata Santri Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, yang tengah menghafal al-Qur'an ini.<br /><br />Keinginan yang disebutnya "agak bodoh" ini, juga didasarkan pada prediksi jauh ke depan. Dunia kelak akan kian mengglobal. Semua serba berteknologi canggih. Tak menguasai teknologi, berarti ketinggalan kereta. Pertarungan dakwahpun akan lebih hebat terjadi di dunia maya (digital), bukannya di media cetak. <br /><br />Untuk menghadapi era seperti ini, Islam -- terutama Islam pesantren -- harus bersiap diri. Inilah "masa depan" Islam. Al-hamdulillah, kini muncul kesadaran baru di kalangan santri. Banyak di antara mereka yang serius menekuni bidang eksakta di berbagai universitas, baik di dalam maupun luar negeri. <br /><br />Program Studi Ilmu Komputer, Teknik Informatika, Sistem Informasi, dan seterusnya, yang biasanya dinilai tabu bagi kaum sarungan, kini menjadi santapan mereka. Santapan yang sama lezatnya dan sama bergizinya dengan kitab kuning. Dikotomi ilmu dunia dan ilmu akhirat yang dilontarkan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tengah mereka "terobos". <br /><br />Baiknya lagi, Depag RI lekas menyadari kebutuhan ini. Melalui program Beasiswa Santri Berprestasi, Depag menggelontorkan miliaran rupiah untuk menguliahkan para santri di bidang eksakta � kendati penerimanya kebanyakan dari pesantren besar dan pesantren kecil di kampung-kampung, seakan tak berkesempatan dan terlupakan. <br /><br />Islam Digital<br />Pertanyaannya, benarkah semua akan berubah menjadi digital? Melihat perkembangan yang ada, tidak mustahil ini jadi kenyataan. Jika kita mau meluangkan waktu sebentar untuk berselancar (browsing) di dunia digital, betapa informasi keislaman dari berbagai bidang tersedia di sana. Ibarat menu makanan, apapun yang ingin kita santap telah tersaji. Situs-situs keislaman -- dari yang bervisi keras, lunak, bahkan liberal -- semua ada.<br /><br />Keserbatersediaan ini, pada gilirannya bisa menggulung eksistensi perpustakaan reguler yang ada. Juga mengancam eksistensi kitab kuning yang sehari-hari ditelaah para santri. Kitab kuning, yang khas dengan bau kertasnya, akan menjadi kenangan (semoga tidak pernah terjadi). Apalagi, kini telah muncul program canggih "literatur digital" semisal al-Maktabah al-Syamilah (berisi ribuan e-book kitab tafsir-ilmu tafsir, hadis-ilmu hadis, fikih-ushul fikih, teologi, akhlak, spiritual, bahkan aneka kamus Arab dan sebagainya). <br /><br />Ada juga Maktabah al-Fiqh wa Ushulihi (berisi ribuan kitab fikih dan ushul fikih dari berbagai mazhab) dan al-Maktabah al-Alfiyyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah (berisi ribuan kitab hadis), dan masih banyak lagi. Menggunakan "literatur digital" ini, dengan sangat mudah dan cepat, kita akan menemukan tema keislaman apapun yang kita inginkan. Inilah yang disebut era Islam digital.<br /><br />Respon Santri<br />Bagaimana pesantren, yang kebanyakan ada di kampung-kampung, merespon hal-hal yang barangkali belum disadari, apalagi dibayangkannya ini? <br /><br />Pertama, suka tidak suka, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Siapapun, termasuk pesantren, tidak bisa berkelit. Inilah konsekuensi zaman serba global dan modern. Di satu sisi, hal ini perlu dikhawatirkan karena alasan-alasan di atas. Di sisi lain, ia akan memudahkan kerja dakwah Islam. Pesantren mesti mengambil sisi positifnya, dengan membuang sisi negatifnya. Ini sesuai kredo pesantren: al-muhafadhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengadopsi tradisi baru yang lebih baik). <br /><br />Kedua, kitab kuning harus tetap dilihat sebagai aset keislaman yang penting, terutama bagi pesantren, yang karenanya harus dipertahankan hingga "titik darah penghabisan". Tanpanya, kekhasan pesantren akan pudar. Ia tidak seharusnya tergantikan oleh apapun juga. <br /><br />Ketiga, pesantren harus mengupayakan penanaman skill teknologi pada santri. Mungkin serba perlahan, karena ini membutuhkan ongkos tidak murah; baik materiil maupun moril (apalagi mungkin masih ada pesantren yang mengharamkan teknologi). Tapi tidak ada yang mustahil bagi pesantren. Dan tentu saja, negara harus mendukungnya. Melalui Depag misalnya, negara bisa memberi fasilitas teknologinya. <br /><br />Keempat, pesantren harus mulai memikirkan dakwah Islam damai di dunia digital; dunia tanpa batas ruang dan waktu. Jangkauan aksesnya tak bisa dibatasi apapun. Jika pesantren bisa berdakwah melalui jalur ini, masa depan Islam dan pesantren tak lagi suram. Pesantren niscaya bisa bersaing dengan siapapun, untuk tujuan li i'lai kalimah Allah (untuk mengunggullkan kalimat Allah).<br /><br />Dan al-hamdulillah, kini banyak pesantren besar, baik yang modern maupun tradisional, memiliki perhatian serius soal dakwah digital ini. Bahkan mereka punya situs sendiri. Sebut saja Ponpes Sidogiri Pasuruan, Ponpes Modern Gontor, Ponpes Buntet dan Ponpes Dar al-Tauhid Cirebon, Ponpes Darul Ulum Jombang, Ponpes Nurul Jadid Paiton, Ponpes Sunan Pandan Aran Yogyakarta, dan masih banyak lagi. <br /><br />Mereka telah mulai menapaki kerja dakwah di dunia digital. Siapa menyusul? Wa Allah a'lam.[]Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-2423294982293550912008-02-07T22:08:00.000-08:002008-03-18T02:17:23.647-07:00Kikisnya Budaya Dialog KitaOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/200702/Nurul-sp.gif" align="left" hspace="6" alt="Nurul Huda" />Benarkah budaya dialog/musyawarah dalam diri kita kian hari kian terkikis? Siapapun tidak akan mudah menjawab pertanyaan ini. Namun jika melihat berbagai peristiwa yang terjadi pada bulan pertama 2008 ini, di berbagai wilayah negeri ini, tampaknya kita sulit membantah pertanyaan itu. Semuanya seakan justru membenarkannya. <br /><br />Umpamanya, tindak anarkisme hebat yang dilakukan aremania (suporter Arema Malang). Lantaran menilai wasit pertandingan Arema Malang vs Persiwa Wamena (1-2) tidak adil dan diskriminatif, karena menganulir 3 gol yang dilesakkan Arema, mereka lantas memporak-porandakan Stadion Brawijaya milik Persik Kediri. Kursi-kursi dihancurkan. Gawang dibakar. Fasilitas stadion lainnya diobrak-abrik. Kerugian ditaksir mencapai miliaran. Wasit dan asistennya pun dikeroyok. <br /><br />Di Mataram terjadi bentrok antar mahasiswa IAIN Mataram dengan aparat kepolisian. Pemicunya adalah kebijakan rektorat menaikkan biaya smester. Karena dinilai memberatkan, mahasiswa lantas menggelar aksi penolakan dengan berdemonstrasi. Akibatnya, tiga mahasiswa ditangkap. Efek dominonya, demonstrasi tidak hanya dilakukan untuk menolak kebijakan rektorat, tapi juga untuk meminta pembebasan tiga rekan mereka. <br /><br />Di Jawa Timur juga terjadi bentrok antara masyarakat yang menolak pengoperasian PT Petrochina, dengan aparat kepolisian. Seorang warga mengalami luka serius di kepala, sehingga harus dirawat. Dari luar Jawa tersiar kabar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang sedang menggelar aksi demonstrasi terlibat bentrok dengan pengiring jenazah. Seorang pengiring jenazah dikeroyok hingga babak belur. <br /><br />Yang terbaru, ribuan guru dan siswa di Meringin Jambi, mogok belajar-mengajar (hingga artikel ini ditulis, mereka telah menjalankan aksinya selama empat hari). Mereka berdemo menuntut 20 % alokasi APBD untuk kepentingan pendidikan, sesuai amanat Undang-undang. Nyatanya Pemda hanya menganggarkan 4,3 % dari jumlah APBD Rp 900 M. Inilah pemicu kekecewaan mereka. <br /><br />Kikisnya Dialog <br />Melihat peristiwa-peristiwa di atas, disamping berbagai peristiwa serupa lainnya yang tidak terekspos media masa, tampaknya kita cenderung membenarkan bahwa budaya dialog diantara kita kian hari kian terkikis, terkikis dan terkikis. Dalam menyelesaikan persoalan, bahasa dialog tidak lagi kita lirik, kalah oleh bahasa anarkisme, demonstrasi, ngotot-ngototan, bentrok dan seterusnya. Jika ini terus terjadi, tidak mustahil budaya dialog akan betul-betul pudar. Predikat sebagai penjunjung asas "musyawarah untuk mufakat" pun akan luntur dari diri kita. <br /><br />Diakui atau tidak, perubahan budaya ini dipantik oleh banyak hal: kemiskinan yang kian menggila, perpolitikan yang carut-marut, ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana, dan seterusnya. Namun, begitu mudahnyakah semua ini mengikis budaya dialog kita yang telah tertanam begitu lamanya? Atau ada hal lain yang salah dalam diri kita, misalnya terkait penghayatan kita pada ajaran agama?<br /><br />Dalam doktrin agama apapun, tak terkecuali Islam, dialog atau musyawarah sangat dipentingkan untuk dijadikan alat menyelesaikan berbagai persoalan; keagamaan, sosial, politik maupun ekonomi. Tentu dialog yang betul-betul dilakukan dengan kesadaran bersama untuk mencari kemufakatan, ditempuh dengan kesabaran, kerendahhatian, dan tanpa emosi. Jika hal-hal ini dijalankan, peristiwa anarkisme di atas tidak seharusnya terjadi. <br /><br />Karena pentingnya budaya ini, Allah SWT berfirman, "Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu" (Qs. Ali Imran: 159). Melalui ayat ini, Allah SWT melarang kita berbuat kasar pada musuh sekalipun dan menyuruh kita menjalankan musyawarah jika ada persoalan. Karenanya, tidak seharusnya emosi dikedepankan, lebih-lebih jika yang kita hadapi adalah saudara sendiri, yang hidup di tanah air yang sama. <br /> <br />Dalam ayat lain, Allah SWT juga berfirman, "Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka," (Qs. al-Syura: 38). Dialog inilah yang senantiasa dijalankan Ras�lull�h SAW, dalam hal apapun. Ketika suatu saat beliau menempatkan pasukan perangnya di daerah yang tandus-kering tak berair, beliau lantas meminta pandangan para sahabat. al-Hubbab bin al-Mundzir, lantas memberi masukan. Tempat itu, menurutnya, tidak strategis, sehingga akan menyulitkan pasukan muslimin. Atas usulan sahabatnya ini, beliau menerima dan mengubah posisi pasukannya. (Sangat banyak contoh lain terkait sikap Rasul ini). <br /><br />Firman Allah SWT dan sikap Rasulullah SAW itu menunjukkan betapa urgennya dialog. Karena dialog adalah naluri kita. Kehilangan semangat dialog, berarti terkikisnya naluri kemanusiaan kita. Namun kami yakin, siapapun (di kedalaman hatinya) setuju akan pentingnya dialog untuk mengatasi berbagai persoalan. Hanya saja masalahnya, kesadaran untuk menjalankan dialog ini acapkali terkalahkan oleh ego dan emosi, sehingga dialog dianggap tidak penting dan tidak bermanfaat.<br /><br />Jika hal ini yang terjadi, tidak malukah kita disandangi predikat sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi-tinggi asas "musyawarah untuk mufakat" Karena hal itu sesungguhnya bukanlah budaya kita. Budaya kita adalah dialog, musyawarah, kekeluargaan, guyub, gotong-royong dan seterusnya. <br /><br />Akhirnya, semoga dialog atau musyawarah tidak kehilangan fungsi dan manfaatnya di negeri ini. Wa Allah a'lam.[] <br /><br />Jurang Mangu, Sabtu, 26 Januari 2008<br /><br />(Dimuat di Radar Banten)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-57393774653266001122008-03-02T18:49:00.000-08:002008-03-02T18:56:07.162-08:00al-Farabi dan Gagasan Negara IdealOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />Abu Nashr bin Audagh bin Thorhan al-Farabi (w. 339 H/950 M), biasa disebut al-Farabi, adalah salah satu cendekiawan muslim (filosof) yang memiliki konsep kenegaraan cukup baik. Konsep ini dikemas dengan bungkus al-madinah al-fadhilah, the best country atau juga negara ideal. Bagaimana penjelasan konsep ini?<br /><br />Inti filsafat kenegaraan al-Farabi, seperti diuraikannya dalam karya Ara' Ahl al-Madinah al-Fadhilah, berupa autokrasi dengan seorang raja (kepala negara) berkuasa mutlak mengatur tatanan negara. Karenanya, sebagaimana Plato sang idolanya, al-Farabi mengecam negara yang dibangun di atas landasan demokrasi. Menurut al-Farabi, negara yang baik adalah negara yang rakyatnya tunduk patuh pada kepala negara. Ini seperti posisi para shahabat di depan Nabi Muhamamd SAW sebagai pemimpin mereka. <br /><br />Dalam hal ini, al-Farabi membedakan negara menjadi lima kategori, yakni; Pertama, negara utama (al-madinah al-fadhilah). Ia merupakan cermin negara yang memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan warga negaranya. Segala kebijakan yang ditetapkan, senantiasa diorientasikan demi kemaslahatan rakyat, bukan kepentingan golongan apalagi pribadi. <br /><br />Di negara ini, tidak dikenal hukum rimba yang kuat memangsa yang lemah. Penguasa tidak bertindak sebagai macan yang mencaplok rakyat jelata. Bila kepentingan rakyat berhasil ditempatkan di atas segalanya, serta-merta akan tercipta negara utama yang penuh ketenteraman, kedamaian, dan kesejukan. Rakyat akan merasa terlindungi hak-haknya. Supremasi hukum akan dapat ditegakkan. Rasa aman menyelimuti warganya dan perekonomianpun berkembang pesat.<br /><br />Kedua, negara sesat (al-madinah al-dhalalah), yaitu negara yang berdiri congkak di atas kebodohan rakyat tentang kebenaran. Rakyat akan berbuat semaunya, tanpa ada kontrol dan etika kebenaran. Kebebasan benar-benar menjadi trend nomor wahid. Kehidupan kacau, karena tidak terikat perilaku kebenaran. Tatanan norma tidak berlaku sama sekali. Bahkan tindakan-tindakan mereka lebih mengarah pada perilaku destruktif dan anarkis.<br /><br />Ketiga, negara jahil (al-madinah al-jahilah), yakni negara yang rakyatnya selalu mengikuti jalan kejahatan. Negara ini berbeda dengan negara sesat yang rakyat tidak menyadari kejahatannya. Rakyat dalam negara jahil sadar atas kejahatan yang diperbuat. Mereka sadar menyimpang, tapi tidak malakukan pertaubatan. Mereka malah buru-buru mencari kebahagiaan dan kenikmatan lain yang fana. Menurut al-Farabi, negara jahil dapat dicirikan dengan, 1) rakyatnya melulu berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, 2) berdagang untuk menumpuk kekayaan (kapitalis), 3) terpesona oleh kenikmatan keji, 4) gila hormat, 5) haus (rakus) kekuasaan, dan 6) membiarkan hawa nafsu terumbar secara liar. Dapat dibayangkan, apa yang bakal menimpa sebuah negara yang berdiri di atas kepentingan-kepentingan fana ini? <br /><br />Keempat, negara imoril (al-madinah al-al-fusqah), yakni negara yang rakyatnya telah mengenal kebenaran mengenai tuhan, akhirat, dan kebahagiaan sejati. Hanya saja, mereka hidup di luar konsep-konsep itu. Padahal, kebahagiaan sejati hanya akan dicapai melalui kebaikan dan pengamalan terhadap konsep-konsep itu. Karenanya, mereka tidak akan pernah mengenyam kebahagiaan sejati.<br /><br />Kelima, negara massa (al-madinah al-jami'ah). Dalam negara bentuk ini, rakyat cenderung serba bebas untuk berbuat semau gue. Semua unsur masyarakat sama rasa sama rata. Warga pribumi dan non-pribumi disamakan secara mutlak. Pemimpin yang 'baik' dan 'ideal' dalam pandangan mereka, adalah yang paling cakap menyediakan kesempatan untuk melampiaskan nafsu. Bahkan lebih jauh lagi, rakyat tidak perlu mentaati perundang-perundangan yang diberlakukan pemerintah. <br /><br />Kepala (otak) silahkan pandai dan pintar, namun tidak berhak memerintah orang lain. Mereka juga tidak memberikan perhatian terhadap pendidikan kepemimpinan, sehingga calon-calon pemimpin yang ideal (bukan menurut selera mereka, tapi benar-benar ideal) pun tak pernah ada. Pemimpin tidak ada artinya sama sekali, kecuali pemimpin yang seide dalam membuat kerusakan. Bila ini terjadi, negara akan terjerumus pada tindakan destruktif dan anarkis.<br /><br />Dalam kaitannya dengan lima bentuk negara di atas, al-Farabi memandang bentuk negara pertamalah, al-madinah al-fadhilah, yang dapat disebut sebagai negara ideal. Menurutnya, dalam negara ini, kepala negara adalah satu-satunya person yang memegang peranan penting sekaligus sebagai person terpenting. Kepala negara dituntut berasal dari sosok yang paling sempurna dan cakap -- baik moril, intelektual, maupun menejerial -- diantara masyarakat yang ada. Kepala negara dituntut berani, tegas, dan cepat dalam mengambil keputusan. Ia tidak boleh tergiur oleh iming-iming duniawi. Apalagi hobi korupsi.<br /><br />Bakat menjadi panglima perang juga menjadi prasyarat pemimpin negara tipe ini. Bakat ini bukan berarti harus militer. Siapapun dan dari latar belakang apapun, yang mempunyai kemampuan mengatur siasat keamanan, perekonomian, dan politik, perlu disokong sebagai kepala negara. Dan yang tidak boleh dilupakan, menurut al-Farabi, kepala negara harus zahid (tidak gila harta) dan jauh dari tindak korupsi. Sebab, jika faktor cinta dunia mendominasi ambisinya, penindasan demi penindasan, ketimpangan demi ketimpangan, kebrutalan demi kebrutalan, kerusuhan demi kerusuhan, akan terjadi di mana-mana. Akibatnya, cita-cita mewujudkan negara idealpun akan terbengkalai. <br /><br />Menurut pembaca, Indonesia termasuk kategori negara yang mana? Wa Allah a'lam.[] <br /><br />(Radar Banten, Jum'at, 29 Februari 2008)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-73332242742135713402008-02-24T20:35:00.000-08:002008-02-24T20:40:20.084-08:00Ramai Santri Tekuni EksaktaOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/200612/2006-12-07-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="cah-elik" />Dulu santri identik dengan kitab klasik. Dinilai gagap teknologi. Kini, mereka ramai menekuni bidang eksakta. Memajukan pesantren alasan utamanya. <br /><br />Sebagai santri kampung, Taufiq begitu kagum pada komputer. Piranti itu mampu menjawab apa saja, bahkan menampilkan gambar. Rasa penasaran terus menggelayuti benaknya. Kursus komputer pun ditekuninya sembari nyantri. Tapi malang, saat ujian kursus, Taufiq gagal. Nilainya di bawah standar. <br /><br />"Dari situlah saya 'dendam'. Saya betul-betul ingin mempelajari komputer lebih jauh dan mendalam," ungkap pria bernama lengkap Taufiq Masyriqan mengisahkan awal perkenalannya dengan komputer saat menjadi santri Ponpes Darul Iman Kadupandak, Pandeglang Banten. <br /><br />Setelah enam tahun nyantri dan lulus dari MTs MA Darul Iman, putera kelahiran Pasir Waru Lebak, Banten, ini lantas mengambil Program Studi (Prodi) Teknik Informatika UIN Jakarta. Kuliah pun dijalaninya sambil nyantri di Pesantren Luhur Darus-Sunnah Jakarta.<br /><br />Menekuni dua bidang ilmu berbeda, tak mudah bagi mahasiswa semester VII ini. "Jurusan saya di MA, itu Bahasa Arab. Minim ilmu eksakta," kata Taufiq. Untuk mengejar ketertinggalan, ia dibantu kawan-kawan sekelasnya di kampus.<br /><br />Taufiq tetap semangat. Ini karena cita-citanya ingin mengembangkan dakwah berbasis komputer. Misalnya, dengan memblock situs-situs mesum, supaya tidak bebas akses. Diakuinya, situs-situs itu sulit ditembus. "Tapi insya Allah saya tidak patah semangat. Ini jihad saya di dunia maya," katanya optimis. <br /><br />Menurutnya, santri tidak hanya harus piawai kitab kuning, tapi juga teknologi. Dakwah santri pun tidak bisa terpaku pada media ceramah, tapi juga internet. "Dunia maya itu lebih global," jelasnya.<br /><br />Taufiq tidak seperti kebanyakan santri yang lebih memilih program agama ketika melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun dia tidak sendirian. Ada juga Saidatul Husna yang kuliah di Prodi Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB). <br /><br />Motivasi mahasiswi semester II ini memilih jurusan itu, karena penilaian negatif masyarakat terhadap gizi para santri. Makanan santri dinilai miskin gizi, tidak sehat, dan kotor karena diolah sembarangan. "Saya akan berusaha menata ulang makanan di pesantren," kata alumni Ponpes Darul Ulum Jombang Jatim ini.<br /><br />Menurut dara asal Bangil, Pasuruan Jatim ini, kesan negatif itu akan luntur jika santri mumpuni di bidang pangan. Kendati berasal dari pesantren, Saida tidak kerepotan mengikuti kuliahnya. Bahkan dari ratusan mahasiswa penerima Beasiswa Santri Berprestasi Depag RI, hanya ia yang memperoleh IPK 3,72. "Saya kaget, kok dapat IPK tertinggi. Ini tertinggi seangkatan mahasiswa Depag saja," kata Saida. <br /><br />Motivasi serupa diungkapkan Zayini Nahdhoh, mahasiswi semester IV Prodi Teknik Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia ingin meningkatkan kadar gizi di pesantrennya. "Setidaknya saya bisa memperbaiki kekurangan itu," harap alumni MTs dan MA Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta ini. <br /><br />Dara asal Cisurupan, Garut Jabar, yang kini masih nyantri di Pesantren Sunan Pandan Aran, ini juga ingin meningkatkan hasil pertanian di desanya. Caranya dengan memperbaiki teknologi pengolahan hasil pertanian. <br /><br />Zayini punya penilaian sendiri terhadap rekan-rekan santri yang mengambil prodi eksakta. "Mereka umumnya kendel (berani), tidak minder dan mentalnya lebih kuat," ungkapnya. Kendati sempat kerepotan, kini nilai akademisnya bisa bersaing dengan kawan-kawannya yang berasal dari non pesantren. Semester II dan III, akunya, ia jalani dengan nikmat.<br /><br />Gito Waluyo, mahasiswa semester IV Prodi Ilmu dan Industri Peternakan UGM, punya motivasi tak beda. Peternakan, kata alumni Pesantren Darul Ulum, Kulonprogo, Yogyakarta ini, adalah bidang berprospek besar untuk meningkatkan taraf ekonomi pesantren, juga masyarakat.<br /><br />Peternakan, imbuh putera asli Girimulyo Kulonprogo ini, akrab dengan kehidupan santri. Jadi memajukan perekonomian santri bisa dilakukan melalui bidang ini. "Saya bercita-cita menjadi pengusaha dan pendidik, untuk memajukan dunia pesantren," harapnya.<br /><br />Memang, agar tidak dilibas jaman, pesantren harus akrab dengan teknologi. Karena itulah Helvea Rezano mengambil Prodi Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. <br /><br />Helvea yang kini duduk di semester II, ingin mengembangkan program kitab kuning berbasis teknologi. "Ini untuk memajukan pesantren," terang alumni Pesantren al-Rahmah, Dahu Malang ini. <br /> <br />Demikian juga Doli Rizky Panggabean. Mahasiswa Prodi Teknik Geologi UGM asal Tanjung Balai Sumut ini menyatakan, santri tidak boleh hanya menguasai bidang agama. Dengan menekuni bidang ini, alumni Pesantren Darunnajah Jakarta ini mengaku mendapat banyak bukti kekuasaan Tuhan tentang fenomena alam.<br /><br />Lulusan MA Darunnajah ini berharap, ilmunya bisa diterapkan di negeri ini, mengingat lokasi negeri ini yang rawan bencana. "Saya juga ingin memperkaya ilmu pesantren dengan ke-geologi-an," katanya. <br /><br />Ada juga santri yang menekuni kedokteran. Rifki Zakariyya, mahasiswa Prodi Kedokteran UGM misalnya. Dengan menjadi dokter, alumni SMA Darul Ulum, Jombang, Jatim ini berharap bisa menginjeksikan nilai-nilai agama pada masyarakat. "Basis agama dokter dari umum kan tidak sebesar santri," terang pria asal Blitar, Jatim ini. <br /><br />Sedang Edo Abdullah Fakih, alumni Pesantren Candangpinggan, Indramayu, Jabar mengambil Prodi Matematika UIN Jakarta. Dengan menekuni bidang ini, Edo ingin mengubah persepsi masyarakat bahwa hitung-menghitung bikin puyeng santri. "Santri juga mampu kok. Saya sendiri nggak terlalu kerepotan," aku pria asal Arjawinangun Cirebon. Edo kini tengah memikirkan metode mudah menekuni Matematika. <br /><br />Keluarganya yang berlatar santri tidak mempermasalahkan. "Mereka terserah saja. Yang penting sesuai otak dan kemampuan," ungkap putera almarhum KH. Syathori Salim -- pendiri Pesantren Mas Maliman Arjawinangun ini. <br /><br />Kisah di balik kesuksesan mereka menembus prodi eksakta beragam. Para penerima beasiswa Depag, misalnya harus menjalani ujian Depag dan universitas yang diinginkan. "Kami ujiannya normal dan bahkan dobel. Karenanya, penyaringan menjadi lebih ketat," ujar Rifki.<br /><br />Sedang Taufiq melalui PMDK. Ketika ujian, ia nyaris tidak ditanyai pernik-pernik rencana prodinya. "Ini barangkali yang membuat saya lulus," selorohnya. Di PMDK, ia menempati ranking ke-8 dari ratusan pendaftar lainnya. <br /><br />Saidatul Husna mengaku tidak mempersiapkan diri secara khusus menghadapi SPMB. "Persiapan biasa-biasa saja, tidak ngoyo," katanya. "Les juga sih, tapi tidak intensif, karena waktu itu sambil nyantri," imbuhnya.<br /><br />Kini banyak santri menggeluti bidang eksakta. Apalagi setelah Depag RI membikin program Beasiswa Santri Berprestasi. Mereka tergabung dalam Community of Santri Scholar (CSS), yang dibentuk di Grand Hotel Lembang Jawa Barat, 10-13 Desember 2007. Namun program yang telah berjalan tiga tahun ini perlu dievaluasi. <br /><br />Zayini berharap penyebaran informasi yang merata, termasuk pada pesantren kecil di kampung-kampung. "Di sana kan ada santri berbakat, yang punya hak sama," katanya. "Pesantren juga banyak di belahan Indonesia Timur," imbuh Rifki. Rifki melihat, penerimanya kebanyakan dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan.<br /><br />Para santri ini seolah menyusuri jejak Ibn Sina (w. 1037 M) yang begelar Bapak Dokter Dunia. al-Khawarizmi (w. 850 M) dikenal sebagai ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. al-Jabar, adalah buku pertamanya yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat. Ia juga dijuluki Bapak Aljabar. Al-Battani (w. 929 M), menemukan pengganti busur dengan sinus, tangen dan kotangen. Abu al-Wafa (w. 997 M) menemukan metode membuat tabel sinus, memperkenalkan sekan dan kosekan. <br /><br />Perkembangan sains di masa Islam klasik adalah buah persinggungan para ilmuwan Islam masa lalu dengan berbagai peradaban. Mereka tak alergi bersinggungan dengan yang lain.[]<br /><br />*Suplemen the WAHID Institute Edisi 17 di Majalah TEMPO, 25 Februari-2 Maret 2008Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-32974695166832222652008-02-24T20:14:00.000-08:002008-02-24T20:33:04.832-08:00Ahmad ShalahuddinMerancang Islam DigitalOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/200702/Nurul-sp.gif" align="left" hspace="6" alt="Nurul Huda" />Di sela padatnya jadual kuliah, tekadnya menghafal al-Qur'an tak pernah luntur. Targetpun ditetapkan. Dalam sehari, setidaknya sekaca halaman al-Qur�an dihafal. Itupun dijalaninya di sela waktu istirahat kuliah, yang tak lebih 2 jam sehari. <br /><br />Hafalan itu lantas disetorkan pada gurunya di Ponpes Sunan Pandan Aran Kaliurang Yogyakarta, tempatnya nyantri sejak kelas 1 Madrasah Aliyah (MA), setiap usai Maghrib dan Shubuh, kecuali Jum'at. "al-Hamdulillah, sekarang saya sudah hafal enam juz al-Qur'an," ujar Ahmad Shalahuddin, yang juga pernah ngaji di Ponpes Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon. <br /><br />Di luar setoran al-Qur'an, bersama santri lainnya ia me-ngaji berbagai kitab kuning khas pesantren. Misalnya, al-Adab an-Nabawi, Mukhtar al-Ahadits an-Nabawiyyah, Irsyad al-'Ibad, Jam' al-'Ulum wa al-Hikam, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, dan sebagainya. <br /><br />Itulah aktifitas Sholah -- sapaan akrab Ahmad Shalahuddin -- yang sehari-hari menjadi santri sekaligus mahasiswa semester empat Program Studi (Prodi) Ilmu Komputer Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. <br /><br />Ketertarikannya pada Ilmu Komputer, ujar remaja kelahiran Arjawinangun Cirebon, 8 April 1988 ini, bukan disengaja. Awalnya ia ingin mengambil Program Studi Matematika. "Tapi ibu saya nyeplos, kok nggak Ilmu Komputer saja?" kata putra pertama dari empat bersaudara pasangan M. Zainal Muttaqien dan Roghibah Zainuddin ini beralasan.<br /><br />Karena waktu pendaftaran tersisa dua hari lagi, Sholah lantas menuruti ceplosan ibunya, kendati dengan basis keilmuan pas-pasan. Maklum, kebanyakan pesantren kurang memperhatikan ilmu eksakta. "Dulu di pesantren, saya belajar komputernya konyol," ujarnya berseloroh. <br /><br />Kendati serba pas-pasan, bukan berarti ia tak mampu mengikuti mata pelajaran yang disajikan di bangku kuliah. Menurutnya, tidak ada pelajaran yang sulit. Hanya Matematika ia sedikit keteteran, terutama di semester pertama dan kedua. <br /><br />Bergelut di dua bidang berbeda tidak mudah buat Sholah. Ini ibarat menerobos tembok kokoh tradisi. Apalagi ia dari keluarga santri totok. Kedua orang tuanya alumni Ponpes Tebuireng Jombang Jawa Timur. Ayahnya alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sedang ibunya alumni Fakultas Tarbiyah STAIN Sunan Gunung Djati Cirebon.<br /><br />Namun, menguasai keduanya secara bersamaan, bukanlah hal mustahil. "Insya Allah saya bisa menggapai itu. Of course, saya akan mengejarnya dengan semangat," janji mahasiswa yang memperoleh Beasiswa Santri Berprestasi Departemen Agama (Depag) RI 2006/2007 ini. Ia adalah penerima beasiswa angkatan pertama bagi UGM. Ia berhasil menyisihkan ratusan santri lainnya dari berbagai pesantren. <br /><br />Di Prodi Ilmu Komputer, ia mempelajari berbagai bahasa pemrograman. Tak heran jika bersama empat kawannya, ia berhasil membuat game untuk HP. Slider Puzzle, demikian nama game ini. "Ini kerja kelompok dan sebagai program kampus. Ini pakai bahasa pemrograman Java," ujarnya.<br /><br />Usai studi kelak, selain mengajarkan Ilmu Komputer, ia berangan-angan membikin program komputer yang bisa dipakai untuk mendeteksi benda-benda yang hilang. Lingkupnya, ujarnya, untuk sementara hanya di sekitar rumah saja. "Ini masih angan-angan," ujarnya tanpa mau memerinci lebih jauh. <br /><br />Angan lainnya adalah membikin virus yang bisa mempengaruhi psikologi para netter. "Lebih tepatnya mempengaruhi tingkat spiritualitasnya," jelasnya. Sistem dan cara kerjanya sudah terekam di benaknya, tinggal direalisasikan. <br /><br />Ia juga punya cita-cita lain, yaitu mengubah kekolotan kaum santri di bidang teknologi. Caranya, dengan mendirikan pesantren tahfidh (hafalan al-Qur'an, red.) yang didukung kemampuan teknologi informasi. "Sepertinya ini keinginan yang agak bodoh. Tapi saya ingin pesantren bisa menyongsong masa depan Islam yang digital," harap Sholah.[] <br /><br />*Suplemen the WAHID Institute Edisi 17 di Majalah TEMPO, 25 Februari-2 Maret 2008Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-25320497240256582362008-02-10T20:39:00.000-08:002008-02-10T20:48:06.201-08:00Pesantren dalam Ancaman NarkobaOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />Sinyal atau alarm tanda bahaya bagi pesantren telah dibunyikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sekretaris Jenderal PBNU, Endang Turmudi, dalam sambutan pembukaan Pelatihan Peningkatan Kemampuan dalam Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Narkoba yang diikuti 12 pesantren se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Yogyakarta, di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis (31/01/2008), menyatakan, beberapa survei mensinyalir adanya segelintir santri yang terbukti mengonsumsi narkoba.<br /><br />Statemen ini begitu menghentakkan, terutama bagi warga pesantren. Betapa tidak, narkoba yang lumrahnya identik dengan perilaku nakal remaja kota, kini mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Padahal, pesantren identik dengan "surga", sedang narkoba identik dengan "neraka". Karenanya, sungguh menggelikan jika dua simbol yang berbeda ini bertemu, justru di lingkungan pesantren. Jika demikian, apa yang salah dengan pesantren? Tidak mudah menjawabnya. Namun ada beberapa catatan yang penting diajukan terkait kenyataan ini. <br /><br />Pertama, pesantren acap disebut sebagai "penjara suci", karena kentalnya nilai-nilai relijiusitas di dalamnya. Namun jika terbukti ada narkoba yang masuk ke dalamnya, ini tak lepas dari efek pasar bebas yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siapapun yang diyakini akan menghasilkan keuntungan, mereka akan menjadi korbannya, tak terkecuali para santri. Bandar memang tak peduli siapa korbannya. Pun tak peduli runtuhnya benteng moralitas mereka.<br /><br />Kedua, banyak ahli meyakini, kecanduan narkoba bermula dari kebiasaan merokok. Ini bukan kesimpulan yang benar 100 persen, namun banyak yang membenarkannya. Dan, santri adalah tipe perokok hebat. Kadang ada gurauan di kalangan santri; "siapapun belum sah disebut santri jika nggak merokok". Ini bukti bahwa merokok telah menjadi bagian dari kesantrian itu sendiri, termasuk menjadi tradisi para kiai yang tak mudah dihentikan. <br /><br />Menurut hemat penulis, jika benar ada keterkaitan erat antara narkoba dengan kebiasaan merokok, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk mentolerir para santri melakukannya secara bebas. Diakui memang, keharaman merokok masih debatable. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan. Yang pasti, dalil keharaman merokok tak pernah ditemukan dalam doktrin Islam. <br /><br />Kendati demikian, pintu apapun yang (diduga) akan mengantarkan pada narkoba, maka seharusnya ia ditutup rapat-rapat. Dalam tradisi pesantren, dikenal adagium amrun bi al-syai� amrun bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan perantaranya). Jika narkoba harus dihindari, maka perantara yang akan mengantarkan padanya juga harus dihindari. Simpelnya, jika rokok diyakini sebagai pintu masuk pada narkoba, maka rokok juga harus dihindari. Ini logika sederhana para santri, yang biasa disebut sadd al-dzari'ah (menutup pintu terjadinya kerusakan).<br /><br />Ketiga, hubugan kiai-santri yang mungkin agak renggang, karena kesibukan kiai dan sebagainya, perlu dirajut dan dieratkan kembali secara lebih intensif. Kiai dan stake holder lainnya, kini memiliki tanggungjawab baru untuk memantau perkembangan demi perkembangan para santrinya secara serius; baik perkembangan pendidikan, pergaulan, moralitas atau tingkah laku. Dengan pantauan ini, diharapkan penyimpangan-penyimpangan dapat terhindarkan. Pesantren pun betul-betul berjalan sesuai fungsinya, yaitu membentuk jiwa-jiwa relijius nan jauh dari jejaring setan.<br /><br />Keempat, pengelola pesantren mulai kini perlu menginjeksi informasi sebanyak-banyaknya seputar bahaya narkoba. Sebab bukan tidak mungkin, segelintir santri yang kedapatan mengonsumsi narkoba, itu lantaran mereka tidak memahami bahaya zat yang dikonsumsinya. Penginformasian ini bisa disisipkan di sela-sela pengajian kitab kuning, muhadharah, atau pengadaan seminar kecil dengan menghadirkan ahli atau mantan pecandu narkoba. Taburan informasi ini diharapkan bisa meminimalisir peredaran narkoba di lingkungan pesantren.<br /><br />Kelima, genderang perang terhadap narkoba harus ditabuh dari pesantren dengan menjadikan pesantren sebagai basis penanggulangan narkoba. Ini tak lain karena pesantren adalah benteng terakhir umat Islam di negeri ini. Jika benteng ini jebol, narkoba dipastikan membanjir di mana-mana. Karena itu, pesantren harus memiliki kepedulian dan keseriusan mengatasi ancaman ini.<br /><br />Jika point-point di atas bisa dilaksankan, sinyal bahaya narkoba bagi pesantren akan segera padam. Pesantrenpun akan kembali pada fungsi awalnya. Dan mudah-mudahan, pesantren bisa meloloskan dirinya dari intaian orang-orang jahat �bandar� narkoba. Syukur-syukur, pesantren bisa menjadi lembaga penyembuhan bagi para pecandu narkoba (seperti Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat asuhan Abah Anom), bukannya lembaga yang malah subur dihuni para pecandu narkoba. Amin! Wa Allah a'lam.[] <br /><br />(Radar Banten, Senin, 11 Februari 2008)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-76067542914709885742008-01-30T21:02:00.000-08:002008-01-30T21:42:51.710-08:00Harlah NU ke-82NU, Organisasi Papan Nama?Oleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/200612/2006-12-07-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="cah-elik" />Kamis, 31 Januari 2008 ini, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 82 tahun. Usia yang cukup matang dan mapan untuk sebuah organisasi muslim tradisional dengan jumlah pengikut puluhan juta ini. NU memang telah mengecap aneka pengalaman hidup: manis-getir, pasang-surut, dan seterusnya. Karenanya tak heran, di usianya ini, pujian dan kritikan terus hadir silih berganti. Baik dari internal NU (terutama anak mudanya) maupun dari eksternal NU (pengamat dan peneliti). <br /><br />Kritikan itu, utamanya, lebih banyak disasarkan pada aspek hubungan NU dengan politik praktis. Polarisasi lantas terjadi; sebagian menyayangkan jalinan kemesraan NU-politik yang menyebabkan tak terurusnya persoalan riil keumatan, sebagian menilainya perlu karena politik itu bagian dari amar ma'ruf nahy munkar yang menjadi tugas NU, dan sebagian lagi cenderung netral.<br /><br />Termasuk yang menyayangkan, adalah pengamat dan peneliti NU Laode Ida. Dalam Refleksi 82 Tahun NU, Membangun NU Berbasis Umat (Rabu, 16/01/2008) yang digelar Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor di Jakarta, ia menyatakan, sejak 1970-an NU telah kehilangan karakter keumatannya, karena begitu larut dalam arus utama politik. <br /><br />Pergeseran orientasi ini, menurut Laode, kian kental dan nyata setelah era reformasi. Semua berebut kue kekuasaan, tak ketinggalan orang NU. Hanya segelintir ulamanya saja yang masih konsen pada program keumatan. Jika ini dibiarkan, kuatir Laode, NU akan menjadi "organisasi papan nama" karena ditinggalkan umat. Kegagalan calon dari NU memenangi pilkada di wilayah berbasis NU, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, adalah contoh nyata betapa ikatan emosional warga nahdliyyin dengan NU kian melonggar.<br /><br />Pertanyaannya kini: bagaimana sesungguhnya khittah politik NU? Menurut pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah, KH. Ahmad Mustofa Bisri, makna khittah politik itu sangat jelas, sehingga tidak memerlukan "tafsir jalan lain." Setidaknya, ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU. <br /><br />Pertama, politik kebangsaan. Politik ini untuk tujuan keutuhan NKRI. Sejak berdirinya, NU telah menjalankan politik jenis ini. Munculnya resolusi jihad pada Oktober 1945, penetapan waliy al-amr al-dharuri bi al-syaukah untuk Bung Karno pada 1952 dan sebagainya, menjadi bukti sahih dalam hal ini. <br /><br />Kedua, politik kerakyatan. Ini implementasi dari amar ma'ruf nahy munkar untuk membela umat. Menurut Gus Mus -- sapaan akrab KH. Ahmad Mustofa Bisri, peran ini kini banyak diambil-alih generasi muda NU melalui LSM-LSM, karena mereka melihat NU secara struktural tidak lagi peduli terhadap aspek kerakyatan ini. <br /><br />Ketiga, politik kekuasaan. Politik jenis inilah, lazim disebut politik praktis, yang paling menyilaukan orang NU. Menurut Gus Mus, ini karena sukses luar biasa NU pada 1950-an. Dalam waktu singkat, Partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sejak saat itu, analisis Gus Mus, kemaruk politik merebak di sekujur urat nadi NU. Efeknya, persoalan pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah, terbengkalai. <br /><br />Karena itu, penulis berfikir, untuk mengembalikan kejayaan NU, tak ada jalan lain kecuali menjauhkan NU sejauh-jauhnya dari hiruk-pikuk politik praktis. Apalagi - seperti sindiran banyak pengamat - NU tak ubahnya pendorong mobil mogok. NU ditinggalkan jika mobil itu telah berjalan. Kalaupun NU mesti berpolitik, dan ini wajib sesungguhnya, maka jenis politik kebangsaan dan kerakyatan lah yang seharusnya menjadi perhatian, bukan politik kekuasaan. Politik inilah yang akan menghadirkan maslahah dan menjauhkan mafsadah.<br /><br />Ini sesuai pernyataan Abu al-Wafa' Ibn Aqil. Menurutnya, politik tak lain berarti segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan menjauhkannya dari kemafsadatan, kendati tidak berlandaskan syara' dan tidak didasarkan wahyu. Maka, perilaku apapun yang mendatangkan kebaikan dan menghilangkan kerusakan, itulah politik. Inilah politik amar ma'ruf nahy munkar itu. <br /><br />Jadi, elegan sekali jika NU berpolitik di luar sistem politik praktis. Ini yang penulis sebut "berpolitik tanpa partai"; politiknya para kiai NU. Dan, ini jauh lebih penting ketimbang harus masuk dalam gelanggang politik praktis. Toh, kebenaran tetap bisa ditiupkan dari manapun. Dengan politik ini, para kiai juga bisa mendidik santrinya di pesantren menjadi umara' yang bermental ulama; membangun negara dengan kejujuran dan keikhlasan, tidak korupsi, hanya takut pada Allah SWT, tidak zalim dan sewenang-wenang pada rakyat, dan seterusnya. Menciptakan umara seperti ini juga politik. Maka akan tercipta kebangkitan umara' (nahdhatul umara').<br /><br />Selain itu, NU harus diposisikan sebagai pengawal moral masyarakat secara umum, termasuk para politikus, sampai kapanpun. Konsekuensinya, NU harus menjadi milik umum, milik siapa saja, dan bukan milik partai politik tertentu. Netralitas posisi ini penting, karena ghayah (tujuan) utama politik kebangsaan dan kerakyatan hanya akan terwujud melalui posisi ini. <br /><br />Atas dasar alasan-alasan di atas, sekali lagi, NU harus dinetralkan dari virus politik praktis. Dan akhirnya, jika semua ini betul-betul diperhatikan dan dilaksanakan para petinggi NU, maka kekuatiran NU akan menjadi organisasi papan nama, tidak perlu terjadi, bukan? Wa Allah a�lam.[]<br /><br />(Radar Banten, Kamis, 31 Januari 2008)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-5071026028374541352008-01-28T19:42:00.000-08:002008-01-29T03:15:58.135-08:00Ghirah Membantu Si Lemah<div style="text-align: justify;"><span style="font-family:georgia;">Oleh Nurul H. Maarif dan Gamal Fedhi</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-family:georgia;" >Untuk membantu yang lemah, masyarakat punya cara sendiri. Mereka mengorganisir diri melakukan simpan-pinjam. Dananya dari kocek pribadi sampai patungan. Ada yang dikelola secara kekerabatan hingga profesinal. Keuntungan bukan tujuan.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Siti Mukaromah kaget bukan kepalang. Saat hendak berbelanja, dompetnya tertinggal di lemari rumahnya. Sedihnya lagi, kunci lemari terbawa suaminya ke kantor. Mau tidak mau, ia harus pinjam tetangga. Namun tak satupun yang memberi. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">"Mau minjem saja susah banget. Bukan karena mereka nggak punya uang lho," kata Siti Mukaromah, ibu rumah tangga di Jl. Semanggi II Ciputat Tangerang mengen</span><span style="font-family:georgia;">ang peristiwa tujuh belas tahun silam.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dari peristiwa itu, Bu Joko, panggilan akrab Siti Mukaromah, menyadari betapa sulit dan sedihnya tidak punya uang. Dia pun menerapkan simpan-pinjam kecil-kecilan di kelompok pengajian al-Qur'an tiap Sabtu yang dipimpinnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Awalnya, 12 anggota pengajian itu dalam seminggu menabung Rp 500. Seiring waktu, kini tabungan mereka berkembang hingga Rp 100 ribu sampai Rp 125 ribu. Simpanan itu kemudian disepakati sebagai modal pokok anggota yang tidak boleh diambil. Di luar itu, ada anjuran menabung per-minggu minimal Rp 5 ribu. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Uang yang terkumpul terus bertambah, yang puncaknya dijadikan modal simpan-pinjam, terutama bagi anggota pengajian. Dari gethok tular antar tetangga, anggota bertambah jadi 30 orang. Di luar anggota, simpan-pinjam tidak berlaku. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kini dana yang terkumpul mencapai Rp 30 juta. Jumlah yang besar bagi kelompok pengajian sekecil itu. Pengajian itu juga tidak membatasi jumlah pinjaman. "Ada yang pinjem Rp 3 juta dengan mudah," imbuh alumni Universitas Muhammadiyah Klaten ini.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Prosedur peminjaman pun tak berbelit. Tidak perlu perjanjian dan prasyarat formal lainnya. Lantaran tujuannya untuk meringankan beban anggota kelompok yang sedang membutuhkan dana. Misalnya, untuk bayar semesteran atau menyekolahkan anak, modal usaha, atau pengobatan mendadak. Saling percaya adalah modal dan jaminannya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kelompok ini memberlakukan kelebihan bagi peminjam sebesar lima persen dari pinjaman. Tapi proses pengembaliannya tidak mengikat, dengan mencicil antara tiga sampai lima kali, dalam jangka waktu 3-5 bulan. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">"Tapi ini juga nggak kaku. Kadang ada yang gampang pinjem, tapi susah ngembaliin, karena memang belum punya," ujar perempuan asal Klaten ini. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Karena faktor kepercayaan dan keanggotaan yang jelas, hingga kini belum ada kasus peminjam yang kabur. "Lagian pinjamnya juga nggak banyak," kata ibu dua putra ini. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Terkait peningkatan ekonomi anggotanya, Bu Joko punya ukuran yang unik. Jika yang meminjam makin sedikit, berarti taraf ekonomi mereka kian baik. "Ukurannya itu saja, nggak usah susah-susah," tegas Bu Joko. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Namun diakuinya, peningkatan ekonomi ini bukan berkat pinjaman itu. Itu murni usaha mereka sendiri. "Pinjaman ini tidak untuk meningkatkan ekonomi. Tapi untuk memudahkan saja," terangnya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pengajian ini juga mengumpulkan iuran perminggu Rp 500, khusus untuk membantu warga yang sakit di luar kelompok pengajian, juga pengurusan jenazah. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Menurut Bu Joko, peduli pada yang sakit, yang meninggal, dan yang kesusahan, itu diajarkan Islam. Karena itu, apa yang dilakukan bersama kelompok pengajiannya, tak lain untuk itba' (mengikuti, red.) Rasulullah SAW. "Walaupun tidak ada seberapanya," akunya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Simpan-pinjam juga dijalankan Majelis Taklim al-Maksumy Prajegan Bondowoso Jawa Timur pimpinan Ny. Hj. Ruqayyah Maksum. Anggotanya, lebih dari 200 kaum ibu, umumnya tulang punggung keluarga. Profesi mereka, antara lain, pedagang kecil dan buruh tani.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Awalnya pada 2004, banyak anggota majelis itu yang membutuhkan dana untuk modal usaha. Mereka lantas pinjam ke pihak tertentu dengan bunga besar. Belum lagi, pinjaman baru bisa turun jika ada agunan. Padahal mereka tidak punya apapun untuk dijaminkan. Kalau pinjam ke koperasi atau lembaga keuangan, mereka harus menjadi anggota terlebih dahulu dan dikenai biaya administrasi. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Keluhan demi keluhan, akhirnya sampai ke telinga Ruqayyah. "Bermula dari niat kami membantu anggota Majelis Taklim al-Maksumy, walaupun tidak banyak," ujar Ruqayyah kepada Subhi Azhari dari the WAHID Institute.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Dengan uang pribadi sebesar Rp 10 juta, Ruqayyah meminjami anggotanya sejak empat tahun lalu. Jumlah pinjaman tidak besar, mengingat modal yang terbatas dan skala usaha anggota majelisnya yang juga kecil. Awalnya, paling banyak Rp 500 ribu. Jika mengembalikan pinjaman tepat waktu, selambatnya 10 bulan, dia boleh meminjam lagi Rp 1 juta. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pengembalian dibayar mencicil, pada pertemuan pengajian seminggu dua kali. Besar cicilan terserah peminjam. Tidak ada ketentuan khusus. Ada yang Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, bahkan Rp 5 ribu. Bahkan peminjam yang kebanyakan pedagang bahan makanan pokok, ini tidak dikenai kelebihan sepeserpun. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">"Pinjam Rp 1 juta, ya kembalinya Rp 1 juta. Niatnya memang betul-betul untuk meringankan mereka," ujar Ruqayyah. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kepercayaan dan ikatan emosional dengan jemaah pengajian, adalah jaminannya. Prosedurnya juga tidak formal. "Saya yakin mereka tidak akan lari," katanya yakin. Namun kendala tetap ada. Misalnya, ada yang lebih 10 bulan belum mengembalikan pinjaman. "Itu beberapa orang saja, karena memang tidak punya," imbuh ibu seorang putra ini.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Sebelum uang pinjaman dikucurkan, dilakukan survei kecil agar tepat sasaran. "Mereka itu kan tidak punya sumber penghasilan lain," kata Ruqayyah. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kini Ruqayyah gembira melihat peningkatan usaha anggota majelisnya. Indikatornya, jumlah peminjam kian menurun. "Atau setidaknya usaha mereka masih bertahan. Karena kalau pinjam ke rentenir, usahanya pasti akan merosot," ujarnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Selain meminjami, Ruqayyah juga menganjurkan anggotanya menabung. Di setiap pertemuan, mereka menyimpan seadanya, mulai dari Rp 500 hingga Rp 10 ribu. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Djudju Zubaidah, koordinator LSM Nahdina di Cipasung, Tasikmalaya juga menerapkan tabungan bagi 40 anggota pengajiannya sejak empat tahun silam. "Kami masih merintis. Belum sampai pinjam-meminjam, karena baru untuk menabung saja Rp 1.000 per hari," katanya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Simpanan itu untuk kebutuhan lebaran, kurban, atau modal usaha. Sisanya, akan dipinjamkan untuk modal usaha kecil masyarakat sekitar.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Usaha simpan-pinjam dalam skala yang lebih besar dan profesional dijalankan Baitul Maal wat Tamwil (BMT) al-Amin di Pasar Wangon, Banyumas, Jawa Tengah. Lembaga keuangan mikro ini, selain memberikan kredit lunak kepada pedagang dan pengusaha kecil, juga menerapkan tabungan bagi anggotanya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kholis, seorang pedagang sandal dan sepatu di Pasar Wangon, merasa terbantu dengan kredit murah yang diberikan BMT al-Amin. Sebelumnya, Kholis menjadi anggota BMT lain di Kecamatan Wangon. Tapi, ia kecewa lantaran pengajuan pinjamannya sebesar Rp 1 juta ditolak. Padahal, telah setahun ia menjadi anggota.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Pinjaman itu sangat berarti buat bapak tiga anak ini. Kios sandal dan sepatunya memerlukan suntikan modal untuk menghadapi lebaran yang kian dekat. Karena kecewa, Kholis mencabut keanggotaannya dari BMT itu.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Untuk mencukupi kebutuhan modal yang kian mendesak, Kholis mengajukan pinjaman ke BMT al-Amin. Pengurus pun mengabulkannya.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Itulah kisah awal Kholis menjadi anggota BMT al-Amin pada 2004. "Sekarang kalau aku butuh modal, tinggal bilang. Prosedur peminjamannya mudah," ungkapnya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kholis merasakan manfaat besar menjadi anggota BMT al-Amin. Usahanya kian berkembang. Kios di Pasar Wangon yang dulu berstatus kontrak, kini menjadi miliknya. Selain meminjam, ia pun menabung. Bahkan Kholis dan kelompoknya juga menitipkan tabungan qurban. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">"Selain dekat dari tempat usaha, BMT al-Amin memang yang paling kami percaya," katanya kepada Gamal Ferdhi dari the WAHID Institute.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Kepercayaan jugalah yang membuat Jumanto menitipkan hasil jerih payahnya ke BMT al-Amin. Ayah tiga anak yang sehari-hari menarik becak dan memulung barang bekas ini, menjadi anggota sejak BMT ini berdiri. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Ia mengaku beruntung menjadi anggota BMT ini. Di akhir tahun, selain mendapat sisa hasil usaha (SHU), Jumanto mendapat bantuan sembako. Anak laki-lakinya, juga ikut khitanan masal yang digelar BMT ini. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">BMT al-Amin didirikan sastrawan cum pendakwah Ahmad Tohari bersama karibnya H. Iwan pada 2001. "Lembaga ini memang kami niatkan untuk beramal lewat kredit bagi para pengusaha kecil," katanya. </span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Karena niat itulah, para anggota BMT dapat memperoleh kredit lunak tanpa prosedur yang njelimet. "Para anggota yang sudah lama dapat meminjam tanpa agunan. Ngomong sekarang, dikabulkan sekarang bisa. Karena kita sudah percaya pada mereka," kata Manajer BMT al-Amin, Widia A. Tohari.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;"><span style="font-style: italic;">Ghirah</span> atau semangat mulia ini terus tumbuh tanpa campur tangan pemerintah.[]</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">*<span style="font-style: italic;">Suplemen the WAHID Institute XVI di Majalah TEMPO, Senin, 28 Januari 2008</span></span></div>Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com72tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-89194702792177924772008-01-21T20:17:00.000-08:002008-01-21T20:29:40.640-08:00Shahabat Ali dan Kebijakan TransportasiOleh Nurul Huda Maarif*<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />Di masa kepemimpinannya, yang tak lebih dua tahun, khalifah keempat Ali bin Abi Thalib dikenal sangat memperhatikan kualitas sarana transportasi di wilayahnya, terutama jalan umum. Perhatian ini tak lepas dari fungsinya sebagai penghubung berbagai gerak kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. <br /><br />Lebih dari itu -- ini yang paling ditakutkan Ali --, baik-buruknya kualitas sarana transportasi terkait erat dengan nyawa rakyatnya. Jika sarana transportasinya baik, masyarakat akan nyaman dan tenang melaju di atasnya. Sebaliknya, jika kualitasnya buruk, tak mustahil nyawa mereka justru terancam dan atau menjadi taruhan. <br /><br />Karena hal inilah, ayah Hasan dan Husein ini begitu ketakutan seandainya saja ada keledai yang terperosok di jalan berlobang yang ada di wilayahnya. Beliau begitu memuliakan makhluk Allah SWT, hatta keledai sekalipun. Apalagi, jika yang terperosok itu manusia, tentu ketakutan menantu Rasulullah SAW ini akan kian menjadi-jadi. <br /><br />Kenapa ia ketakutan sedemikian hebatnya? "Inni lakhasyitu an yas'alani Allah/sungguh aku takut, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawabanku," ujar suami Fatimah al-Zahra ini. Bagi Ali, kepemimpinannya tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, melainkan (terutama) kepada Allah SWT di hari kemudian. <br /><br />Inilah karakteristik kepemimpinan Ali. Ia meyakini, segala kebijakannya senantiasa dalam pantauan dan pengawasan Allah SWT, yang karenanya tak seorangpun dapat berkelit dari pengadilan-Nya. Untuk itu, hendaknya segala kebijakan penguasa pertama-tama diorientasikan untuk kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ala al-rai'yyah manuthun bi al-mashlahah, bukan untuk popularitas, keuntungan pribadi, kelompok dan seterusnya. Apalagi dengan mengorbankan rakyat banyak. <br /><br />Bagaimana Transportasi Kita? <br />Apa yang diteladankan Ali dalam kepemimpinannya -- termasuk juga Abu Bakar al-Shiddiq, 'Umar bin al-Khattab, 'Usman bin 'Affan, dan 'Umar bin 'Abd al-'Aziz -- sudah seharusnya menjadi cambuk bagi para pemimpin di negeri ini untuk lebih mementingkan kemaslahatan rakyat. Karena sesungguhnya, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya (sayyid al-qaum khadimuhum). Termasuk, tentunya, melayani kemaslahatan mereka di bidang transportasi.<br /><br />Tapi, bagaimana perhatian para pemimpin kita di bidang ini? Sudahkah kebijakan mereka mencerminkan orientasi kemaslahatan bagi rakyatnya? Jawabnya menyesakkan dada dan belum melegakan; baik pemimpin di tingkat nasional maupun lokal, belum banyak yang memiliki orientasi memadai soal ini. <br /><br />Memang harus diakui, ada beberapa pemimpin lokal yang serius memperhatikan soal ini. Namun jumlahnya sangat terbatas. Selebihnya cenderung sepele dan menyepelekan hal yang sangat penting bagi rakyat ini. Lihat saja misalnya, kecelakan kereta api, mobil, pesawat, dan seterusnya, masih terus beruntun terjadi. Tak sedikit nyawa yang melayang sia-sia. Ini tentu bukan murni kesalahan para pemimpin, namun dengan kebijakan mereka, seharusnya ada kontrol yang baik dalam hal ini.<br /><br />Pada musim penghujan ini, sarana transportasi banyak yang rusak, bahkan kadang sangat parah. Jika kita lihat jalan-jalan di ibu kota Jakarta saja umpamanya, lubang menganga yang mengancam nyawa bertebaran di mana-mana. Tidak hanya sekali-dua kali penulis melihat pengendara motor terjerembab, tanpa ada kesempatan menghindar sama sekali. Herannya, pemerintah setempat "tampak acuh" dengan tak lekas membenahinya. Padahal pajak motor tak pernah alfa ditarik setiap tahunnya. Tapi balasan apa yang mereka dapatkan? <br /><br />Selain jalan, sarana angkutan umum juga banyak yang tidak memadai. Misalnya, yang sering disoal banyak orang; kualitas perkeretaapian di negeri ini. Masih terngiang di telinga dan terbayang di mata, KA Rangkas-Jakarta yang atapnya runtuh (dengan mudahnya), karena usianya yang telah lanjut. Ini cerminan fasilitas yang ada cenderung apa adanya.<br /><br />Tak selesai di situ, berjubelnya penumpang di kereta ini juga menjadi tambahan masalah. Terjadinya penyanderaan KA Rangkas-Jakarta di Parung Panjang beberapa waktu lalu oleh penumpangnya sendiri, mencerminkan hal ini; tidak ada keseimbangan antara jumlah angkutan dengan jumlah penumpang. Membludaknya penumpangpun mustahil terhindarkan. <br /><br />Bahkan, dalam sebuah kesempatan naik kereta ini, penulis melihat langsung seorang ibu muda yang tengah hamil, pingsan lantaran kekurangan asupan oksigen. Anak-anak kecil pun banyak yang menangis tak kuat menahan panasnya suasana gerbong. Belum lagi banyaknya copet (di setiap gerbong), yang leluasa mencomot dompet para penumpang. Semua ini terjadi karena begitu berjubelnya penumpang. Rasa amanpun lantas hilang sama sekali. Siapa yang mesti bertanggungjawab?<br /><br />Jika melihat kondisi riil ini, semestinya para pemimpin, baik di tingkat nasional maupun lokal, prihatin dan mulai serius memikirkan solusinya. Pun, para calon pemimpin yang hendak bergelut memperebutkan kursi kekuasaan melalui Pemilu atau Pilkada, harus ikut serius memikirkannya. Tak etis rasanya, jadi pemimpin tanpa peduli masalah sekrusial ini. <br /><br />Akhirnya, seperti diyakini Ali bin Abi Thalib, yakinlah bahwa kepemimpinan itu tidak selesai di dunia belaka, melainkan ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sanggupkah kita menghadapinya? Wa Allah a'lam.[] <br /><br />Kp. Sarian, Sabtu, 19 Januari 2008<br />(Radar Banten, Selasa, 22 Januari 2008)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-19851277182997009112008-01-17T00:10:00.000-08:002008-01-17T00:18:57.911-08:00Toleransi Berangkat dari RumahOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />Ini kisah persahabatan dua bocah cilik. Nilna (perempuan, 16 bulan) dengan tetangga ciliknya Christopher (lelaki, 2 tahun). Keduanya dari keluarga dengan latar belakang agama berbeda. Nilna dari keluarga muslim dan Christopher dari keluarga Kristen. Itu nyata tersirat dari pilihan nama bagi keduanya. <br /><br />Namun, bukan soal pilihan nama ini yang menarik diperbincangkan. Menurut sebagian orang, apa sih arti sebuah nama? Di samping itu, toh keduanya juga belum tahu apa itu 'nama islami' dan apa itu 'nama kristiani'. Apalagi untuk memilih sebuah agama dengan kesadaran, tak pernah terpikirkan oleh anak sebelia itu. Orang tuanyalah yang nantinya memilihkan (tepatnya 'memaksakan') agama mana yang musti mereka anut. <br /><br />Lebih dari itu, imanpun belum mereka miliki, kecuali iman primordial yang dibawa sejak dari rahim bundanya. Iman hasil perjanjian suci antara calon jabang bayi dengan Tuhannya. Itupun, untuk anak seumuran mereka, belum mewujud sebagai identitas. Namun justru lantaran ketidakmengertian mereka tentang agama dan iman itulah, persahabatan mereka menjadi alami dan unik -- setidaknya menurut saya sendiri. <br /><br />Suatu ketika, bunda Si Nilna (saya menggunakan Si untuk menunjukkan kebeliaannya) memembelikan sepotong roti untuknya. Tak dinyana, roti itu dibelahnya menjadi dua bagian. Sebagian dimakan sendiri dan sebagian diulurkan buat Si Christopher, yang keluarganya Kristen dari Batak itu. Kendati tanpa perbincangan sedikitpun, karena keduanya belum bisa bercakap, toh keakraban diantara mereka tetap tampak nyata. <br /><br />Kisah persahabatan dua bocah cilik ini memberikan beberapa pelajaran penting. Pertama, persahabatan memang tidak musti dinyatakan melalui ucapan. Yang jauh lebih penting adalah tindakan nyata. Berbagi, sebagai simbol persahabatan yang ditunjukkan Si Nilna misalnya, tak perlu dimediasi oleh ucapan apapun. Apalagi perlu sorotan dan publikasi berbagai media massa. Cukup dengan tindakan nyata. Tangan kanan memberi, tangan kiri pun tak perlu mengetahuinya. Itulah sejatinya inti dari ajaran agama; tindakan. Karenanya, agama tak bermakna apa-apa jika hanya dikhutbahkan melulu di bibir, tanpa ada tindakan nyata untuk kemanusiaan. Jika hanya di mulut, agama menjadi kecil dan kerdil. <br /><br />Kedua, persahatan tidak seharusnya disekat oleh perbedaan, baik perbedaan suku, agama, ras, dan sejenisnya. Persahabatan itu universal. Karenanya, jika ada kelompok tertentu memilih-milih dan memilah-milah sahabat, seorang muslim hanya memilih dan memilah kawan dari muslim lainnya, yang Kristen pun demikian, maka substansi persahabatan menjadi hilang. Bahkan nyaris tak ada gunanya. <br /><br />Ketiga, persahabatan dua bocah cilik itu mengisyaratkan bahwa konflik antar agama atau antar iman, itu tidak pernah (setidaknya jarang) terjadi di tingkat bawah. Bahkan, ketika Si Nilna dan banyak anak-anak muslim di lingkungannya sakit, (sebut saja) Bidan Manurung yang Kristen Batak menjadi rujukan penyembuhan. Ini soal kepercayaan, bukan keterpaksaan, karena masih banyak dokter muslim di sana. Tapi bahwa kerja medis bidan ini lebih cocok bagi pasien, itu tidak bisa dipungkiri. Sekat keimananpun menjadi lebur, karena kesalingpercayaan. <br /><br />Yang tak kalah penting, yang membuat pasien muslim kerasan, adalah keramahan dan ketelatenan Nenek (ia menyebut dirinya) menjawab keluhan pasien yang tak direka-reka. Dan, tak ada satu pasien muslimpun yang menyoal latar belakang imannya. Mereka datang untuk mengobati fisik yang luka, bukan mengobati iman yang koyak. Mereka datang bertanya resep kesehatan, bukan bertanya akidah. Kesehatan adalah kesehatan dan akidah adalah akidah. Keduanya terpisah jelas. Soal akidah misalnya, lakum dinukum wa liya din. Ternyata orang di bawah 'lebih paham' pemisahan ini. <br /><br />Jika nyatanya di bawah no problem, jangan-jangan benar belaka dugaan bahwa wacana konflik antar agama atau antar iman itu sejatinya melulu problem elit: 'masalah orang pinter' atau 'yang dipermasalahkan orang pinter'. Saking pinternya, termasuk yang bukan masalahpun dipermasalahkan. Kalaupun ada masyarakat bawah yang turut meributkannya, saya yakin sekali itu lantaran pengaruh atau bahkan hasil komporan 'orang pinter' itu. <br /><br />Keempat, persahabatan dua bocah cilik itu -- secara tidak langsung -- juga bisa dimaknai sebagai kritik bagi para penggiat dialog antar agama. Jujur saja, tingkat keberhasilan dialog jenis ini -- termasuk melalui munculnya Trilogi Umat Beragama oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara -- masih perlu uji lebih jauh. Apalagi dialog ini lumrahnya hanya melibatkan orang dewasa yang telah memiliki 'prasangka laten' pada 'yang lain'.<br /><br />Sebaiknya, dialog itu lebih dicurahkan untuk anak-anak kecil yang belum memiliki paradigma apapun tentang 'yang lain'. Anak-anak yang bersih ini perlu dibekali perjumpaan dan perkenalan dengan umat agama lain. Biarkan pengalaman lapangan yang berbicara dan menjadi guru mereka, bukan dialog wacana yang acap hanya ada di kepala. Dengan 'toleransi lapangan' sejak dini itu, 'prasangka laten' yang menjadi faktor utama konflik antar agama sangat mungkin dikikis. Tentu saja, setelah itu tetap penting diinjeksi wacana-wacana yang damai dan toleran.<br /><br />Dengan ujaran lain, janganlah dialog antar agama digelar dengan mengabaikan keluarga dan anak-anak. Toleransi dan keterbukaan yang sesungguhnya, hanya akan terwujud jika sedari dini keluarga dan anak-anak telah merasakan arti sesungguhnya toleransi dan keterbukaan itu. Untuk itu, toleransi dan keterbukaan harus diberangkatkan dari rumah. Dan, tentu saja, ini butuh kerja keras dengan durasi waktu panjang. Tujuan mulia memang butuh kesungguhan! Wa Allah a'lam.[] <br /><br />(Radar Banten, Kamis, 17 Januari 2008)Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-35198244962551893062008-01-14T02:36:00.000-08:002008-01-14T02:51:32.804-08:00Ijtihad Kang Husein tentang Presiden PerempuanOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/rul.jpg" align="left" hspace="10" alt="Nurul" />KH Husein Muhammad, yang akrab disapa Kang Husein, lahir di Arjawinangun Cirebon, 9 Mei 1953. Setelah menyelesaikan pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1973, ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, tamat tahun 1980. Ia kemudian melanjutkan belajar ke Universitas al-Azhar Kairo, Mesir. Kembali ke Tanah Air pada tahun 1983 dan memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat. <br /><br />Kang Husein aktif dalam berbagai kegiatan, diskusi dan seminar keislaman, terutama seminar-seminar yang membincangkan seputar persoalan agama dan jender, serta isu-isu perempuan lainnya. Ia juga aktif menulis di sejumlah media massa dan menerjemahkan sejumlah buku. Bukunya yang paling sakral adalah Fikih Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.<br /><br />Ia juga aktif di pengembangan wacana LSM Rahima, Puan Amal Hayati, dan sekarang menjabat direktur Fahmina Instutute Cirebon. Bersama teman-temannya, ia juga mendirikan Klub Kajian Bildung. Dan barangkali, karena aktivitasnya yang akrab dengan persoalan keperempuanan, julukan Kiai Yang Pembela Kaum Perempuan memang layak disematkan padanya.<br /><br />Soal Fikih Presiden Perempuan<br />Menurut Kang Husein, sampai hari ini belum diketahui pendapat para ahli fikih terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat kepala negara (setingkat presiden). Syah Waliyullah al-Dahlawi menyatakan, syarat-syarat seorang khalifah adalah berakal, baligh (dewasa), merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat berbicara. Semua ini telah disepakati seluruh umat manusia di mana dan kapanpun. <br /><br />Sementara itu, menurut Kang Husein, Wahbah al-Zuhaili mengatakan, laki-laki sebagai syarat seorang imam (kepala negara) sudah menjadi kesepakatan (ijma') para ulama ahli fikih. Wahbah acap menyatakan; "Tidak sah perempuan menduduki jabatan al-imamah al-uzhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa-penguasa sesudahnya juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah al-balad)."<br /><br />Menurut Kang Husein, argumen untuk seluruh persoalan peran perempuan di atas, pertama-tama mengacu pada QS al-Nisa' ayat 34. Laki-laki adalah qawwamun atas perempuan, karena Allah Swt telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari harta mereka.<br /><br />Para ahli tafsir menyatakan, qawwamun berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Selanjutnya, mereka mengatakan, kelebihan yang dimiliki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya.<br /><br />Sebagai misal, ar-Razi mengatakan, kelebihan itu meliputi dua hal: ilmu pengetahuan (al-'ilm) dan kemampuan fisik (al-qudrah). Akal dan pengatahuan laki-laki, menurut ar-Razi, melebihi akal dan pengetahuan perempuan dan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan keras, laki-laki lebih sempurna. al-Zamakhsyari, pemikir Mu'tazilah terkemuka mengatakan, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena akal (al-'aql), ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-'azm), kekuatan fisik (al-qudrah), secara umum memiliki kemampuan menulis (al-kitabah) dan keberanian (al-furusiyyah wa ar-ramyu). <br /><br />al-Thabataba'i berpendapat, kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir (quwwat al-ta'aqqul) yang, karena itu, melahirkan keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional.<br /><br />Para penafsir lain, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Muhammad 'Abduh, Muhammad Thahir bin Asyur, al-Hijazi, dan lain-lain mempunyai pendapat yang sama. Mereka juga sepakat, kelebihan-kelebihan laki-laki tersebut merupakan pemberian Tuhan, sesuatu yang fitri, yang alami, yang kodrati. Atas dasar semua ini, mereka berpendapat perempuan tidak layak menduduki posisi-posisi kekuasaan publik dan politik, lebih-lebih kekuasaan kepemimpinan negara.<br /><br />Menurut Kang Husein, dewasa ini pandangan tentang kelebihan-kelebihan tersebut di atas telah terbantahkan dengan sendirinya melalui fakta-fakta riil. Realitas sosial dan sejarah modern membuktikan, telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap sebagai hanya menjadi monopoli kaum laki-laki. Kita juga telah menyaksikan sejumlah perempuan yang menjadi kepala negara, kepala pemerintahan, gubernur, ketua parlemen, ketua partai politik, dan sebagainya. Demikian juga dengan pekerjaan dan profesi.<br /><br />Realitas ini tentu saja memperlihatkan, bahwa pandangan yang meyakini kealamiahan dan kekodratiahan sifat-sifat di atas tidaklah benar. Yang benar adalah bahwa ia merupakan produk bangunan sosial yang sengaja diciptakan. Pada sisi lain, kenyataan itu juga memperlihatkan adanya sebuah proses kebudayaan yang kian maju. Kehidupan tidak lagi bergerak dalam kemapanan dan stagnasi. Ada dialektika sosial yang bergerak terus-menerus, dari kehidupan nomaden ke berperadaban, dari kerangka berpikir tradisionalis ke berpikir rasionalis, dari pandangan tekstualitas ke pandangan substansialis, dari ketertutupan ke keterbukaan, dan seterusnya.<br /><br />"Dengan demikian, bagaimana kita menyikapi ayat di atas?" tanyanya. Menurutnya, ayat di atas kudu dipahami sebagai bersifat sosiologis dan kontekstual. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara popular dikenal dengan peradaban patriarki. Pada masyarakat seperti ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan.<br /><br />Menurutnya pula, ayat al-Qur'an yang menempatkan perempuan pada posisi itu dalam masyarakat demikian adalah tepat dan maslahat. Bahkan penyebutan perempuan oleh Tuhan dalam ayat suci merupakan kemajuan luar biasa, jika dibandingkan dengan bagaimana orang-orang Arab pra-Islam memperlakukan kaum perempuan. Perempuan dalam pandangan masyarakat jahili sama sekali tidak mempunyai hak untuk disebut-sebut. Mereka sama sekali dianggap tidak berharga. Ini dengan jelas dinyatakan Umar bin al-Khattab: "Kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan kaum perempuan. Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami baru tahu bahwa mereka memiliki hak atas kami."<br /><br />Adalah watak al-Qur'an bahwa ia memutuskan segala sesuatunya berdasarkan langkah-langkah tertentu yang strategis dan ini hanya bisa dilakukan secara gradual. Karena itu, akan menjadi kesalahan besar apabila kita selalu ingin memposisikan perempuan dalam setting budaya seperti itu ke dalam setting sosial dan budaya modern seperti sekarang ini. Hal ini juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Artinya, perempuan dalam masyarakat modern tidak selalu dapat diberikan legitimasi hukum sebagaimana yang diberikan kepada masyarakat masa lalu itu. Yang menjadi tuntutan al-Qur'an adalah kemaslahatan dan keadilan. Kemaslahatan dan keadilan adalah apabila kita mampu memposisikan sesuatu secara proporsional dan kontekstual. Jadi, menurut kang Husein, QS al-Nisa ayat 34 itu tidak lain merupakan bentuk atau petunjuk mengenai penerapan kemaslahatan pada situasi dan kondisi riil yang terjadi saat ayat itu diturunkan.<br /><br />Kenyataan sosial dewasa ini, sekali lagi, memperlihatkan bahwa pandangan mengenai kehebatan laki-laki dan kelemahan perempuan dari sisi intelektualitas dan profesi tengah digugat dan diruntuhkan, meskipun tangan-tangan hegemonik laki-laki masih berusaha -- melalui kesadaran atau tidak -- untuk mempertahankan superioritas dirinya. Kehebatan intelektual dan profesi adalah dua hal yang menjadi syarat sebuah kepemimpinan dalam berbagai wilayahnya, domestik maupun publik. Dengan syarat seperti ini, terbuka kesempatan yang luas bagi perempuan untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan publik, termasuk menjadi presiden.<br /><br />Kang Husein juga berpendapat, argumen yang kedua bagi mereka yang tidak menghendaki jabatan publik dipegang perempuan adalah Hadis Rasulullah Saw: "Tidak akan pernah beruntung bangsa yang diperintah perempuan." (HR al-Bukhari). Menurutnya, Ibn Hajar mengatakan, Hadis ini melengkapi kisah Kisra yang telah merobek-robek surat Nabi Saw. Suatu saat ia dibunuh oleh anak laki-lakinya. Anak ini kemudian juga membunuh saudara-saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran bint Syiruyah bin Kisra. Tidak lama kemudian kekuasaannya hancur berantakan, sebagaimana doa Nabi Saw.<br /><br />Hadis ini, tegasnya, jelas diungkapkan dalam kerangka pemberitahuan, sebuah informasi yang disampaikan Nabi Saw semata dan bukan dalam kerangka legitimasi hukum. Tegasnya, Hadis dari Abu Bakrah ini tidak memiliki relevansi hukum. Menurutnya juga, makna Hadis ini sama sekali tidak dapat dipertahankan jika dihadapkan pada fakta-fakta sejarah yang ada. Sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, kita mengenal Ratu Bilqis, penguasa negeri Saba', seperti diceritakan al-Qur'an. Kepemimpinannya dikenal sukses gemilang dan negaranya aman sentosa. Kesuksesan ini antara lain karena Bilqis mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangannya yang demokratis.<br /><br />Indira Gandi, Margaret Tatcher, Srimavo Bandaranaeke, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, menurut Kang Husein, adalah beberapa contoh saja dari pemimpin bangsa di masa modern yang relatif sukses. Sebaliknya, terdapat sejumlah besar kepala negara/pemerintahan berjenis kelamin laki-laki yang gagal memimpin bangsanya. Kesuksesan atau kegagalan dalam memimpin suatu bangsa, dengan demikian, tidak ada kaitan sama sekali dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang diterapkan dan kemampuannya memimpin. <br /><br />Jika demikian, maka Hadis itu harus dipahami dari sisi esensinya dan tidak bisa digeneralisasi untuk semua kasus, tetapi lebih bersifat spesifik untuk kasus bangsa Persia pada saat itu yang kepemimpinannya boleh jadi bersifat sentralistik, tiranik, dan otokratik. Hal paling esensial dalam kepemimpinan adalah kemampuan dan intelektualitas; dua hal yang pada saat ini dapat dimiliki oleh siapa saja, laki-laki maupun perempuan.<br /><br />Jadi sekali lagi, tegasnya, tidak ada persoalan apakah seorang presiden harus laki-laki atau perempuan. Perempuan dapat menjadi presiden jika kemaslahatan bangsa menghendakinya. Sebaliknya, seorang laki-laki tidak layak menjadi presiden, apabila ia dapat membawa kesengsaraan dan penderitaan rakyatnya. Wa Allah a'lam.[]Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-24476817309573645312007-12-26T22:27:00.000-08:002007-12-26T22:39:03.903-08:00Irfan Amalee: Ngomong Terus, Pendengar NgantukSantri bikin film dinilai tabu. Padahal film bisa dipakai sebagai media dakwah. Bahkan menurut film maker Biru Darahku, Irfan Amalee, kini seorang dai harus bisa bikin film. "Kalau ngomong terus nanti mustami'-nya ngantuk. Kalau diajak nonton film kan seger," ujar pria kelahiran Bandung, 28 Februari 1977, yang kini menjabat General Manager Pelangi Mizan ini. <br /><br />Alumni Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut dan Jurusan Tafsir-Hadis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ini menyatakan, pesantren kaya nilai yang bisa disampaikan melalui film. Di tengah gencarnya film komersil yang tanpa nilai dan tuntutan, film karya santri bak emas di tengah timbunan lumpur. <br /><br />Demikian petikan wawancara Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah (2000-2002) dan Pemimpin Redaksi Majalah Pesantren PESAN TReND (1993-1995), itu kepada Nurul Huda Maarif dari the WAHID Institute: <br /><br />Apa intisari film Biru Darahku karya Anda?<br />Film ini bercerita tentang Fahri, santri Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut, yang gila bola, fans berat Persib Bandung. Karena di Garut, setiap Persib bertanding di Bandung, ia kesulitan nonton. Ia pun berniat keluar dari pesantren dan sekolah di Bandung. Tapi orang tuanya ingin ia tetap mesantren. Ayahnya membujuk agar ia tetap nyantri, dengan memberi garansi: setiap Persib bertanding, ayahnya akan mengirim sopir untuk menjemput dan mengantarnya ke stadion. Maka selama bertahun-tahun, ayah dan anak ini bersekongkol menjalankan misi rahasia ini tanpa diketahui pihak pesantren. <br /> <br />Film ini pernah dilombakan? <br />Film ini diikutsertakan dalam festival KONFIDEN, festival tahunan film independen di Indonesia. Festival ini jadi barometer perkembangan film independen Indonesia. Saya sangat puas film ini terseleksi. Meski tidak juara, setidaknya film ini menjadi satu diantara sedikit film yang layak diputar di festival itu. Film ini juga diputar di Sling Short Film Festival yang skalanya Asia Tenggara. <br /> <br />Pesan apa yang ingin Anda sampaikan melalui film ini?<br />Pesantren dan bola adalah tema yang seksi; global versus lokal. Saya mau memperlihatkan potret masyarakat muslim, diwakili komunitas pesantren, yang banyak disalahfahami sebagai komunitas yang tidak konek pada isu global. Padahal di sana kita akan melihat pertemuan arus budaya global dengan tradisi lokal. Ini sisi lain pesantren. <br /> <br />Bagaimana respon masyarakat?<br />Nggak nyangka, dalam waktu singkat vcdnya menyebar dari tangan ke tangan. Saya kaget mendengar kabar anak-anak SMU di Garut banyak yang telah menonton film ini. Bahkan saya diundang oleh sebuah komunitas video Kudeta di Bandung untuk pemutaran film ini. Film ini juga diputar di acara launching Tim Persib di Pendopo Kota Bandung, disaksikan semua pemain Persib dan official. Tapi ada juga respon yang kurang mengenakkan. Fahri bercerita, ada seorang ustadz yang keki padanya, karena Fahri telah melakukan "kebohongan" secara kontinyu. Setiap ke Bandung, ia selalu beralasan ada acara keluarga. Setelah film ini diputar di hadapan 700 santri dan dewan ustadz, mereka baru tahu jika selama ini Fahri izin untuk nonton Persib. Ha..ha..<br /> <br />Bisa diceritakan proses kreatif di balik pembuatan film ini? <br />Awalnya saya mengajar Sosiologi di pesantren. Di akhir semester saya meminta mereka membuat diary yang menceritakan diri mereka. Saya menemukan diary Fahri yang unik. Isinya bercerita tentang Persib. Dia bercita-cita jadi dokter, tapi dokter Persib. Atau jadi jurnalis, agar bisa meliput Persib. Pokoknya serba Persib. Sepertinya Persib menjadi agenda terpenting dalam hidupnya. Menurut saya, ini sangat layak untuk diangkat jadi film. Dari sana saya menulis skenario, mengambil gambar dan edit hingga jadi. Bersama Fahri dan teman-teman, kami juga memproduksi cd, pin, dan t-shirt Biru Darahku. Semua laris manis. Oh ya, Fahri kebetulan punya grup band, Zink, alirannya British punk. Mereka membuat soundtrack lagu khusus untuk film ini. Pokoknya digarap seperti film beneran!<br /><br />Peralatan apa saja yang Anda gunakan dalam pembuatan film ini? <br />Saya menggunakan kamera yang lumayan high end, pakai HDV. Waktu itu, kamera ini termasuk yang mahal dan masih jarang dipakai. Kamera ini milik organisasi. Saya diberi izin menggunakannya. Saya juga menggunakan komputer pribadi. Rekaman suara dilakukan di studio sewaan. Saya juga pakai handy cam pribadi untuk back up.<br /> <br />Selain Biru Darahku, apalagi film karya Anda? <br />Lebih lima film. Ada film animasi Anak Siaga Bencana dan Jambu Batu Merah. Juga Cepat Pulang Kucingku Sayang, yang diangkat dari kisah nyata putri saya yang kucingnya dibuang ayahnya, yaitu saya. Film ini pernah diputar di STV, tivi lokal, dan banyak yang memberi respon positif. Tapi yang menurut saya paling laku di pasaran adalah Danau Bandung, film dokumenter tentang Danau Purba yang sekarang jadi Kota Bandung. Film ini menjadi juara ke-3 Festival Film Dokumenter Bandung 2005. Dari film ini saya mulai banyak "difitnah" sebagai film maker. <br /><br />Kenapa Anda menggunakan media film?<br />Saya lebih senang menyebut diri media maker; nulis buku, bikin desain, bikin film, ngomong di training atau seminar. Film cuma salah satu media yang saya pilih. Saya beruntung hidup di masa ketika kita mudah menggunakan teknologi. Kita bisa membuat apapun ASAL KITA MAU BELAJAR. Modal saya cuma suka nonton film, terus belajar adobe premiere editing film, dan beli handy cam. Dengan begitu saya sudah bisa menjadi film maker. Hidup ini terlalu sayang untuk tidak didokumentasikan. <br /> <br />Bagaimana sih awal mula ketertarikan dan keterlibatan Anda membikin film? <br />Setiap nonton film, saya suka berfikir: bagaimana yah cara bikin film? Saya pengagum Garin Nugroho, Riri Riza dan Majid Majidi. Setiap nonton film mereka, saya selalu pelajari gambar-gambar yang mereka ambil. Saya sendiri keturunan guru SD. Tapi kakek dari ibu seorang seniman. Mungkin dari beliau saya mewarisi darah seni.<br /> <br />Anda punya komunitas yang bergerak di bidang per-film-an? <br />Saya kerja personal sama teman-teman yang aktiv di organisasi. Tapi kemudian karya-karya itu memperkenalkan saya pada sejumlah komunitas. Banyak komunitas film yang mengundang, sehingga saya kenal mereka. <br /> <br />Saat ini film apa yang sedang Anda rancang?<br />Saya sedang menggarap film 2 Days without Wall, film dokumenter tentang anak-anak bule di sekolah international di Bandung, yang berkunjung ke pesantren di Garut untuk bertanding basket. Anak-anak bule itu punya stereotype tentang pesantren: teroris, kumuh, dan terbelakang. Sampai-sampai orang tua dan beberapa guru mereka tidak mengizinkan mereka ke pesentren. Terlalu berbahaya kata mereka. Demikian juga anak-anak pesantren punya stereotype tentang orang Barat: sombong, suka menjajah, bebas, dan sebagainya. Nah, film ini memperlihatkan bagaimana ketika mereka bertemu, sedikit demi sedikit prejudice mereka luntur. Saya sendiri tetap konsisten membuat film tentang pendidikan, multikultur, dan perdamaian. <br /> <br />Ada beberapa santri yang berhasil membuat film dengan fasilitas seadanya. Apa komentar Anda? <br />Saat ini membuat film bukan monopoli profesional. Semua orang bisa menjadi film maker. Dan bikin film bukan masalah profit atau popularitas, tapi masalah mendokumentasikan hidup yang sangat berharga. Jadi kita harus mendukung mereka. <br /><br />Tidak tabu bagi mereka bergerak di bidang ini? <br />Kesan itu ada. Waktu saya mulai terlibat dalam dunia film, banyak yang aneh. Nggak biasa. Tapi setelah mereka melihat hasilnya, mereka tahu bahwa film itu nggak melulu seperti film di bioskop atau sinetron. Film bisa juga jadi media dakwah. Bahkan menurut saya, sekarang seorang dai harus bisa bikin film. Kalau ngomong terus nanti mustami' (pendengar, red.)-nya ngantuk. Kalau diajak nonton film kan seger. Orang pesantren punya nilai dan konten yang bisa disampaikan melalui film. Kalau kita nggak setuju dengan film-film yang nggak punya nilai, ya kita sebagai santri harus bikin dong yang bernilai. Jangan cuma kritik. Action dong! <br /> <br />Di salah satu tv swasta ada senetron Rubiah dan Santriwati Gaul. Apa komentar Anda?<br />Wah sori, saya bukan penonton tv yang baik. Belum pernah menonton sinetron ini. Menurut saya, acara tv itu kan perlu rating untuk dapat iklan. Untuk itu, acaranya harus mengikuti selera publik. Sialnya, selera publik kadang-kadang nggak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, konon sinetron Si Entong laku karena anak-anak suka banget sama Si Entong yang suka kentut. Banyak anak menganggap kentut di depan publik itu oke-oke saja karena Si Entong mengajarkan begitu. Menurut saya sinetron yang bagus cuma sedikit, diantaranya karya Dedi Mizwar (Lorong Waktu, PPT, dan KSD) dan Dedi Setiadi (Keluarga Cemara). <br /> <br />Apa harapan Anda ke depan?<br />Semoga semakin banyak film maker yang mengangkat isu lokal dan multikultur. Kita kaya akan hal itu. Biarkan sinetron dan film bioskop ngangkat tema komersil. Itu garapan mereka. Kita harus menggarap tema yang nggak mungkin tampil di bioskop, tapi penting untuk disampaikan pada masyarakat.[]<br /> <br />Biodata :<br />Nama : <br />Irfan Amalee<br /><br />TTL : <br />Bandung, 28 Februari 1977<br /><br />Alamat : <br />Komplek Margawangi bandung<br /><br />Status : <br />Menikah, 2 orang anak <br /><br />Pendidikan : <br />1. 1983-1989 SD Kresna II Bandung<br />2. 1990-1996 Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut<br />3. 1996-2000 IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Fak. Ushuludin Jurusan Tafsir & Hadis <br /><br />Pekerjaan : <br />General Manager Pelangi Mizan <br /><br />Karya tulis : <br />1. Ensiklopedi Bocah Muslim DAR! Mizan, 2003 (Editor kepala)<br />2. Islam for Kids, DAR! Mizan, 2003 (Penulis)<br />3. Nabiku Idolaku DAR! Mizan, 2002 (Editor)<br />4. Tafsir Al-Quran untuk Anak DAR! Mizan, 2001 (Editor)<br />5. Fun Diary Olin (Penulis)<br />6. 12 Nilai Dasar Perdamaian untuk guru dan siswa (penulis)\<br />7. Boleh Dong Salah DAR! Mizan 2005 (penulis) <br /><br />Karya Film : <br />1. Danau Bandung (film dokumenter terbaik festival film Bandung 2005) <br />2. Cepat Pulang Kucingku Sayang (STV 2006) <br />3. Film Animasi Anak Siaga Bencana <br />4. Biru Darahku (2006) <br />5. Jambu Batu Merah <br />6. dll <br /><br />Pengalaman Organisasi<br />1. Ketua Bidang Hikmah dan Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Remaja Muhammadiyah. (2000-2002)<br />2. Dewan Redaksi Majalah RETAS (2000-2002)<br />3. Pemimpin Redaksi koran kampus SUAKA IAIN Bandung (1998-1999)<br />4. Pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Pesantren PESAN TReND (1993-1995)<br />5. 1998 Reporter of FOKUS tabloid Bandung<br />6. 1999 Chairman of publishing departement at SOPHIA Foundation, Bandung.<br />7. 1998-1999 Executive member of Alternative Literary Forum Bandung.<br />8. 2003-pres Director PEACEntre, Bandung. <br /><br />*Suplemen the WAHID Institute di Majalah TEMPO, 31 Desember 2007Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-63535542502027248122007-12-18T20:10:00.000-08:002007-12-18T20:18:46.599-08:00KH Maman Imanul Haq Faqih: Ibadah Ritual Tak Cukup Membangkitkan KemanusiaanOleh Nurul H. Maarif<br /><br />Pengasuh Ponpes al-Mizan, Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, KH Maman Imanul Haq Faqih tak canggung untuk mendakwahkan gagasan keberagamaan melalui kesenian. <br /><br />�Padahal ada pesantren yang memusuhi kesenian. Katanya seniman itu setan, sedangkan pesantren itu surga,� tutur Kang Maman, panggilan akrab kiai berusia 34 tahun ini. <br /><br />Sebab itu, di pesantren yang didirikannya pada 1998 itu, selain mengajarkan kitab kuning dan tradisi khas pesantren lainnya, ia juga mengembangkan berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun modern. Kepada 700-an santrinya, misalnya, ia mengajarkan tari kontemporer, musik, gamelan shalawat bahkan debus. <br /><br />�Kekerasan hanya cukup kita jadikan tontonan menghibur dan sebagai ibrah (teladan, red.) moral, seperti pertunjukan debus itu. Tidak ada korban. Tidak ada yang disakiti,� ujarnya mengomentari kesenian debus. <br /><br />�Ini membuat kita berfikir supaya tidak melakukan kekerasan yang sebenarnya pada orang lain,� imbuhnya. <br /><br />Melalui pertunjukan seni, kata Kang Maman, dirinya dan para santri ingin melakukan kritik terhadap ibadah ritual banyak kaum muslim di negeri ini. Menurutnya, ibadah ritual seolah tidak cukup untuk membangkitkan rasa kemanusiaan. <br /><br />�Kalau tadi dipertontonkan pecahan beling atau kaca yang dibasuhkan ke muka, itu sebagai peringatan. Bangsa kita kalau wudhu sudah tidak cukup dengan air, tapi harus dengan beling atau kaca, karena hari ini air sudah tidak bisa masuk ke pori-pori ruhani kita. Banyak orang yang ber wudhu , tapi tidak punya rasa malu. Banyak orang yang ber wudhu , tapi wajahnya masih terlihat kelam dan karatan. Mari kita ber wudhu untuk membersihkan muka-muka kemanusiaan kita, menguatkan tangan-tangan kemanusiaan kita, dan itu semua demi kita,� ajaknya. <br /><br />Bahkan kiai muda kelahiran Sumedang, 8 Desember 1972 ini menyatakan, pesantren harus mampu mempertemukan tradisi keilmuan dan transformasi budaya. Kalau bisa, imbuhnya, pesantren harus menyusun strategi kebudayaan. <br /><br />�Ini sebagai ikhtiar menerobos ide-ide untuk mempertemukan sejumlah pemikiran yang emansipatif, eskploratif, dan membumikan nilai keberagamaan dalam konteks kemanusiaan,� katanya suatu ketika dalam acara Halaqoh Budaya Pesantren dan Seni Tradisi: antara Relasi dan Hegemoni , di Cipasung Tasikmalaya Jawa Barat. <br /><br />Tentang group gamelan shalawatnya yang dinamai Qi Buyut misalnya, alumni Ponpes Bantar Gedang, Tasikmalaya, Jawa Barat, Ponpes Raudlotul Mubtadi�in Pekalongan Jawa Tengah, dan Ponpes Ar-Raudloh Tambak Beras Jombang Jawa Timur ini mengungkapkan, nama itu diambilnya dari kosa kata Arab. <br /><br />�Qi Buyut itu dari bahasa Arab. Qi terambil dari kata waqa yaqi yang artinya jaga. Dan buyut artinya rumah. Jadi maksudnya, jagalah rumah hati, rumah kemanusiaan, rumah agama dan sebagainya,� katanya. �Qi Buyut ini personilnya adalah santri seniman,� tambahnya. <br /><br />Yang menarik, melalui seni ini, ia mampu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Penghayat Kepercayaan, Jemaah Ahmadiyah dan sebagainya, tanpa ada sekat apapun. Ini tak lain karena seni atau budaya mampu melembutkan kekakuan sikap dan menampilkan penghargaan terhadap perbedaan.[]<br /><br />*Suplemen WI di Majalah GatraNurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-62407203603399672852007-12-03T23:53:00.000-08:002007-12-04T00:06:02.847-08:00Mariana Amiruddin: Tobat dari Ideologi Negara IslamOleh Nurul H. Maarif <br /><br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/rul.jpg" align="left" hspace="10" alt="Nurul" />"Saya pernah 9 tahun di bawah Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX (NII KW IX), yang meliputi Bekasi dan Banten." <br /><br />Sepenggal kalimat di atas meluncur dari bibir Mariana Amiruddin, perempuan mantan aktivis Darul Islam (DI)/Negara Islam Indonesia (NII), yang bertobat dan telah kembali ke jalur kebenaran. Bahkan kini ia menjadi aktivis Jurnal Perempuan, dengan segala kebebasannya.<br /><br />Awalnya, militansi keislaman Mariana muncul lantaran ketidaksukaannya pada pergaulan anak-anak muda di lingkungannya. "Waktu masih SMA, saya betul-betul tidak mengerti kenapa banyak anak muda yang lebih memilih kegiatan duniawi, gank, dan sebagainya," katanya. "Salahnya di mana? Sistem pendidikannya?" imbuhnya bertanya.<br /><br />Tanpa pikir panjang, Mariana lantas memutuskan bergabung dengan organisasi intra sekolah Rohis (Rohani Islam). "Saya berfikir, kayaknya di sana ada jalur radikal untuk merubah anak-anak muda itu, sehingga saya perlu bergabung di sana," ujarnya yang waktu itu sangat fanatik mengenakan jilbab lebar a la akhwat. <br /><br />Di sela-sela kesibukannya sebagai aktifis Rohis, Mariana masih menyempatkan diri ikut lomba menulis yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). "Saya Juara I. Bisa ketemu Pak BJ Habibie, dikasih jam, dan hadiah lainnya," katanya bangga.<br /><br />"Saat itulah seseorang mengintai saya. Dia bukan dari ICMI, tapi nongkrong di ICMI," katanya. "Dia ngajak ngobrol. Bilang saya pinter dan sebagainya. Akhirnya, orang inilah yang menarik saya menjadi bagian dari Darul Islam atau NII KW IX," sambungnya mengenang. <br /><br />Diakuinya, dirinya tertarik bergabung lantaran di Rohis ia tidak menemukan apa yang selama ini dicarinya. "Oleh orang itu, saya diajari tentang sistem negara Islam dengan merujuk al-Qur'an. Hebatnya, dia mampu membuat nalar saya yang penuh mitos menjadi sangat realistis," ujarnya sambil menyebut orang yang dimaksudnya sebagai Abu Ridho.<br /><br />Mariana-pun mulai aktif sebagai bagian dari gerakan bawah tanah itu. Hari-harinya diisi dengan melanglang buana ke seluruh pelosok Jakarta, untuk merekrut jemaah baru sebanyak-banyaknya. Uang dikumpulkannya dengan berbagai cara. Tujuannya satu: melakukan futuh atau revolusi dengan mendirikan Negara Islam Indonesia. <br /><br />"Namun sebetulnya bukan revolusi Islam yang saya lakukan waktu itu, tapi menggali kuburan untuk Islam itu sendiri," ujarnya setelah menyadari kekeliruannya.<br /><br />Di atas semuanya, Mariana menyatakan dengan jujur, dirinya bangga memiliki pengalaman sebagai bagian dari kelompok garis keras pimpinan AS Panji Gumilang alias Abu Toto itu. <br /><br />"Saya tidak menyesal. Saya bisa memetik pelajaran dari militansi, strategi, cara berpolitik, dan sebagainya. Juga ada keberanian dan kemandirian," ujar alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Jayabaya ini. <br /><br />Dikisahkannya, dirinya dulu tanpa rasa takut sedikitpun berani pulang jam 4 pagi dengan jalan kaki 10 km, dari Pulo Gadung Jakarta Timur sampai Pramuka Matraman, di saat-saat ia masih getol mencari "korban". "Militansi ini luar biasa. Itulah perjalanan spiritual yang membuat saya bisa bercerita seperti ini," imbuhnya.<br /><br />"Semoga ini tidak dialami kawan-kawan yang lain," katanya buru-buru berpesan.<br /><br />Diceritakan Mariana, awal mula keinsafannya dilatari bukti-bukti banyaknya ajaran NII yang sulit diterima nalarnya. "Soal sedekah yang mencekik, tak perlu shalat, ngaji, janji-janji futuh (revolusi, red.) yang tak kunjung hadir, perempuan juga terdiskriminasi. Semua ini menjadi titik tolak pemberontakan saya," akunya lugas. <br /><br />Menurut Mariana, kelompok NII juga memiliki cara pandang hitam putih; siapapun yang di luar kelompoknya adalah kafir dan darahnya halal alias harus diperangi. "Gerakan-gerakan semacam ini sangat inkonstitusional dan akan selalu tidak sepakat dengan apa yang disebut sebagai demokrasi," ujarnya.<br /><br />Selain itu, imbuhnya, apa yang terjadi di lingkungan NII sangat militeristik. Dicontohkannya soal 9 point dalam bai'at kelompok itu. "Gerakan ini sangat fasis, seperti NAZI. Orang digerakkan seperti mesin, dibikin multy level marketting (MLM) atau sel, supaya antar individu tidak saling mengenal," katanya geram.<br /><br />Karenanya, master Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia ini punya kekuatiran, suatu saat kelompok bawah tanah ini dapat menggulingkan pemerintah Indonesia yang sah. "Saya kuatir mereka berhasil. Karena sudah mulai masuk ke wilayah politik melalui beberapa partai. Mereka juga dekat dengan Malaysia, yang konon ada latihan militer di sana," kuatirnya.<br /><br />Mariana, karenanya, sangat berharap pada dua organisasi massa terbesar di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, untuk terus mengawal Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). <br /><br />"Itu tantangan berat bagi NU dan Muhammadiyah. Karena sekarang gerakan-gerakan fundamentalisme keagamaan sudah dianggap hal yang wajar. Sedangkan pemerintah takut menindak mereka," kata Fatimah Azzahra, nama bai'at Mariana sewaktu di NII.[] <br /><br />*Warta the WAHID Institute, Edisi IV/Deseember 2007.Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-36051631254273648912007-11-26T02:09:00.000-08:002007-11-26T02:17:15.314-08:00Ketulusan di Balik BencanaOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.wahidinstitute.org/pictures/200704/2007-04-27-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="Urul" />Melewati jalan berlubang, retak-retak dan naik turun, rombongan itu akhirnya tiba di Kabupaten Mukomuko, Propinsi Bengkulu tepat pukul setengah sepuluh malam, Selasa (18/9). Walau seminggu berlalu, namun belum banyak bantuan untuk penduduk daerah terparah yang diguncang gempa berkekuatan 7,9 SR itu. <br /><br />Rombongan yang dipimpin Avianto Muhtadi itu ternyata dari Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) PBNU. Bersamanya, turut serta sejumlah relawan NU, GP Ansor, IPNU, IPPNU, Banser, dan tim dokter. Mereka datang untuk menyalurkan bantuan bagi para korban gempa. Terpal, beras, mie instant, air mineral, susu bayi, pembalut wanita, pengobatan gratis, dan banyak lagi, mereka berikan. <br /><br />Komitmen kemanusiaan NU pada korban bencana alam diwujudkan dengan merancang program CBDRM pada 2006. "Lembaga ini bermula dari inisiatif Lembaga Penanganan Kesehatan NU (LPKNU) yang ingin mengurangi resiko bencana," ujar Program Manager CBDRM PBNU Avianto Muhtadi kepada Nurun Nisa dari the WAHID Institute.<br /><br />Awalnya, tutur Avianto, diadakan seminar perihal CBDRM pada 2005. Kiai dari 18 pengurus NU propinsi, 18 satkorlak, dan 18 ponpes se-Indonesia, diundang sebagai peserta. Saat itu muncul keinginan membentuk gerakan yang secara kelembagaan mengurusi bencana. "Usulan ini kemudian menjadi program satu tahun, 2006-2007, yang disponsori AusAid. Para pengusaha NU sendiri belum pernah (memberi dana melalui CBDRM, red.)," terangnya. <br /><br />Lembaga ini juga bekerja sama dengan the UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) badan PBB yang mengurus masalah kemanusiaan dan perusahaan-perusahaan yang peduli kemanusiaan. <br /><br />Program yang ditanganinya, memberi pelatihan manajemen pananggulangan bencana. Tiga pilot project dipilih, yaitu Ponpes Nurul Islam Jember, Ponpes Ash-Shiddiqiyyah Jakbar, dan Ponpes Darussalam Watucongol Magelang. "Dipilihnya tiga pilot project itu karena di Jember dan Jakarta rawan banjir. Di Magelang rawan letusan gunung Merapi. Mereka juga berbasis NU," ujarnya. <br /><br />Melalui program ini, pihaknya telah merekrut 1500 Santri dan Masyarakat Siaga Bencana (SMSB). Untuk 2008, katanya, direncanakan ada lima pilot project lagi. Dan pada 2009 akan merambah luar Jawa. "Kita akan melatih mitigasi atau penanggulangan bencana berupa pemetaan daerah, penanaman pohon, dan membuat tanggul secara berkelanjutan," ujarnya. <br /> <br />Avianto punya alasan sendiri kenapa program ini penting dibentuk. Menurutnya, NU itu organisasi besar, tapi belum sistematis mengurusi bencana. "Ini terlihat dari respon mereka ketika ada bencana," ungkapnya.<br /><br />Aviantopun diminta PBNU mengonsep CDBRM, untuk diajukan ke ajang muktamar yang akan datang supaya menjadi lembaga khusus. <br /><br />Muhammadiyyah juga memiliki tim khusus yang menangani korban bencana, yaitu Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Menurut Wakil Sekretaris MDMC, Husnan Nurjuman, embrio MDMC adalah Muktamar Muhammadiyah pada 2000. <br /><br />Waktu itu, ujarnya, bernama Badan Penanggulangan Bencana dan Masalah Kemanusiaan. Badan ini lantas disubkan di bawah pengurus Majelis Kesehatan dan Layanan Kesejahteraan Muhammadiyah. "Baru pada 2007, MDMC resmi berdiri mandiri membawahi urusan bencana dan kemanusiaan," terangnya.<br /><br />Melalui ribuan relawan, MDMC membantu korban di Aceh, Yogyakarya, Bengkulu, dan Jakarta. Dananya digalang dari masyarakat, termasuk LAZIS Muhammadiyah. Pun dari hasil kerja sama dengan Direct Relief International Santa Barbara, AusAID, dan UNICEF.<br /><br />Ketika terjadi gempa Bengkulu misalnya, MDMC menangani 1000 keluarga pengungsi. Dengan dukungan 7 dapur umum, setidaknya 2 ton beras dimasak setiap hari. Mereka juga disertai tim medis dari RSI Cempaka Putih Jakarta. <br /><br />Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pun memiliki program serupa. Namanya Humanity First Indonesia (HFI). Didirikan pada 2004, HFI menginduk pada HF di London Inggris yang berdiri pada 1994. "HF sifatnya antar benua dan telah ada di 20 negara," kata Ketua HFI Basyiruddin Pontoh, kepada M. Subhi Azhari dari the WAHID Institute (lihat: Wadah Khidmat untuk Kemanusiaan). <br /><br />Misi HFI memberantas kemiskinan, kebodohan, membantu di bidang kesehatan, dan membantu korban bencana alam. "Kalau ada bencana, HFI memberi pengobatan, dapur umum, membangun sarana prasarana, dan bantuan pasca bencana," ujarnya.<br /><br />Menggunakan jasa relawan, HFI turut membantu korban tsunami Aceh, Merapi, gempa Yogja dan Jateng, tsunami Pangandaran, banjir Jakarta, dan sebagainya. "Bantuan datang dari siapa saja. Kita tidak membatasi. Ada yang sifatnya rutin dan ada yang sifatnya insidentil," katanya.<br /><br />Selain ormas, ketika terjadi gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah misalnya, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendirikan Posko Gus Dur untuk Kemanusiaan. "Posko ini didirikan sebagai bentuk tanggungjawab dan kepedulian terhadap para korban gempa," kata Ahmad Suaedy yang terlibat mendirikan posko ini.<br /><br />Posko ini telah menyalurkan dana, tenda, tikar, genset, kasur, baju, masker, selimut, sarung, susu, sembako, mie instan, biskuit, air mineral, obat-obatan, perlengkapan shalat, kompor, pembalut wanita, peralatan mandi, dan sebagainya. <br />Posko yang juga beroperasi di Aceh dan Porong Sidoarjo, ini bahkan membangun 270 unit rumah transisi seluas 4x6 meter bagi para korban gempa Yogyakarta, yang diserahkan langsung oleh Gus Dur. "Sebanyak 100 unit di Kecamatan Piyungan, 90 unit di Kecamatan Wonokromo, dan 80 unit di Kecamatan Bambanglipuro," kata Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid.<br /><br />Posko ini juga menyumbangkan crusher (mesin penghancur puing). "Tidak hanya mesinnya, tapi juga dibarengi pelatihan. Puing-puing itu akan dicetak menjadi batako," jelas Yenny.<br /><br />Di Porong Sidoarjo, 18 kiai mendirikan Posko Independen -- populer disebut Posko Kiai. "Banyak rakyat sengsara akibat Lumpur Lapindo. Semua rusak. Akhirnya kita fokus memberikan bantuan pada korban," ujar koordinator lapangan Posko, KH. Hasyim Ahmad.<br /><br />Menurut pengasuh Ponpes al-Islamiyah Kludan Sidoarjo ini, pendirian Posko memiliki tiga tujuan. Pertama, mencarikan bantuan makan. Kedua, membantu di bidang kesehatan, bekerja sama dengan RS Siti Hajar dan IDI. Ketiga, memberikan keamaan ruhani. "Kita sering kumpul untuk sharing masalah dan istighatsah," terangnya. <br /><br />Crisis Center Gereja Kristen Indonesia (CC-GKI) juga giat membantu korban bencana. Saat gempa Yogyakarta dan Jateng misalnya, pihaknya bekerja sama dengan Ponpes al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten, pimpinan KH. Muslim Imampuro. "Semua itu karena empati yang mendalam pada para korban," jelas Ketua CC GKI Pendeta Albertus Patty. <br /><br />Bantuan makanan, minuman, susu bayi, pakaian, selimut, obat-obatan, pelayanan kesehatan, pendirian rumah sederhana, peralatan sekolah, masker, perahu karet dan sebagainya, digalang secara swadaya dari umat Gereja Kristen Indonesia (GKI). <br /><br />Kendati berlatar Kristen, katanya, tuduhan kristenisasi relatif jarang dialaminya. Mungkin karena lembaganya melibatkan dokter dan suster muslim, bahkan kiai dan ustadz sebagai pelayan spiritual para korban. <br /><br />Namun diakuinya, di lapangan ada saja masalah kecil. Saat membantu korban gempa di Sragen, bendera Tim GKI diturunkan kelompok Islam radikal. "Setelah mereka pergi, masyarakat korban sendiri yang memasang bendera itu. Ternyata para korban tidak mempermasalahkan," terangnya. <br /><br />Di Katolik ada Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia. Diantara programnya membantu korban bencana alam, yang telah dilakoni sejak 2002. Saat tsunami Aceh misalnya, PADMA Indonesia bekerja sama dengan Forum Kepedulian untuk Aceh (Forka) turut membangun mushalla dan asrama pesantren. "Ada dua pesantren putera dan puteri yang kita bangun di Aceh," ujar aktivis PADMA Indonesia Theo Tulasi. <br /><br />Isu kristenisasi tak luput menerpa. Di Aceh, ujar Theo, pihaknya diusir dari posko oleh kelompok radikal. Operasipun terhenti sepekan. Diakuinya, PADMA Indonesia memang Katolik, tapi setiap tugasnya tidak mengatasnamakan agama. "Saya tegaskan, PADMA Indonesia tidak bermaksud mengkristenkan orang. Ini kemanusiaan," terangnya. <br /><br />Tanpa memandang sekat-sekat agama, Romo Sandyawan Sumardi selalu hadir dalam tiap bencana, membantu para korban yang tidak berdaya. <br /><br />"Di Aceh, saya mencarikan ratusan al-Qur�an," kata Romo Sandy (baca: Kemanusiaan, Refleksi Iman yang Sesungguhnya). <br /><br />Bencana yang terjadi beruntun di negeri ini, tampaknya menggugah kelompok-kelompok agama untuk lebih fokus pada urusan kemanusiaan.[] <br /><br />*Pencarian data dibantu oleh Nurun Nisa dan M. Subhi Azhari.<br />**Suplemen the WAHID Institute XIV di Majalah TEMPO, Senin, 26 November 2007.Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-1156318669050420522006-08-23T00:35:00.000-07:002007-11-22T02:55:55.625-08:00AL-QUR'N AL-KARIM WA TAFSIRUH (al-Qur'an dan Tafsirnya Depag RI)Oleh Nurul Huda Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/rul.jpg" align="left" hspace="10" alt="Nurul" />I. MUKADDIMAH<br />Pemerintah yang baik, adalah pemerintah yang memahami kebutuhan masyarakatnya. Mereka lapar, pemerintah paham untuk menyediakan bahan makanan. Mereka bodoh, pemerintah paham untuk menyediakan pendidikan. Mereka sakit, pemerintah paham untuk menyediakan pengobatan. Termasuk ketika mereka membutuhkan ‘alat’ praktis pentafsir al-Qur’an (baca: kitab tafsir) dengan bahasa lokal Indonesia, pemerintah juga paham untuk menyediakannya. Itulah ‘sosok’ ideal pemerintah, yang mencerminkan kaidah fikih sayyid al-qaum khadimuhum. <br />Dalam kontek penyediaan ‘alat’ praktis pentafsir al-Qur’an itu, pemerintah Indonesia, zaman Orde Baru, paham untuk menyediakan kitab tafsir yang akan membantu masyarakat muslim Indonesia untuk memahami kitab sucinya. Untuk itu, pada tahun 1965 diterbitkanlah al-Qur’an dan Terjemahnya yang proses pembuatan dan penerbitannya difasilitasi pemerintah melalui Departemen Agama Republik Indonesia. Kemudian tahun 1972, masih melalui tangan Departemen Agama Republik Indonesia, pemerintah membentuk Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang berhasil menyusun al-Qur’an al-Karim wa Tafsiruhu atau al-Qur’an dan Tafsirnya. <br />Kedua upaya riil itu tentu sangat baik sebagai bagian dari program mencerdaskan bangsa. Hanya saja, dengan catatan, melalui dua karya itu pemerintah tidak lantas mendikte masyarakat muslim untuk menjadi hambanya. Setidaknya asumsi dan kekuatiran inilah yang selalu menyertai keberadaan dua karya di atas. Karya yang oleh banyak orang dinilai sebagai alat pemerintah Orde Baru untuk mendikte kelompok-kelompok muslim di negeri ini. ‘Ala kulli hal, yang pasti, upaya pemerintah itu tidak bisa dinilai sebagai tidak berguna sama sekali. <br />Untuk itulah, makalah sangat sederhana ini berupaya memotret sejauh mana kemanfaatan, kelebihan, kekurangan, termasuk situasi ekonomi-politik Orde Baru yang melingkupi pembuatan kedua karya itu, terutama al-Qur’an dan Tafsirnya. <br /><br />II. IDENTIFIKASI FISIK<br /> a. Judul<br />Karya tafsir berbahasa Indonesia yang akan menjadi pembahasan ini berjudul lengkap al-Qur’an wa Tafsiruh yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi al-Qur’an dan Tafsirnya.<br />b. Penyusun<br />Karya tafsir ini disusun oleh tim yang disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an (edisi lama) dan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI (edisi yang disempurnakan). Kedua tim penyusun ini perlu dibedakan, karena keduanya memiliki tugas berbeda. Tim pertama memang bertugas untuk menulis, sedang tim kedua (hanya) bertugas menyempurnakan hasil tulisan tim pertama. <br /> c. Jilid<br />Baik yang edisi lama maupun edisi yang disempurnakan, seluruhnya terdiri 10 jilid dengan perincian setiap jilidnya terdiri 3 juz. <br />d. Pencetakan <br />Pencetakan pertama al-Qur’an dan Tafsirnya dilakukan pada 1975 berupa jilid I yang memuat juz 1 hingga juz 3. Setiap jilid tak kurang dari 450 halaman. Kemudian menyusul pencetakan jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya. Pencetakan secara lengkap, 30 juz, baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana. Sementara pencetakan edisi yang disempurnakan dilakukan oleh Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI; dan para pengusaha penerbitan mushaf al-Qur’an di Indonesia. <br />Untuk saat ini, setelah diterbitkannya KMA No. 280 Tahun 2003 baru selesai dicetak 4 jilid yang setiap jilidnya berisi 3 juz. Ini sesuai target yang setiap tahun hanya akan menyempurnakan 6 juz. Dan pada saatnya nanti akan dicetak utuh pada 2007 sembari menunggu koreksian dan masukan dari masyarakat. Perinciannya sebagai berikut: tahun 2004 telah selesai dicetak 2 jilid (juz 1-6) dan tahun 2005 telah selesai dicetak 2 jilid selanjutnya (juz 7-12). <br />e. Penerbitan dan Pembiayaan<br />Untuk penerbitan perdana, sengaja dicetak dalam jumlah yang sangat terbatas oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan guna memperoleh masukan yang lebih luas dari unsur masyarakat, antara lain, ulama dan pakar tafsir al-Qur’an, pakar Hadis, pakar sejarah, pakar Bahasa Arab, pakar IPTEK, dan pemerhati terjemah dan tafsir al-Qur’an.<br />Masukan dimaksud berupa koreksian dan tambahan penyempurnaan atas al-Qur’an dan Tafsirnya edisi 2004 ini sebelum dilakukan penerbitan secara massal oleh Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departeman Agama RI dan pengusaha penerbitan mushaf al-Qur’an di Indonesia. <br />f. ISBN dan lain-lain<br />Masing-masing jilid memiliki ISBN tersendiri. Dan jilid yang utuh ber-ISBN 979-3843-01-2. Untuk edisi yang disempurnakan, setiap jilid terdiri dari pedoman transliterasi Arab-Latin, daftar isi, sambutan Menag RI, sambutan Kepala Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag, sambutan Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Depag, kata pengantar Ketua Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag dan sebagainya. <br /><br /><br />III. LANDASAN FILOSOFIS PEMBUATAN<br /> Seperti ditulis oleh sekretaris Tim Penyempurnaan Tafsir Depag RI, M. Shohib Tahar dalam artikelnya Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, ide penulisan Tafsir Departemen Agama dilandasi oleh komitmen Depag untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di bidang Kitab Suci. Setelah berhasil menyusun al-Qur’an dan Terjemahnya yang dicetak pertama kali pada tahun 1965, Depag lalu menyusun al-Qur’an dan Tafsirnya dengan harapan dapat membantu umat Islam untuk lebih memahami kandungan Kitab Suci al-Qur’an secara mendalam. <br />Dengan demikian, penulisan tafsir ini merupakan kegiatan atau proyek lanjutan dari penyusunan al-Qur’an dan Terjemahnya. Karenanya, kegiatan penyusunan al-Qur’an dan Tafsirnya ini, secara politik merupakan salah satu proyek pemerintah Orde Baru , dalam pembangunan lima tahun (Pelita) yang dimulai sejak pertengahan Pelita Pertama dan baru selesai pada pertengahan Pelita Kedua. <br /> Menteri Agama RI M. Maftuh Basyuni, dalam sambutannya untuk penerbitan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI edisi yang disempurnakan 2004, juga menegaskan bahwa ide penulisan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kitab suci, dengan harapan akan dapat membantu umat Islam untuk memahami kandungan Kitab Suci al-Qur’an secara lebih mendalam. Dan komitmen pemerintah itu terlaksana pada masa Menteri Agama KH Ahmad Dahlan (1967-1973). <br /> Dikatakannya juga, kehadiran tafsir al-Qur’an sebagaimana terjemah al-Qur’an sangat penting bagi masyarakat Indonesia, karena al-Qur’an yang dalam bagasa aslinya berbahasa Arab, tidak mudah dimengerti oleh semua umat Islam di Indonesia. Padahal di sisi lain, sebagai Kitab Suci, al-Qur’an harus dapat dimengerti maksud dan kandungan isinya oleh umat Islam Indonesia agar dapat dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah, sejak semula Pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap terjemah al-Qur’an dan tafsir al-Qur’an dengan terus mengusahakan terjemah al-Qur’an maupun tafsir al-Qur’an yang diterbitkan melalui Depag RI. <br /> Diakui Menag M. Maftuh Basyuni, kendati kehadiran tafsir ini sangat membantu masyarakat muslim Indonesia untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat al-Qur’an, namun tetap disadari bahwa tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud sebenarnya ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini, menurutnya, disebabkan beberapa faktor. Dan faktor yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan penafsir selaku manusia untuk mengetahui secara persis maksud al-Qur’an sebagai kalamullah (firman Allah). <br /> Yang pasti, usaha apapun dan oleh siapapun, yang filosofi awalnya memang untuk membantu umat Islam di Indonesia untuk kian mendekatkan diri pada Kitab Sucinya, lebih menghayati untuk mengamalkannya, maka usaha itu sangat mulia dan patut diberi apresiasi tinggi, terlepas dari kekurangan yang ada. Sebab, kekurangan adalah bagian tak terpisahkan dari kemanusiaan pentafsir itu sendiri. Selain itu, usaha yang dirintis di tengah “ketidakpedulian” banyak pihak di negeri ini, juga menjadi point tersendiri yang tak boleh dilupakan. <br /><br />IV. SITUASI POLITIK<br />Menurut Howard M Federspiel, dalam Kajian al-Qur’an di Indonesia, al-Qur’an dan Tafsirnya ini secara riil disusun sebagai bagian dari program rezim Orde Baru. Secara politik, masa Orde Baru itu sendiri terbagi menjadi dua periode. Periode pertama yang berakhir 1974. Periode ini ditandai dengan, 1) pemerintah melakukan negosiasi kembali tentang utangnya ke negara-negara lain. 2), badan penasehat, yaitu suatu badan parlementer yang merumuskan tujuan jangka panjang bagi bangsa Indonesia menyusun kebijakan seterusnya yang mendukung pembangunan spiritual untuk mengimbangi pembangunan fisik dalam meningkatkan tarap ekonomi. Periode kedua, sejak tahun 1978 yang ditandai oleh stabilitas politik dan keberhasilan dalam bidang infrastruktur bagi sistem ekonomi yang maju.<br />Beberapa waktu kemudian, Mukti Ali, yang kemudian menjadi Menteri Agama RI, mengemukakan pandangan para aktivis muslim yang menyetujui kerjasama antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam dalam pembangunan nasional. Dalam bukunya yang berjudul Agama dan Pembangunan di Indonesia, Mukti Ali menyuarakan pentingnya para ulama berada di barisan depan dalam gerakan moral untuk mempromosikan nilai-nilai yang positif tentang pembangunan nasional. Pandangan tersebut merefleksikan posisi pemerintah atau peranan para guru agama dalam menunjang pembangunan. <br />Secara ringkas juga dapat dijelaskan, pembangunan bidang keagamaan yang telah mendorong kemajuan pada periode ini merangsang pemerintah untuk terlibat secara langsung dalam penerbitan buku-buku teks. Maka ditunjuklah sebuah badan yang menghasilkan dua karya. Pertama, al-Quran dan Terjemahnya. Para anggota tim yang mempersiapkan al-Qur’an dan Terjemahnya adalah T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Bustami A. Gani, Muchtar Yahya, Toha Jahya Omar, A. Mukti Ali, Kamal Muchtar, Gazali Thaib, A. Musaddad, Ali Maksum, dan Busjairi Majidi. Kedua, al-Quran dan Tafsirnya. Para anggota tim penterjemah itulah yang mempersiapkan penyusunan al-Quran dan Tafsirnya. <br />Namun demikian, ada dugaan lain bahwa di balik “kebaikan” Orde Baru yang seakan mengerti kemauan umat Islam di Indonesia, itu ternyata ada ketakutan-ketakutan politis yang menghantuinya. Ketakutan-ketakutan itu misalnya, pertama, munculnya radikalisme Islam yang akan berjuang membentuk negara Islam Indonesia sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kedua, tampilnya kembali partai-partai politik Islam dalam percaturan politik nasional. Ketiga, kekhawatiran merebaknya isu primordialisme di tengah masyarakat, termasuk masalah primordialisme agama. Keempat, isu tentang negara Islam dan Piagam Jakarta. <br />Tentu saja, jika kekuatiran pemerintah Orde Baru itu benar-benar terjadi, maka itu akan menjadi bencana bagi kelangsungan pemerintah Orde Baru sendiri. Bahkan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan keberbangsaan di negeri ini, yang sangat “didewakan” oleh Orde Baru, terancam tereliminasi untuk kemudian digantikan ideologi tunggal: Islam. Padahal sejatinya, pluralitas masyarakat Indonesia, baik agama, etnik, budaya, dan sebagainya, tidak bisa diatur oleh ideologi yang sectarian dan tunggal. <br />Diakui juga oleh Howard M. Federspiel, dengan berakhirnya masa Soekarno, kelompok politik muslim yang mendukung Islam sebagai dasar negara mengharapkan pemunculan kembali pembicaraan-pembicaraan tersebut. Namun, pemerintah Soeharto secepatnya menjelaskan bahwa UUD 1945 akan tetap dan bahwa Pancasila akan terus menjadi dasar dan falsafah negara. Sekalipun demikian, pemerintah Soeharto memberikan interpretasi baru atas Pancasila dan UUD 1945 yang mendukung upaya-upayanya dalam menyusun dan membangun kembali negara dan ekonomi nasional. Pada saat itu telah terjadi pembenahan partai politik dimana jumlah peserta pemilih menjadi tiga parpol. <br />Dengan rampungnya al-Quran dan Terjemahnya dan al-Quran dan Tafsirnya, menurut Howard M. Fiderspiel, sejumlah target telah terpenuhi. Pertama, pembuatan tafsir-tafsir tersebut menjadi bagian dari rencana pembangunan pemerintah lima tahunan dari pemerintah pusat, dan telah dianggap oleh masyarakat Islam sebagai bukti bahwa negara telah terlibat dalam menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Kedua, para cendekiawan dari berbagai IAIN telah dilibatkan dalam penerjemahan dan penafsirannya, memperlihatkan kedewasaan dan kemampuannya sebagai para ahli tafsir. Ketiga, Departemen Agama telah merencanakan untuk menciptakan standar-standar dalam pembuatan tafsir dan terjemahnya lebh lanjut, dan kedua tafsir tersebut telah memenuhi harapan itu. Keempat, satu kelompok bangsa Indonesia dari dan luar pemerintah yang disebut “Muslim-Nasional”, telah menginginkan agar pandangan ideologi mereka akan bisa dijelaskan melalui pembuatan tafsir-tafsir tersebut. <br />Dituliskan oleh Adang Kuswaya, dalam makalahnya Menimbang Tafsir Depag R.I: Telaah Penafsiran Surat al-Fatihah, setelah mengamati situasi sosio-politik yang melatarbelakangi terbentuknya Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Quran Depag, dirinya menganggap bahwa usaha itu adalah sebagai salah satu upaya pemerintah mengobati dan meredam kemarahan yang “diderita” kelompok Islam dan sekaligus ingin membuktikan bahwa pemerintah peduli pada masalah agama. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Orde Baru itu sebenarnya upaya untuk menciptakan tafsir resmi yang dapat mengarahkan para guru dalam menyesuaikan pelajaran-pelajaran al-Quran dengan perkembangan dunia modern.<br /><br />V. KMA-KMA DAN PERIODE PENYEMPURNAAN<br />a. KMA-KMA<br />Sebagai kelanjutan dari terbitnya al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI pada tahun 1965 (pada masa Menag KH Saifuddin Zuhri-1962-1966), Menteri Agama KH Ahmad Dahlan (1967-1973) membentuk Tim Penyusun al-Qur’an dan Tafsirnya yang disebut Dewan Penyelenggara Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972. <br />Seiring perjalanan waktu, KMA No. 90 Tahun 1972 yang baru berjalan setahun itu direvisi oleh KMA No. 8 Tahun 1973. Melalui KMA ini, susunan Tim Penyusun al-Qur’an dan Tafsirnya mengalami perubahan, dengan ketua tim Prof. H. Bustami A. Gani. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian: Ketua: Prof. H. Bustami A. Gani. Wakil Ketua: Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy. Sekretaris I: Drs. Kamal Mukhtar. Sekretaris II H: Gazali Thaib. Anggota: K.H. Syukri Ghozali, Prof Dr. H.A. Mukti Ali, Prof H.M.Toha Yahya Omar, K.H.M. Amin Nashir, H.A. Timur Jailani M.A., Prof. K.H. Ibrahim Hosen LML, K.H. A. Musaddad, Prof. H. Mukhtar Yahya, Prof. R.H.A. Soenarya S.H., K.H. Ali Maksum, Drs. Busyairi Majdi, Drs. Sanusi Latif, dan Drs. Abd. Rahim. <br />KMA ini pun selanjutnya disempurnakan oleh KMA RI No. 30 Tahun 1980 pada masa Menag Mayjen Alamsjah Ratuprawiranegara (1978-1983) – pencetus trilogi kerukunan umat beragama – dengan ketua baru Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian; Ketua: Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML. Wakil Ketua: KH Syukri Ghazali. Sekretaris: R.H. Hoesein Thoib. Anggota: Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. Dr. KH. Muchtar Yahya, Drs. Kamal Muchtar, Prof. KH. Anwar Musaddad, KH Sapari, Prof. KH. M. Salim Fachri, KH. Muchtar Lutfi el-Anshari, Dr. J.S. Badudu, KH. M. Amin Nashir, H. A. Aziz Darmawijaya, KH. M. Nur Asjik, MA, dan KH. A. Razak. <br />Berdasarkan tanggapan dan saran dari berbagai pihak masyarakat untuk menyempurnakan al-Qur’an dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama lantas menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003. KMA yang dimunculkan pada masa Menteri Agama Prof. Dr. KH. Said Aqil Husein al-Munawwar ini berisi mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI. Susunan tim selengkapnya bisa disebutkan demikian; Pembina: Menag Agama. Penasihat: KH HA Sahal Mahfudz, Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Drs. H. Asmuni Abd. Rahman, Prof. Drs. H. Kamal Muchtar, dan KH. M. Syafii Hadzami. Konsultan Ahli/Narasumber: Prof. Dr. H. Said Aqil Husin al-Munawwar, MA., Prof. Dr. H . M. Quraish Shihab, MA. Pengarah: Prof. Dr. HM. Atho Mudzhar (Kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan), Drs. H. Fadhal AR. Bafadal M.Sc (Ketua Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an). Ketua: Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA. Wakil Ketua: Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Sekretaris: Drs. HM. Shohib Tahar, MA. Anggota: Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., Prof. Dr. H. Salman Harun, MA., Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi, Dr. H. Muslih Abdul Karim, Dr. H. Ali Audah, Drs. H. Agus Salim Dasuki, M.Eng., Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, Prof. Dr. HM. Salim Umar, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, Drs. H. Sibli Sardjaja, LML, Drs. H. Mazmur Sya’roni dan Drs. Syatibi AH.<br /> b. Periode Penyempurnaan<br />Sejak diterbitkan secara lengkap pada 1980, sebenarnya penyempurnaan al-Qur’an dan Tafsirnya Depag RI terus-menerus dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an-Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan yang agak luas pernah dilakukan pada 1990 pada masa Menag Munawwir Syadzali (1983-1993). Hanya saja, saat itu tidak mencakup perbaikan secara substansial melainkan hanya pada aspek kebahasaan. <br />Dan perbaikan yang lebih luas baru dilakukan pada masa Menag Prof. Dr. KH. Said Aqil Husein al-Munawwar setelah terbit KMA No. 280 Tahun 2003 yang diawali dengan digelarnya Musyawarah Kerja Ulama Ahli al-Qur’an yang berlangsung 28-30 April 2003 dan dihadiri 56 peserta, baik ulama, akademisi, pakar ilmu sosial, kedokteran atau pemerhati.<br />Adapun aspek penyempurnaan dalam KMA RI No. 280 Tahun 2003 ini, sebagaimana dipaparkan ketua timnya, Dr. KH Ahsin Sakho Muhammad, meliputi; <br />b.1. Judul. Sebelum memulai penafsiran, tulis ketua tim, ada judul yang disesuaikan dengan kandungan kelompok ayat yang akan ditafsirkan. Dalam tafsir penyempurnaan, perbaikan judul itu dilakukan dalam kontek struktur bahasanya. Terkadang tim juga mengubah judul jika dirasa perlu. Ini misalnya karena judul awal dinilai kurang sesuai dengan kandungan ayat-ayat yang ditafsirkan. <br />b.2 Penulisan kelompok ayat. Dalam penulisan kelompok ayat ini, tulis ketua tim, rasm yang digunakan adalah rasm mushaf standar Indonesia yang telah banyak beredar dan juga mushaf yang ditulis ulang yang diwakafkan oleh Yayasan Iman Jama’ kepada Depag RI untuk dicetak dan disebarluaskan. Hanya saja, jika kelompok ayatnya terlalu panjang, maka tim merasa perlu membagi kelompok ayat dimaksud menjadi beberapa kelompok dan setiap kelompok diberikan judul baru. <br />b.3. Terjemah. Dalam menerjemahkan kelompok ayat, tulis ketua tim, terjemah yang dipakai adalah al-Qur’an dan Terjemahnya edisi 2002 yang telah diterbitkan oleh Depag RI pada 2004.<br />b.4. Kosakata. Pada al-Qur’an dan Tafsirnya yang lama, tulis ketua tim, tidak ada penyertaan kosakata ini. Dalam edisi penyempurnaan ini, tim merasa perlu mengetengahkan unsur kosakata. Dalam penulisan kosakata, yang diuraikan terlebih dulu adalah arti kata dasar dari kata dimaksud, lalu diuraikan pemakaian kata itu dalam al-Qur’an dan kemudian mengetengahkan arti yang paling pas untuk kata itu pada ayat yang sedang ditafsirkan. Jika kosakata itu diperlukan uraian yang lebih panjang maka diuraikan, sehingga memberi pengertian yang utuh.<br />b.5. Munasabah. Sebenarnya, tulis ketua tim, ada beberapa bentuk munasabah atau keterkaitan antara ayat dengan ayat atau antara surah dengan surah. Misalnya munasabah antara satu surah dengan surah berikutnya, munasabah antara awal surah dengan akhir surah, munasabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya, munasabah antara satu ayat dengan ayat berikutnya, dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat berikutnya. Dan yang dipergunakan dalam tafsir ini hanya dua jenis munasabah, yaitu munasabah antara satu surah dengan surah sebelumnya dan munasabah antara kelompok ayat dengan kelompok ayat sebelumnya. <br />b.6. Sabab al-Nuzul. Dalam penyempurnaan tafsir ini, tulis ketua tim, sabab al-nuzul dijadikan sub tema. Jika dalam kelompok ayat ada beberapa riwayat tentang sabab al-nuzul, maka sabab al-nuzul pertama dijadikan sub judul. Sedangkan sabab al-nuzul berikutnya cukup diterangkan dalam tafsirnya saja. <br />b.6. Tafsir. Secara garis besar, tulis ketua tim, penafsiran yang ada tidak banyak mengalami perubahan, karena masih cukup memadai. Kalaupun ada perbaikan, maka lebih pada perbaikan redaksi, menulis ulang penjelasan yang telah ada tanpa mengubah makna, meringkas uraian yang telah ada, membuang urian yang tidak perlu atau uraian yang berulang-ulang, membuang uraian yang tidak terkait langsung dengan ayat yang sedang ditafsirkan, mentakhrij Hadis atau ungkapan yang belum ditakhrij, dan atau mengeluarkan Hadis yang tidak sahih.<br />b.7. Kesimpulan. Tim, tulis ketua tim, juga melakukan perbaikan kesimpulan. Karena tafsir ini bercorak hida’i, maka dalam kesimpulan akhir, tafsir ini juga berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang telah ditafsirkan. Benarkah kesimpulan itu telah sesuai konsep corak hida’i, barangkali hanya pembaca yang dapat menilainya.<br />Pengindekan juga merupakan kreasi baru yang dapat kita temukan pada al-Qur’an dan Tafsirnya edisi yang disempurnakan. Kendati pengindekan itu tidak dilakukan oleh Tim Penyempurnaan Tafsir Depag, melainkan oleh pihak percetakan, tetap saja menurut penulis ini menjadi sub yang tak kalah penting untuk diapresiasi. Menariknya, setiap jilid selalu menampilkan pengindekan itu, sehingga akan sangat memudahkan pembaca menemukan tema atau kata tertentu yang sedang dicarinya di dalam tafsir Depag ini. <br /><br />VI. EDENTIFIKASI METODOLOGIS<br /> Sebagian ulama menyamakan antara manhaj dengan tahariqah, dan sebagian lain membedakannya. Tidak terlalu penting dibahas secara detail siapa yang menyamakan dan siapa yang membedakan, karena tulisan ini tidak diniatkan untuk mengulas secara panjang-lebar penyamaan atau pembedaan itu. Hanya saja dalam makalah ini, untuk memudahkan, penulis lebih cenderung membedakannya dengan pembedaan yang sangat simpel, yaitu bahwa manhaj cakupannya lebih luas ketimbang thariqah. <br /> Pertama, manhaj. Manhaj dalam keilmuan tafsir acapkali dibedakan menjadi dua, al-tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-naqli dan al-tafsir bi al-ma’qul. Menurut Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, dalam karyanya Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, al-tafsir bi al-ma’tsur memang diperhadapkan secara konfrontatif pada al-tafsir bi al-ma’qul. Jika yang pertama lebih cenderung mengandalkan nukilan dari riwayat, sebaliknya yang kedua cenderung mengandalkan akal. Namuan demikian, sebetulnya kategorisasi binner seperti ini tidaklah mutlak. Karena yang pertamapun tak berarti meninggalkan akal sepenuhnya dan sebaliknya yang kedua juga tidak berarti meninggalkan nukilan riwayat sepenuhnya. Karenanya, kategorisasi itu harus dimaknai dalam kontek dominitas (mana yang dominan) dalam sebuah karya tafsir. <br /> Dan dalam kontek tafsir Depag, penulis mengkategorikannya sebagai ber-manhaj al-tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-naqli. Ciri-ciri tafsir ini misalnya, bisa dilihat dari mashadir-nya, yaitu a), ma shahha min al-ahadits al-marfu’ah ila rasulillah shalla Allah ‘alaih wa sallam. b), ma shahha ‘an al-shahabah min aqwalin ma’tsuratin fi al-tafsir. c), ma shahha min aqwal al-tabi’in. <br />Ada juga yang menyatakan, al-tafsir bi al-ma’tsur bercirikan tafsir al-qur’an bi al-Qur’an, tafsir al-Qur’an bi al-sunnah, dan al-Qur’an bi aqwal al-shahabah. Sementara untuk tafsir al-Qur’an bi aqwal al-tabiin tampaknya masih terjadi perdebatan panjang yang berkutat pada: apakah aqwal al-tabiin bisa dinilai sebagai ma’tsur atau tidak. <br />Kedua, thariqah. Jika menggunakan analisis Abd al-Hayy al-Farmawi, maka thariqah al-tafsir bisa dibedakan menjadi empat; tahlili, ijmali, muqara(i)n dan maudhu’i. Dan menurut hemat penulis, ciri-ciri yang ada pada tafsir Depag lebih pas dengan ciri-ciri tahlili, yaitu thariqah yang menguraikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an sesuai urutan suratnya, dari awal surat hingga surat pemungkas. <br />Ketiga, laun. Menurut penelitian M. Shohib Tahar, tafsir Depag bercorak tafsir sunni. Sementara menurut Pedoman Penyempurnaan Tafsir 2003, tafsir Depag bercorak ijtima’i/tarbawi. Sedangkan berdasarkan pengakuan Ketua Tim Penmyempurnaan al-Qur’an, tafsir Depag ini bercorak hida’i. Bagi penulis sendiri, tidak masalah sebuah karya tafsir terdiri dari berbagai corak. Karena sejauh ini, ternyata tidak ada corak yang tunggal. Yang ada hanya corak yang dominan dan yang tidak dominan. Sebagai tafsir bercorak hida’i misalnya, tafsir Depag ini selalu menampilkan kesimpulan akhir yang tampaknya sebagai upaya mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat bersangkutan. <br />Keempat, isi/kandungan. Sebagai karya tafsir yang utuh menafsirkan seluruh ayat al-Quran, sudah pasti seluruh aspek yang ada di dalamnya tak luput untuk ditafsirkan. Karenanya, di dalamnya terkandung persoalan akidah, fikih, akhlak, tasawwuf, isyarat-isyarat ilmu pengetahuan seperti tehnologi, ekonomi, sosial, budaya, sejarah, dan sebagainya. Hanya, tentu saja porsi penafsiran atas bidang-bidang itu tidak sepenuhnya sama. Ada yang ditafsirkan secara panjang lebar, seperti persoalan fikih dan akidah, dan sebaliknya ada juga yang dielaborasi seperlunya, seperti masalah ilmu pengetahuan atau ekonomi. <br />Kelima, model pengulasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut hemat penulis, tafsir Depag sangat sistematis. Ini bisa dilihat melalui cara tafsir ini mengulas sebuah ayat. Misalnya, pengulasan ayat ditempuh dengan memberi sub-sub bab secara spesifik; tema ayat, terjemah (ditulis italic), kosakata, munasabah (jika ada), sabab al-nuzul (jika ada), tafsir, dan kesimpulan. Dengan model pengulasan demikian, pembaca akan sangat termudahkan. Orang yang hendak mencari terjemah, bisa langsung merujuk pada sub bab terjemah. Yang berhasrat mencari makna kata, bisa langsung merujuk pada sub bab kosakata. Yang hendak mengetahui tafsir, munasabah, sabab al-nuzul atau bahkan langsung ingin mengetahui kesimpulan, maka tinggal merujuk pada sub bab yang diinginkan. Inilah kelebihan dan kemudahan yang dimiliki tafsir Depag.<br /><br />VII. KETERPENGARUHAN<br />Menurut Adang Kuswaya, dalam tulisannya Menimbang Tafsir Depag RI: Telaah Penafsiran Surat al Fatihah, al-Qur’an dan Tafsirnya banyak terpengaruh, antara lain, oleh Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1952 M), Tafsir Mahasin al-Ta’wil karya Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (w. 1914 M), Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tafshil karya al-Baidhawi (w. 1291 M), Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 1373 M), Fi Dhilal al-Quran karya Sayyid Quthb (w. 1966 M), al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, dll. Bahkan menurut M. Sohib Tahar, dalam tulisannya Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, setidaknya 60 literatur dari berbagai aliran dan faham digunakan sebagai referensi untuk edisi revisinya. <br />Menurut penulis, rujukan yang digunakan oleh tim penyempurnaan tafsir Depag RI jauh lebih kaya ketimbang yang digunakan oleh tim-tim sebelumnya, kendati ada beberapa kitab rujukan yang sama. Karena itu, berdasarkan referensi yang digunakan, penulis akan berusaha melakukan klasifikasi rujukan-rujukan itu ke dalam beberapa kategori. <br />Pertama, rujukan kitab tafsir. Misalnya, Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan, Tafsir al-Qur’an al-Jalil Haqaiq al-Ta’wil karya Ahmad Abdullah, Ruh al-Ma’ani karya Syihab al-Din al-Sayyid al-Alusi, Tafsir al-Khazin karya Ali bin Muhammad al-Baghdadi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Abdullah bin Umar al-Baidhawi (w. 1291 M), Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karya Abu Thahir al-Fairuzabadi, al-Tafsir al-Kabir karya al-Fakhr al-Razi, al-Tafsir al-Wadhih karya Muhammad Mahmud al-Hijazi, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad al-Jashshash, Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1952 M), Mahasin al-Ta’wil karya Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi (w. 1914 M), al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Aisar al-Tafasir karya Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil karya Abdullah al-Nasafi, Shafwah al-Tafasir dan Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam keduanya karya Muhammad Ali al-Shabuni, Tafsir al-Bayan dan Tafsir al-Nur keduanya karya Hasbie al-Shiddiqie, Fath al-Qadir karya Muhammad bin Ali al-Syaukani, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Abu Ja’far al-Thabari, al-Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili, al-Kasysyaf karya Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakr Muhammad bin Abdullah Ibnu al-Arabi, Tafsir al-Quran al-Karim karya Ibnu Katsir (w. 1373 M), Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya Nidham al-Din al-Naisapuri, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Thanthawi Jauhari, Kalimat al-Qur’an al-Tafsir wa al-Bayan dan Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an keduanya karya Hasanain Muhammad Makhluf, Tafsir Taysir al-Rahman karya Abd al-Rahman Nasir, Fi Dhilal al-Quran karya Sayyid Quthb (w. 1966 M), Talkhish al-Bayan fi Majazat al-Qur’an karya al-Saif al-Radhi, Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Mahmud Yunus. <br />Kedua, rujukan kitab ‘ulum al-Qur’an. Misalnya, I’jaz al-Qur’an karya Sayyid Muhammad al-Hakim, Mabahits fi Ulum al-Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qaththan, Tsalats Rasail fi I’jaz al-Qur’an karya al-Rummani dkk, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad Ali al-Shabuni, al-Itqan karya Jalal al-Din al-Suyuti, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Badr al-Din Muhammad al-Zarkasyi, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad Abd al-‘Adhim al-Zurqani, Min Balagh al-Qur’an karya Ahad Badawi, Min Nasamat al-Qur’an karya Ghassan Hamdun, al-Qur’an wa I’jazuhu wa al-‘Ilm karya Muhammad Ismail Ibrahim, Mu’jizat al-Qur’an wa al-Tarqim karya Abd al-Razaq Naufal, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an karya Subhi al-Shalih, Tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab, dan I’jaz al-Qur’an al-Bayani karya Hifni Muhammad Syarif. <br />Ketiga, rujukan kitab mu’jam. Misalnya, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’an karya Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi dan al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Hadits karya AJ Wensinck. <br />Keempat, rujukan kitab mufradat. Misalnya, al-Ta’rifat karya Ali bin Muhammad Syarif al-Jurjani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an karya al-Raghib al-Asfihani, dan Kamus Bahasa Indonesia karya WJS Poerwadarminta. <br />Kelima, rujukan kitab Hadis. Misalnya, Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Musnad al-Imam Ahmad karya Ahmad bin Hanbal, dan Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. <br />Keenam, rujukan kitab terjemah al-Qur’an. Misalnya, the Holy Qur’an karya Abdullan Yusuf Ali, al-Qur’an dan Terjemahnya Depag RI, dan the Glorious Koran karya Pickthall Marmaduke. <br />Ketujuh, rujukan kitab sejarah. Misalnya, Tarikh Tasyri’ al-Islami karya Khudhari Beik, Hayah Muhammad karya Muhammad Husein Haikal, al-Sirah al-Nabawiyyah karya Ibn Hisyam, Tarikh al-Qur’an karya Abdusshabur Syahin, dan Dairah Ma’arif al-Qarn al-Isyrin karya Muhammad Farid Wajdi. <br />Ketujuh, rujukan kitab sabab al-nuzul. Misalnya, Asbab al-Nuzul karya Ali bin Muhammad al-Wahidi.<br />Dengan klasifikasi di atas, bisa dilihat bahwa tafsir Depag secara teologis kental aspek kesuniannya dengan asumsi semua rujukan dinukil dari brangkas kelompok Sunni. Bahkan dari segi sufisme juga Sunni. Fikihpun kental kesuniannya. Inilah pentingnya melakukan klasifikasi sumber rujukan yang digunakan tafsir ini. <br /><br />VIII. KASUS PENAFSIRAN<br />a. Tentang al-Islam (Qs. Ali Imran ayat 19)<br /><br />KEESAAN DAN KEADILAN ALLAH SERTA AGAMA YANG DIRIDAINYA<br /><br />• <br /><br />Terjemah<br />(19). Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.<br /> <br />Kosakata:<br />Baghyan (3: 19) <br />Akar katanya بغى yang mempunyai arti dasar tuntutan untuk melampaui batasan-batasan yang telah ditentukan. al-Baghyu biasa dipergunakan untuk dua pengertian, salah satunya digunakan untuk hal-hal terpuji, seperti melampaui batasan definisi perbuatan yang adil kepada yang ihsan atau mengerjakan sesuatu yang lebih dari sekedar kewajiban, seperti perbuatan-perbuatan yang disunahkan. Sedangkan pengertian al-baghyu yang kedua digunakan pada hal-hal tercela, seperti perbuatan yang melampaui batas-batas yang hak, yaitu perbuatan yang batil, diantaranya takabur, berbuat kerusakan, zalim, dengki dan sebagainya, secara garis besar setiap hal yang melewati batas kewajaran tertentu. <br /><br />Munasabah<br />Dalam ayat-ayat yang lalu diterangkan kesesatan orang-orang kafir disebabkan mereka sangat dipengaruhi oleh harta dan anak-anak, sifat takwalah yang menyelamatkan manusia dari pengaruh harta benda itu. Maka dalam ayat-ayat ini diterangkan dasar-dasar ketauhidan yang menjadi sumber dari takwa tersebut, dasar agama yang benar yakni agama Islam. <br /><br />Tafsir<br />(19) Agama yang diakui Allah hanyalah Islam, agama tauhid, agama yang mengesakan Allah. Dia menerangkan bahwasanya agama yang sah di sisi Allah hanyalah Islam. Semua agama dan syariat yang dibawa nabi-nabi terdahulu intinya satu, ialah “Islam”, yaitu berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, menjunjung tinggi perintah-perintah-Nya dan berendah diri kepada-Nya, walaupun syariat-syariat itu berbeda di dalam beberapa kewajiban ibadah dan lain-lain.”<br />Muslim yang benar ialah orang yang ikhlas dalam melaksanakan segala amalnya, serta kuat imannya dan bersih dari syirik.<br />Allah mensyariatkan agama untuk dua macam tujuan:<br />1. Membersihkan jiwa manusia dan akalnya dari kepercayaan yang tidak benar.<br />2. Memperbaiki jiwa manusia dengan amal perbuatan yang baik dan memurnikan keikhlasan kepada Allah. <br />(dan seterusnya, penulis)<br /><br />Kesimpulan <br />1. Allah menyatakan keesaan Zat-Nya dan keadilan-Nya begitu pula para malaikat dan para ahli ilmu mengakui dan menyatakan ke-Esaan-Nya.<br />2. Semua agama yang dibawa oleh para nabi, adalah satu, Islam, yaitu agama berdasarkan tauhid serta berserah diri kepada Allah. Karenanya, sebutan agama-agama samawi itu tidak tepat, karena agama samawi hanya satu.<br />3. Para rasul bertugas menyampaikan agama Allah kepada umatnya. <br /><br />b. Kebenaran Agama-agama (Qs. al-Baqarah ayat 62). <br /><br />PAHALA BAGI ORANG YANG BERIMAN<br /><br />• • <br /><br />Terjemah<br />(62). Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. <br /> <br />Kosakata:<br />as-Sabiin (2: 62)<br />as-Sabiin berasal dari kata kerja saba’a-yasba’u yang artinya berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Dengan demikian, Sabiin berarti orang-orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang yang beragama Sabi’ah, yaitu agama yang mengajarkan ibadah dengan penyembahan kepada bintang. Agama ini merupakan salah satu agama kuno yang saat ini sudah hilang dan tidak berkembang lagi. Selain itu, penganutnya juga sudah tidak dapat ditemukan. Pada masanya, kata ini dipergunakan untuk menyebut penduduk Mesopotamia, Irak, yang menyembah bintang. Keterkaitannya juga karena penduduk Mesopotamia kuno adalah penyembang bintang. <br /><br /><br />Munasabah<br />Dalam ayat yang lalu Allah menerangkan keingkaran dan kesalahan-kesalahan orang Yahudi, yang menyebabkan mereka mendapat kemurkaan Tuhan dan menderita kehinaan dan kemiskinan, maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa semua golongan agama lain pada masanya, jika mereka beriman dan bertobat, tentulah mereka mendapat pahala di dunia dan di akhirat, seperti yang diperoleh orang-orang mukmin lainnya. <br /><br />Tafsir<br />(62) Dalam ayat ini Allah menjelaskan keadaan tiap-tiap umat atau bangsa pada masanya yang benar-benar berpegang pada ajaran nabi-nabi mereka serta beramal saleh, mereka akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan maghfirah Allah selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya. <br />“Orang-orang mukmin” dalam ayat ini ialah orang yang mengaku beriman kepada Muhammad Rasulullah Saw dan menerima segala yang diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. Sabiin ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw, yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang. Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul saw sewaktu Jibril a.s. menemuinya. Nabi berkata, (hanya ditulis artinya, penulis) Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (riwayat Muslim dari Umar r.a.)<br />Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina tempat Nabi Isa dilahirkan. Siapa saja diantara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw dan benar-benar beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut Islam. <br /><br />Kesimpulan <br />1. Orang-orang Islam, orang Yahudi, orang Nashrani dan orang Sabiin yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan masa berlakunya syariat masing-masing memperolah pahala dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.<br />2. Sesudah kedatangan Nabi Muhammad Saw, semua umat manusia wajib mengikuti agama yang dibawanya. <br /><br />c. Kesetaraan Lelaki-Perempuan (Qs. al-Nisa’ ayat 34). <br /><br />PERATURAN HIDUP SUAMI ISTERI<br /><br /> • <br /><br /><br /><br /><br />Terjemah <br />(34) Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.<br /><br />Kosakata<br />Qawwamun (4: 34)<br />Kata qawwamun adalah jamak dari kata qawwam bentuk mubalagah dari kata qa’im, yang berarti orang yang melaksanakan sesuatu secara sungguh-sungguh sehingga hasilnya optimal dan sempurna (al-Manar). Oleh karena itu, qawwamun bisa diartikan penanggung jawab, pelindung, pengurus, bisa juga berarti kepala atau pemimpin, yang diambil dari kata qiyam sebagai asal kata kerja qama-yaqumu yang berarti berdiri. Jadi kata qawwamun menurut bahasa adalah orang-orang yang melaksanakan tanggung jawab atau para pemimpin dalam suatu urusan. Pada ayat ini, qawwamun adalah orang-orang yang memimpin, yang mengurusi atau bertanggungjawab terhadap keluarganya yaitu para suami selama mereka melaksanakan kewajiban tanggung jawabnya kepada keluarganya. Kata qawwamun disebutkan satu kali dalam al-Qur’an, yaitu an-Nisa’/4:34. <br /> <br />Munasabah<br />Ayat-ayat yang lalu melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh karunia lebih banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya, menurut bagiannya masing-masing. Ayat ini menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum perempuan, dan cara-cara menyelesaikan perselisihan suami isteri. <br /><br />Tasir<br />(34) Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggungjawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi isteri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap isteri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya, maka isteri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya. (dan seterusnya, penulis). <br /><br />Kesimpulan <br />1. Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang telah menjadi istri dan keluarganya.<br />2. Setiap isteri wajib menaati suaminya dalam mengurus rumah tangga, memelihara kehormatannya, memelihara harta suaminya. <br />3. (dan seterusnya, penulis) <br /><br /><br /><br />d. Hubungan antar Agama-agama (Qs. al-Baqarah ayat 120). <br /><br />KEINGKARAN ORANG KAFIR TERHADAP KENABIAN MUHAMMAD SAW<br /><br /> • • <br /><br />Terjemah <br />(120) Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong selain dari Allah.<br /><br />Kosakata<br />Al-Millah (2: 20)<br />Millah sinonim dengan ad-din atau syari’ah. Kata millah sendiri berarti apa yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya melalui nabi-nabi. Perbedaan antara din dan millah, bahwa din (agama) diidhofahkan (disandarkan) kepada Allah atau Muhammad saw, seperti dinullah atau dinu Muhammad, sedangkan millah hanya diidhofahkan kepada nabi tertentu, seperti Nabi Ibrahim; millah Ibrahim (Ali Imran/3: 95) atau millah aba’i (Yusuf/12: 38). Kata millah bisa juga diambil dari imlal artinya mendiktekan dan menuliskan. Ajaran agama dituliskan agar supaya diamalkan. Ungkapan “hatta tattabi’ millatahum” merupakan kinayah dari rasa putus asa terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mau mengikuti syariat Islam. Mereka tidak mengikuti ajaran Islam bahkan mereka menginginkan Muhammad-lah yang mengikuti ajaran mereka karena mereka tidak benar-benar mengikuti ajaran Taurat dan Injil, kalau mereka benar-benar mengikuti, pasti mereka beriman karena sifat-sifat nabi disebutkan dalam kitab-kitab suci tersebut. <br /><br />Munasabah<br />Ayat-ayat yang telah lalu menerangkan tentang pengakuan orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah mempunyai anak dan Allah mempunyai sekutu. Ayat ini menerangkan tentang pengingkaran orang musyrik Mekah terhadap kenabian Muhammad dan pengingkaran terhadap apa yang dibawanya. <br /><br />Tafsir<br />(120) Ayat ini menyatakan keinginan Ahli Kitab yang sebenarnya sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, menyekutukan Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad Saw, nabi terakhir. Mereka tidak akan berhenti melakukan tindakan itu sebelum Nabi Muhammad dan pengikutnya menganut agama yang mereka anut, yaitu agama yang berasal dari agama-agama yang dibawa para nabi yang terdahulu, tetapi ajaran-ajarannya sudah banyak diubah-ubah oleh mereka. Karena itu, hendaklah kaum muslimin waspada terhadap sikap Ahli Kitab, janganlah ragu-ragu mengikuti petunjuk Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, bukan petunjuk yang berasal dari keinginan dan hawa nafsu manusia, terutama keinginan dan hawa nafsu orang-orang Yahudi dan Nasrani. (dan seterusnya, penulis).<br /><br /><br /><br /><br />Kesimpulan <br />1. Allah mengutus para rasul disertai dalil-dalil dan bukti-bukti yang lengkap. Hanya orang yang telah tertutup hatinya dan ada penyakit di dalamnya yang tidak mau memahami dalil-dalil dan bukti-bukti itu.<br />2. Tugas seorang rasul hanyalah menyampaikan agama Allah, bukan untuk menjadikan manusia berimana kepada Allah. Beriman atau tidaknya seseorang, adalah urusan Allah.<br />3. Orang Yahudi dan Nasrani tidak rela seseorang menganut agama Islam. Mereka selalu berusaha agar kamu mengikuti mereka. Allah tidak akan menolong orang yang telah mengetahui kebenaran, tetapi tidak mau mengikutinya atau mengamalkannya. <br /><br />IX. KELEBIHAN-KELEBIHAN<br /> Secara jujur, harus diakui bahwa al-Qur’an dan Tafsirnya menyimpan banyak kelebihan, baik kelebihan yang terkait langsung dengan substansi tafsirnya itu sendiri ataupun dari sisi kemunculannya. Misalnya pertama, sebagaimana diakui M. Quraish Shihab, dalam karyanya Menabur Pesan Ilahi, tafsir Depag ini telah berhasil mengisi kekosongan kitab tafsir di Indonesia. Tentu, ini menunjukkan bahwa tafsir yang ditelorkan Depag ini muncul pada saat yang tepat, sehingga akan banyak bermanfaat bagi umat Islam di Indonesia. <br /> Kedua, para penulisnya memiliki kompetenensi di bidangnya. Dikatakan M. Quraish Shihab, kerja sebuah tim yang anggota-anggotanya memiliki kualifikasi yang diperlukan – apabila terkoordinir dengan baik – dan dengan waktu yang memadai, tanpa dipaksa oleh target penyelesaian yang ketat, pastilah menghasilkan satu karya yang melebihi karya perorangan. Nama-nama anggota tim, imbuhnya, baik tim awal yang menyusun tafsir ini maupun tim yang melakukan perbaikan, adalah orang-orang yang cukup kompeten, paling tidak pada masanya. Diakuinya, memang ada di antara mereka yang sedikitpun tidak mengerti – jangankan mendalami bahasa Arab atau pakar yang diandalkan dalam bahasa Indonesia atau bidang ilmu tertentu – namun agaknya keterlibatan mereka atau paling tidak nama mereka masih diperlukan dalam konteks kondisi satu proyek pemerintah ketika itu. Karena itu, ia menganjurkan, jika dugaan ini benar, maka ini bisa menjadi faktor kelemahan yang harus dihindari di masa yang akan datang. Sayang sekali, karena ketawadhuannya, beliau tidak mau “tunjuk hidung” siapa orang yang “hanya diperlukan” dalam kontek proyek ini. <br /> Ketiga, menurut hemat penulis, al-Qur’an dan Tafsirnya ditulis dengan sistematis, menggunakan sub-sub bab yang akan sangat memudahkan kerja para pembaca, seperti yang telah penulis singgung sebelumnya. Misalnya, setiap menafsirkan ayat, maka pembaca akan menjumpai banyak sub bab; terjemah, kosakata, munasabah, tafsir, sabab al-nuzul, atau kesimpulan. Jika pembaca ingin mengetahui arti ayat, cukup melihat sub terjemah. Jika ingin mengetahui makna sebuah mufradat, cukup mencari sub kosakata. Jika ingin mengetahui tafsir ayat, cukup melihat sub tafsir, dan seterusnya. Ini akan membuat nyaman para pembaca dan banyak menghemat waktu. Bisa dibayangkan, bagaimana susahnya mencari hal-hal tersebut jika kitab tafsir yang ada tidak memiliki sistematisasi pensuban seperti ini? Disamping menyusahkan, tentu saja juga akan membuang banyak waktu. Itulah sisi positif lain tafsir Depag. <br /> Keempat, kendati M. Quraish Shihab mengritik tafsir Depag sebagai bertele-tele, namun penulis melihat sebaliknya, yaitu tidak bertele-tele. Sebab, ukuran bertele-tele itu juga tidak tegas. Quraish menilainya bertele-tele dari sisi ketebalan jilid-jilidnya. Namun dalam tataran praktis, karya tafsir Quraish justru lebih tebal ketimbang karya Depag. Selain itu, jikapun tafsir Depag dirasa bertele-tela dan banyak menampilkan informasi yang tidak perlu, toh untuk memudahkan pembaca tafsir Depag telah memberi pilihan kepada pembaca untuk merujuk, misalnya, kesimpulan. Dengan langsung merujuk kesimpulan, dugaan bertele-tele jelas akan hilang. <br /> Kelima, menampilken index. Kendati index ini, asumsi penulis, tidak dibuat oleh tim pentafsir maupun tim penyempurnaan tafsir Depag, melainkan dibuat oleh penerbit, namun tetap saja perlu mendapat apresiasi yang tinggi. Dengan index, pembaca akan terbantu memudahkan tema atau point tertentu yang ia cari di dalam tafsir ini. <br /> Sedang terkait substansi, penulis tidak banyak menyorotnya, karena itu akan sangat subyektif. Masing-masing orang akan memiliki pandangan yang berbeda-beda. Untuk itu, dalam hal substansi ini, penulis lebih cenderung menyorotnya dalam point kritikan-kritikan di bawah ini. <br /><br />X. KRITIKAN-KRITIKAN<br /> Untuk melakukan kritik atas al-Qur’an dan Tafsirnya, baik kritik substansi maupun kritik non-substansi, penulis lebih banyak meminjam kritikan orang lain yang penulis yakini sangat layak dan sangat kredibel melakukan tugas kritik ini. Mereka adalah M. Quraish Shihab, Nasaruddin Umar dan Nashruddin Baidan. Ketiganya doktor bidang tafsir yang tidak patut lagi diragukan kemampuannya. Dan “kebetulan” juga, ketiganya tidak terlibat secara langsung dalam proyek penerbitan tafsir Depag itu, sehingga sikap kritis tidak terkikis dari mereka. Sebaliknya, mereka cenderung sangat kritis terhadap tafsir Depag ini.<br /> Pertama, Kritikan M. Quraish Shihab<br />a. Peruntukan tidak Jelas. M Quraish Shihab, dalam buku barunya Menabur Pesan Ilahi, menuliskan, bahwa peruntukan Tafsir Depag tidak jelas, apakah untuk orang awam, ilmuwan atau siapa. Quraish menyatakan, “Jika dilihat bilangan jilidnya, terkesan bahwa ia ditujukan kepada masyarakat berpendidikan tinggi dan itupun bagi mereka yang memiliki penghasilan memadai.” Tapi, imbuhnya, jika melihat kandungan isinya yang telah beredar dan yang telah disempurnakan, maka terkesan bahwa tafsir ini lebih banyak ditujukan kepada masyarakat umum. <br />Peruntukan ini penting ditegaskan, karena hampir setiap karta tafsir sebetulnya memiliki obyek pembacanya masing-masing. Sesuai obyeknya itu, maka peredaksian, ketebalan jilid, atau model penyampaian isi, harus disesuaikan kemampuan mereka. Jika tidak, sangat mungkin pesan-pesan yang ingin disampaikan gagal total. Bila ini terjadi, tafsir yang orientasi awalnya sebagai hidayah malah ujungnya tak akan membantu apa-apa. Misalnya, untuk obyek masyarakat umum, penyampaiannya tidak bisa disamakan dengan kelompok masyarakat berpendidikan tinggi. Begitu juga sebaliknya. Karenanya, penyampaikan yang ‘ala qadri ‘uqulihim (tergantung obyeknya) sangat penting dipertimbangkan. <br />Karena itu juga, yang tak kalah penting diingat adalah, bahwa dalam dunia penafsiran ada lingkaran proses yang selalu kait-mengait: tafsir itu sendiri, cara penyampaian, dan pembaca. Ketiganya harus selalu memiliki ketersambuangan yang baik. Tidak boleh ada misskomunikasi antara satu dengan lainnya yang akan menyebabkan tidak sampainya apa yang ingin disampaikan. <br />b. Jilid Ketebalan. Dikatakan M Quraish Shihab, siapapun sasaran yang dikehendaki, hendaknya jilidnya tidak terlalu tebal sehingga dapat dijangkau pembaca. Cendekiawan tidak membutuhkan banyak contoh atau aneka riwayat. Kalangan umum tidak mampu membeli satu judul buku yang terdiri dari ribuan halaman dan juga tidak akan betah membaca secara tuntas karya-karya yang panjang. <br />Itulah problem sesungguhnya yang acap kali dihadapi para mufassir dan juga tak disadarinya. Kenikmatan menafsirkan tak jarang malah menjadikan karyanya sebagai fih kullu syai’in illa al-tafsir. Di lautan itu ada semuanya, kecuali ikan. Ini memang sulit terhindarkan dalam tataran praktis, kendati sangat mudah diwacanakan. Buktinya, M Quraish Shihab sendiri, yang selalu menekankan kerenyahan karya tafsir sehingga dapat dikunyah siapa saja, baik yang punya gigi maupun yang tidak, toh tetap saja ketika menulis Tafsir al-Mishbah tidak bisa menghindari ketebalan jilid. Alasannya satu: kenikmatan mengarungi samudera al-Qur’an (baca: menafsirkan) tak jarang membuat lupa idealitas sebuah karya tafsir. <br />c. Tidak Menampilkan Perbedaan Pandangan. Menurut M. Quraish Shihab, tafsir Depag tidak menampilkan perbedaan pandangan ulama menyangkut masalah-masalah yang menyentuh perhatian masyarakat, agar tidak timbul kesan bahwa hanya satu pendapat yang memonopoli kebenaran. Dikatakannya, fungsi al-Qur’an sebagia ma’dubat Allah (hidangan Allah) yang tentu saja beraneka ragam pilihan suguhannya, perlu benar-benar ditampakkan. <br />Menurutnya, memang sesekali perbedaan itu telah disinggung, namun uraiannya belum cukup untuk melahirkan toleransi di tengah-tengah masyarakat kita sebagaimana sebagian diantaranya tidak memiliki relevansi dengan situasi dewasa ini, paling tidak masyarakat Indonesia. <br />Menurut hemat penulis, dengan tidak menampilkan perbedaan pandangan diantara ulama atas sebuah persoalan tertentu, itu menunjukkan bahwa tafsir Depag telah memiliki keberpihakan primordial dan frame pemikiran tertentu, baik dalam bidang fikih, akidah, maupun tasawuf. Keberpihakan primordial seperti inilah yang akan melanggengkan eksklusivisme pandangan keagamaan umat Islam. Namun demikian, barangkali bisa dimaklumi, karena sedari awal tafsir Depag memang tidak diniatkan sebagai tafsir perbandingan antar berbagai perbedaan pandangan ulama. Dengan ujaran lain, tafsir ini memang diniatkan sebagai tafsir monolitis nan eksklusif. <br />d. Tidak Menunjang Kerukunan Hidup Beragama. Dengan untaian kata yang sangat halus, sopan, rendah hati, samar-samar, tidak tegas dan sangat diplomatis, sebetulnya M. Quraish Shihab “menuding” tafsir Depag tidak mendukung kerukunan hidup beragama. Misalnya terkait penafsiran tentang Qs. al-Baqarah ayat 120. <br />Quraish dengan halus menulis, “Penulis – dalam keterbatasan rujukan dan pengetahuan – tidak menemukan seorang ulama tafsir, baik yang terdahulu maupun yang kemudian, yang memberi penafsiran semacam ini. (contoh penafsirannya telah disebutkan sebelumnya, penulis). Sekali lagi, kita bisa berbeda pendapat, tetapi apakah tidak sebaiknya dikemukakan juga pendapat-pendapat yang demikian banyak dan mudah ditemukan yang – menurut hemat penulis (Quraish, red) – lebih tepat sekaligus dapat menunjang kerukunan hidup beragama.” <br />Ungkapan yang sangat halus ini menunjukkan kebijaksanaan yang tinggi dari seorang M. Quraish Shihab. Namun di sebalik kehalusan ungkapannya, tersimpan kritikan yang maha dahsyat, menyangkut dukungan atas kerukunan hidup beragama di negeri ini. Jika boleh dijabarkan lebih jauh lagi, barangkali ungkapan Quraish itu bisa dimaknai, bahwa model tafsir Depag dalam hal ini justru akan “meningkatkan” ketidakrukunan (bukannya kerukunan) hidup beragama.<br />e. Banyak Alih Bahasa Tidak Tepat. Menurut M. Quraish Shihab, pengalihbahasaan suatu kalimat tidak mungkin sama sepenuhnya dengan seluruh kandungan yang dimaksud oleh kalimat yang dialihbahasakan. Lebih-lebih kalimat bahasa Arab yang kosakatanya sangat kaya, sehingga tidak ditemukan padanannya dalam bahasa lain. Karenanya, sulit menemukan penerjemahan yang berhasil. Namun demikian, diingatkannya, bukan berarti kita tidak perlu berusaha sekuat kemampuan untuk itu. <br />Dan, Quraish melihat adanya ketidaktelitian pengalihbahasaan dalam tafsir Depag. Misalnya, kata al-Baqarah sebagai nama surah. Mengapa harus diterjemahkan dengan “sapi betina”, padahal itu bentuk tunggal dari baqar yang digunakan untuk menunjuk yang jantan maupun yang betina. Tidak semua lafal yang menggunakan ta’ marbuthah menunjuk kelamin betina. Misalnya tamrah (kurma) atau syahmah (lemak). Karena kritikan tajam ini pula, tafsir Depag edisi yang disempurnakan tidak lagi menerjemahkan baqarah dengan sapi betina melainkan (cukup) sapi. <br />f. Ada Unsur Plagiat. Menurut M. Quraish Shihab, untuk kasus penafsiran surat al-Dhuha, al-‘Alaq, al-Zalzalah, dan lain-lain, tafsir Depag diduga kuat menjiplak Tafsir al-Maraghi karya Muhammad Musthafa al-Maraghi yang juga guru Bustami A. Ghani. Quraish menulis, “Di sana penulis (Quraish, red) temukan bahwa sekian banyak uraian merupakan terjemahan harfiah, kalau enggan berkata 99 % maka paling tidak 95 %, adalah teks asli dari Tafsir al-Maraghi.” <br />Kalaupun ada perbedaan, ujar Quraish, itu hanya pada contohnya saja. Jika pada surat al-Zalzalah al-Maraghi mencontohkannya dengan gempa di Italia, maka tafsir Depag mencontohkannya dengan gempa Krakatau. Tidak lebih dari itu. Jika dugaan ini benar, maka ini merupakan tindakan yang menurut Quraish “sungguh tidak pantas terjadi dari satu tim yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, lebih-lebih Depag.” <br />Kedua, Kritikan Nasaruddin Umar. Saat diskusi Bias Jender dalam Penafsiran al-Quran, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Nasaruddin menyatakan, terjemahan al-Quran yang diterbitkan Depag hanya mendasarkan pada tafsir klasik, yang dilakukan oleh beberapa ulama yang hidupnya dalam budaya menjunjung tinggi posisi laki-laki (patriarki). <br />Ketiga, Kritikan Nashruddin Baidan. Menurut Nasruddin dalam bukunya Metodologi Penafsiran al-Qur’an, tafsir Depag tidak mengapresiasi nuansa ke-Indonesiaan. Dikatakannya, “…tafsir Depag terlihat mengikuti pola dan metode yang diterapkan oleh tafsir-tafsir berbahasa Arab seperti al-Maraghi sehingga corak keindonesiaannya tidak tampak. Di sini terletak perbedaannya yang mencolok dari Tafsir Hamka karena meskipun dari segi isinya tak jauh dari tafsir yang berbahasa Arab, tapi tafsir Hamka dikemas di dalam budaya bangsa kita dan gaya bahasa Indonesia popular yang amat dekat dekat dengan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan demikian, penafsiran Departemen Agama tersebut dapat dikatakan tidak mengembangkan pemikiran ke-Indonesiaan di dalam penafsiran al-Qur’an melainkan lebih berfungsi sebagai transfer ide-ide yang ada dan berkembang di Timur Tengah, serta tidak mengemukakan gagasan baru yang bersifat ke-Indonesiaan.” <br />Keempat, Kritikan Pemakalah. <br />a. Tafsir Depag dilingkupi pandangan eksklusifisme dan monolitis. Tafsir Depag sangat menutup diri dari pandangan-pandangan yang berada di luar domain mainstream. Padahal ini sejatinya bisa saja dimanfaatkan sebagai pengayaan atau keragaman tafsir Depag. Tapi yang jelas, itulah pilihan rasional (rational choice) yang telah menjadi pilihan tafsir Depag dan harus dihargai kendati dengan ketidakpuasan. <br />b. Buruknya peredaksian. Orang-orang yang teliti terhadap aspek kebahasaan, susunan kalimat dan pilihan diksi, akan dengan mudah melihat bahwa tafsir Depag sangat buruk dari sisi peredaksian. Banyak sekali gaya menuangkan peredaksian yang tidak seragam dan cenderung asal-asalan. Mengapa demikian? Ini karena tafsir Depag disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari banyak person dengan kemampuan tulis-menulis berbeda. Ada yang memang memiliki skill menulis baik, sehingga penuangan diksinya baik, dan lebih banyak lagi yang tidak memiliki skill menulis sama sekali, sehingga diksinya buruk. Perpaduan peredaksian orang yang memiliki skill menulis baik dengan orang yang tidak memiliki skill menulis baik dalam sebuah karya, maka hasilnya akan buruk, jika tidak ditengahi oleh editor. Karenanya, menurut hemat penulis, dibutuhkan editor atau penyelaras bahasa, sehingga keserasian peredaksian akan terwujud. Mungkin, editor atau penyelaras bahasa inilah yang tidak dimiliki tim pentafsir Depag.<br /><br />XI. KHATIMAH<br />Diingatkan oleh M. Quraish Shihab dalam karya barunya, Menabur Pesan Ilahi, bahwa tak ada satu kitab tafsir, walaupun disusun oleh tim, yang dapat memuaskan semua pembacanya. Menurutnya, itulah rumus yang dikenal di kalangan para penulis ilmu al-Qur’an. Namun, jika membandingkan satu karya dengan karya lainnya, maka akan dapat ditemukan bahwa yang ‘ini’ lebih baik dari yang ‘itu’ atau yang ‘itu’ lebih mendekati sasaran daripada yang ‘ini.’ <br />Untuk itu, ambillah apa yang terbaik dari al-Qur’an dan Tafsirnya buah kerja keras Departemen Agama RI dan berilah masukan atau kritikan konstruktif untuk meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada. Wa Allah a’lam bi al-shawab.[]<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />al-Qur’an al-Karim<br />Adang Kuswaya, Menimbang Tafsir Depag R.I: Telaah Penafsiran Surat al Fatihah, dalam http://www.stainsalatiga.ac.id.<br />Depag RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), Jakarta, Depag RI, 2004.<br />Howard M Federspiel, Kajian al- Qur’an di Indonesia, Bandung, Mizan, 1996.<br />M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, Jakarta, Lentera Hati, 2006.<br />M. Shohib Tahar, Telaah tentang Tafsir al-Qur’an Departemen Agama RI, dalam Jurnal Lektur al-Qur’an, Volume 1, No. 1, 2003, Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003. <br />Media Indonesia, Kamis, 10 Oktober 2002. <br />Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta, Paramadina, 2001. <br />Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.<br />Nurul Huda Maarif, KH Ali Mustafa Yaqub MA; Kiai Yang Penulis, Penulis Yang Kiai, dalam Majalah Bina Pesantren edisi 1/2004, Jakarta, Depag RI-P3M. <br />Nurul Huda Maarif, Membincang al-Tafsir bi al-Ma’tsur Lebih Kritis Lagi, makalah di Pascasarjana UIN Jakarta, 2004.<br />Shalah Abd al-Fattah al-Khalidi, Ta’rif al-Darisin bi Manahij al-Mufassirin, Dimasyq, Dar al-Qalam, 2002 M/1423 H. <br /><br />*yang pingin makalah di atas lengkap dengan foot notenya, mohon kirim email ke nurulhudamarif@gmail.comNurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-1153124674476258382006-07-17T01:20:00.000-07:002007-11-22T02:52:11.210-08:00al-Ibriz Li Ma'rifah Tafsir al-Qur'�n al-Aziz Tafsir Berbahasa Jawa Karya KH Bisri MusthofaOleh Nurul Huda Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/rul.jpg" align="left" hspace="10" alt="Nurul" />Satu dari beberapa karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa yang cukup fenomenal , adalah al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz karya KH Bisri Musthofa, seorang ulama kharismatis dan ‘materialistis’ asal Rembang Jawa Tengah. Karya tafsir ini memuat penafsiran ayat secara lengkap, 30 juz, mulai dari Surah al-Fatihah hingga Surah al-Nas. <br /><br />Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karya tafsir Kiai Bisri ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji dan diaji oleh para santri, dari sejak kemunculannya hingga kini. Seperti dituturkan penulisnya, karya ini, antara lain, memang ditujukan untuk para santri pesantren. Sehingga tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas di kalangan pesantren dan tidak di luar pesantren. Dan dengan penggunaan bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana pesantren di Jawa.<br /><br />Hanya saja, karya tafsir ini tidak disebut sama sekali dalam karya Howard M Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, yang mengulas sejarah perkembangan tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia. Padahal buku ini merupakan salah satu rujukan lengkap dan penting, kendati tidak detail dan kurang tajam, terkait perjalanan kajian al-Qur’an di Indonesia. Buku ini membicarakan karya tafsir dari Mahmud Yunus hingga M. Quraish Shihab. <br /><br />Mengapa karya tafsir Kiai Bisri yang lengkap 30 juz ini tidak disebut dalam analisis Howard? Ada asumsi, Howard hanya mengkaji karya tafsir yang berbahasa Indonesia belaka. Mau tidak mau, tafsir berbahasa Arab seperti Marah Labid karya Syeikh Nawawi al-Bantani dan berbahasa Jawa seperti al-Ibriz karya KH Bisri Musthofa ini tereleminasi dari analisisnya. Pertanyaan berikutnya, mengapa dua karya tafsir yang sangat penting dalam sejarah perkembangan kajian al-Qur’an di Indonesia ini tidak turut dianalisis Howard? <br /><br />Lebih Dekat dengan KH Bisri Musthofa<br /><br />KH Bisri Musthofa, nama kecilnya Mashadi, lahir pada 1915 di Rembang Jawa Tengah dan meninggal pada 16/24 Februari 1977. Kiai Bisri memulai pergumulan intelektualnya dengan menjadi siswa sekolah Ongko Loro. Kemudian nyantri di pesantren Kajen selama tiga hari, pesantren Kasingan Rembang dan puncaknya di Makkah al-Mukarramah. <br />Kiai Bisri merupakan sosok multi dispilin, orator ulung, politikus, kiai pesantren sekaligus pengarang yang sangat produktif. Juga seorang muballigh yang mampu berbicara tentang berbagai persoalan; agama, sosial, politik, dan sebagainya. Misalnya pada Pemilu pertama 1955, Kiai Bisri telah menampakkan keistimewaannya dalam merangkai kata dan menata vokal saat kampanye untuk Partai Nahdhatul Ulama (PNU). Hasilnya, PNU waktu itu berhasil menjadi partai papan atas setelah PNI dan Masyumi. <br /><br />Kemampuan dan kepiawaian panggung ini diakui oleh Mantan Menteri Agama Republik Indonesia kabinet Ir. Soekarno, KH Saifuddin Zuhri. Kiai Saifuddin menilainya sebagai orator ulung yang mampu menguraikan persoalan yang sebenarnya rumit, sulit dan pelik, menjadi begitu gamblang dan mudah dicerna para pendengarnya. Yang membosankan menjadi mengasyikkan. Yang sepele menjadi amat penting. Yang berat menjadi ringan. Namun kritiknya tetap tajam. <br /><br />Tokoh Tiga Zaman<br /><br />KH Bisri Musthofa adalah tokoh yang hidup dalam tiga zaman. Pertama, pada zaman penjajahan, Kiai Bisri duduk sebagai salah satu Ketua NU dan Ketua Hizbullah cabang Rembang. Lantas, setelah Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, Kiai Bisri diangkat menjadi Ketua Masyumi cabang Rembang yang ketua pusatnya waktu itu Hadhratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo. Kiai Bisri juga pernah menjabat sebagai Kepala Kantor Agama dan Ketua Pengadilan Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, Kiai Bisri mulai aktif di PNU. <br /><br />Kedua, pada zaman pemerintahan Ir. Soekarno atau Orde Lama, Kiai Bisri duduk sebagai anggota konstituante, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, Kiai Bisri turut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai presiden menggantikan Ir. Soekarno. Bahkan Kiai Bisri diamanati memimpin do’a kala pelantikan Soeharto. <br /><br />Ketiga, pada zaman pemerintahan Soeharto atau Orde Baru, Kiai Bisri pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada 1977, ketika partai Islam berfusi ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Kiai Bisri menjadi Ketua Majlis Syura PPP pusat sekaligus anggota Syuriah NU wilayah Jawa Tengah. Menjelang Pemilu 1977, Kiai Bisri terdaftar sebagai calon No. 1 anggota DPR Pusat dari PPP untuk Dapil (daerah pemilihan) Jawa Tengah. Dan Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran Kiai Bisri, karena meninggal seminggu sebelum masa kampanye. <br /><br />Kepergian Kiai Bisri untuk selama-lamanya ini, dianggap sebagai musibah berat bagi PPP. Karena selama duduk sebagai anggota DPR PPP, Kiai Bisri mampu memberi bobot bagi perolehan suara PPP. “Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang bisa berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Tidak mudah dicari penggantinya!”, demikian kata Kiai Saifuddin menggambarkan rasa kehilangannya. <br /><br />Dari Kasingan ke Kasingan<br /><br />Semula, Mashadi (nama kecil Kiai Bisri) tidak berminat sama sekali belajar di pesantren, tapi toh akhirnya nyantri juga di sana. Mashadi pertama kali mengenal pesantren usai tamat sekolah Ongko Loro, karena kakaknya, H Zuhdi, pernah mengirimnya ke pesantren asuhan Kiai Chasbullah di Kajen untuk mengaji pasanan. Di sana Mashadi tidak kerasan dan baru tiga hari pulang kembali ke rumah. Begitu juga ketika disuruh mengaji di pesantren Kiai Kholil di Kasingan (kelak menjadi mertuanya), tetangga desanya di Rembang, Mashadi kembali ogah-ogahan. <br />Apa yang menyebabkan Mashadi selalu berusaha menghindari dunia pesantren? Dalam pandangan Mashadi, pelajaran di pesantren sangatlah sulit dan rumit, terutama pelajaran nahw dan sharaf. Karenanya, Mashadi malas belajar di pesantren. Selain itu, Kiai Kholil, Pengasuh Pesantren Kasingan, dalam pikiran Mashadi waktu itu, terkesan angker, galak dan menakutkan. Bagi Mashadi, lebih baik tidak usah mengaji di pesantren dari pada nanti terkena pukulan kiai. <br /><br />Keinginan Mashadi sendiri saat itu bukanlah mengaji di pesantren, malainkan bekerja mencari uang. Apalagi lingkungan keluarga dan masyarakat di daerahnya mayoritas pedagang. Kakaknya, H Zuhdi, membuka toko cukup besar. Kakak iparnya, H Mukhtar adalah pedagang batik terkenal di pasar Rembang, pasar Sulang, dan pasar Kaliori. Namun demikian, setelah beberapa waktu berhenti dalam kebimbangan, Mashadi akhirnya kembali lagi ke pesantren Kasingan. Kali ini dengan jurus baru. Untuk penyesuaian diri, Mashadi sementara waktu tidak ikut mengaji langsung pada Kiai Kholil. Bukan takut pukulannya, tapi untuk belajar terlebih dahulu secara diam-diam pada santri senior bernama Suja’i, yang tak lain ipar Kiai Kholil sendiri. Tak tanggung-tanggung, Mashadi langsung mengaji kitab Alfiyyah Ibn Malik, kitab nahw berbentuk seribu(an) nadham. <br /><br />Mashadi berhasil dan mendapat perhatian istimewa dari kiai dan teman-teman santrinya. Mashadi selalu duduk di depan dan paling pintar dalam setiap majlis pengajian nahw. Sejak itulah, kehadiran Mashadi mulai diperhitungkan. Bahkan teman-temannya, mempercayai Mashadi sebagai pengulang pelajaran kiai dan lurah pondok. Pada Juni 1935, Kiai Kholil mengawinkan Mashadi yang masih berusia 20 tahun, dengan puterinya, Ma’rufah bint Kholil, yang baru berumur 10 tahun. Sebagai menantu kiai, Mashadi dituntut untuk menjadi pengajar. Kenyataan ini membuat Mashadi bingung, karena banyak santri yang minta dibacakan kitab ini atau kitab anu. Padahal Mashadi sendiri belum pernah tahu wujudnya, apalagi mengajinya.<br /><br />Prinsip belajar candhak kulak (belajar sambil mengajar) pun dilakoninya. Mashadi belajar, atau lebih tepatnya musyawarah membaca kitab di Karanggeneng pada Kiai Kamil. Hasil musyawarah itu dibacakan besok paginya di depan para santri di Kasingan. Karenanya, jadwal mengaji di Kasingan sangat tergantung pada jadwal di Karanggeneng. Kalau Karanggeneng libur misalnya, pengajian di Kasingan pun otomatis turut libur. Itu berarti Mashadi kehabisan bahan. <br /><br />Lama kelamaan, Mashadi tidak betah dengan model candhak kulak ini. Mashadi pun berkeinginan meninggalkan Rembang. Yang penting bagi Mashadi adalah pergi dari ‘bumi panas’ Ponpes Kasingan. Karenanya, saat musim haji tiba, Mashadi nekat pergi ke Makkah dengan uang tabungan dari hasil jual kitab Bijuraimi Iqna’. Menjelang rombongan pulang ke Tanah Air, Mashadi teringat pengalamannya sebagai menantu kiai dengan pengetahuan pas-pasan. Mashadipun memutuskan tidak turut pulang dan tiketnya dijual. <br /><br />Bersama dua temannya, Suyuti Kholil dan Zuhdi dari Tuban, Mashadi bermukim di Makkah untuk memperdalam pengetahuan keagamaan. Selama setahun di sana, Mashadi berguru kepada Kiai Bakir, Syeikh Umah Hamdan al-Maghribi, Syeikh al-Maliki, Sayyid Amin, Syeikh Hasan Masysyath, Sayid ‘Alawi, dan Kiai Abdul Muhaimin. Dan pada musim haji berikutnya, Mashadi baru kembali ke Tanah Air. <br /><br />Kiai-Penulis yang Produktif<br /><br />Sejarah hidup Mashadi, selanjutnya disebut Kiai Bisri, memang menarik. Bukan saja karena Kiai Bisri seorang ulama, politisi, pengarang, dan sastrawan, tapi juga kehidupannya yang tidak seperti kebanyakan kiai di Jawa. Kiai Bisri dinilai agak ‘aneh’ dalam beberapa hal. Misal pandangannya tentang keikhlasan. Menurutnya, keikhlasan tidak lahir dengan sendirinya, melainkan lahir bersamaan dengan kondisi ketika seseorang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Faktor kondisi inilah yang sering dilupakan dalam menuntut keikhlasan. Misalnya, seseorang dipaksa ikhlas seusai bekerja, tanpa imbalan jelas. Ini, menurutnya, tidak lebih dari pemerkosaan terhadap muatan ikhlas. <br /><br />Mengapa seseorang lamban dalam berprestasi? Sebabnya antara lain, karena ia merasa malu menghitung ikhtiarnya dalam ukuran ekonomi. Dalam hal ini, Kiai Bisri tidak segan-segan memberi muatan ikhlas dengan perhitungan yang jelas secara ekonomis. Kiai Bisri ingin berkarya secara professional dan dari sinilah lahir dorongan untuk terus berkarya. “Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga, sangat wajar,” katanya pada suatu kesempatan kepada KH. Ali Ma’sum dari Krapyak. <br /><br />“Pak Bisri, Sampean pergi-pergi melulu. Kapan sampean sempat ngajar santri?” protes Kiai Ali Ma’sum suatu saat. “Meskipun saya tidak mengajar, sesungguhnya para santri mengaji pada saya, termasuk santri Sampean,” jawab Kiai Bisri enteng. Buku-buku karangan Kiai Bisri memang banyak dibaca para santri, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk Pesantren Krapyak Yogyakarta. Kiai Bisri juga relative jarang di rumah untuk mengajar para santri di pesantrennya. Sebagai seorang muballigh terkemuka, Kiai Bisri sering berdakwah keluar daerah, karena tidak tega menolak permintaan masyarakat yang mengundangnya berdakwah. Untuk itulah Kiai Bisri punya target ideal dengan menulis karya-karyanya. Selain mendapat akhirat, ekonomi juga didapatkannya. Mencari nafkah untuk kehidupan keluarga dan pendidikan anak, bukan hanya tanggung jawab, tapi keharusan yang berpahala. <br /><br />Karya Kiai Bisri tidak kurang dari 25 buah judul, baik, terjemahan, nadm/syi’r, maupun esai. Dan karyanya, dalam banyak hal, ditujukan pada dua obyek. Pertama, kelompok santri di ponpes. Karya-karya ini berupa Ilmu Bahasa Arab, terutama nahw, sharaf, manthiq, dan balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan. Karya-karya untuk mereka lebih banyak berupa ilmu-ilmu praktis terkait ‘ubudiyyah. <br /><br />Seputar al-Ibriz <br /><br />Karya tafsir Kiai Bisri Musthofa ini berjudul lengkap al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz dan lebih dikenal dengan al-Ibriz. Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini terlebih dahulu di-taftisy oleh beberapa ulama terkenal, seperti al-‘Allamah al-Hafidz KH Arwani Amin, al-Mukarram KH Abu ‘Umar, al-Mukarram al-Hafidz KH Hisyam, dan al-Adib al-Hafidz KH Sya’roni Ahmadi. Semuanya ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian, kandungannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah.<br /><br />Oleh penulisnya, seperti dinyatakan dalam kata pengantar, karya tafsir ini sengaja ditulis dalam Bahasa Jawa, dengan tujuan supaya orang-orang lokal, Jawa, mampu memahami kandungan al-Qur’an dengan seksama. Karya tafsir ini ditampilkan dengan ungkapan yang ringan dan gampang dicerna, hatta oleh orang awam sekalipun. Dan sebagai penguatan argumentasi di dalam karya ini, Kiai Bisri banyak ‘mencomot’ hasil pemikiran ulama-ulama sebelumnya. <br /><br />Kiai Bisri menuturkan, ‘Dene bahan-bahanipun tarjamah tafsir ingkang kawulo segahaken puniko, mboten sanes inggih naming metik saking tafsir-tafsir mu’tabarah, kados Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, lan sak panunggilanipun”. (Adapun bahan-bahan terjemah tafsir yang kami suguhkan ini, tak lain hanya memetik dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, seperti Tafsir al-Jalalain, Tafsir al-Baidhowi, Tafsir al-Khazin, dan sebagainya. Dari tuturan ini, dua point penting bisa diambil: karya ini disebutnya sebagai tarjamah-tafsir dan bahan-bahannya diambil dari tafsir-tafsir mu’tabar karya para ulama terdahulu. <br /><br />Namun demikian, bukan berarti pemikiran Kiai Bisri tenggelam sama sekali di telan gelombang pemikiran ulama-ulama sebelumnya. Ungkapan itu tak lain sebagai penggambaran atau tepatnya pengakuan, bahwa tafsirnya lebih banyak menukil pendapat ulama-ulama sebelumnya ketimbang pendapat pribadinya. Hanya saja sayangnya, Kiai Bisri jarang sekali menyebutkan sumber-sumber asal penafsirannya, misalnya ada kitab ini atau anu. Ketiadaan penyebutan sumber ini, pada akhirnya akan memberi kesan bahwa kitab al-Ibriz memang betul-betul murni pemikiran sang penulis dan bukan hasil ‘comotan’ dari kitab-kitab tafsir sebelumnya. Jarangnya penyebutan sumber ini, praktis menyisakan kesulitan tersendiri bagi pemakalah untuk melacak warna pemikiran yang bertaburan dalam tafsir al-Ibriz ini. Pemikiran al-Suyuti, al-Khazin, atau al-Baidhawi kah yang paling dominan mewarnai al-Ibriz, semuanya masih remang-remang. <br /><br />Metodologi Penulisan al-Ibriz<br /><br />Dalam memetakan metodologi penulisan al-Ibriz yang ditetapkan KH Bisri Musthofa, pemakalah hanya mengikuti apa yang telah dinyatakannya. Kiai Bisri menegaskan, metode penulisan al-Ibriz adalah sebagai berikut:<br />a. Ayat al-Qur’an ditulis di tengah dengan diberi makna gandul atau jebres khas pesantren-pesantren di wilayah Jawa. <br />b. Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir.<br />c. Keterangan-keterangan lain yang terkait dengan penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-lain. <br /><br />Apa yang ditegaskan Kiai Bisri ini, bisa menjadi langkah awal bagi kita untuk melakukan penelusuran lebih jauh dan dalam terhadap al-Ibriz ini, utamanya berkaitan dengan sistematika penulisannya. Untuk point a dan b, pemakalah tidak kerepotan mendeteksinya, karena keduanya tak terlalu jauh berbeda. Fungsinya mirip. Point b merupakan elaborasi bebas dari point a. Tapi untuk point c, hingga kini pemakalah masih belum memiliki kejelasan yang clear, apa yang Kiai Bisri maksudkan dengan kategori tanbih, faidah, qishshah atau muhimmah. Pun fungsi dari masing-masing kategori itu, belum tertemukan jawabannya. Ini karena Kiai Bisri tak pernah menjelaskannya. Kabut penasaran akhirnya terus menggelayuti benak pemakalah. <br />Selain itu, berdasarkan penelitian ‘prekok’ yang pemakalah lakukan, cukup banyak ‘kerancuan’ atau ketidakpastian perihal penggunaan ketiga kategori itu. Kategori faidah yang mulanya pemakalah asumsikan sebagai ruang penyebutan sabab nuzul al-ayat, ternyata tidak selamanya benar. Terbukti, terkadang sabab nuzul al-ayat juga disebutkan pada kategori muhimmah, tanbih, atau kategori yang lain. Misalnya, kategori faidah pada juz xv/847 memang digunakan untuk menuturkan sabab nuzul al-ayat Qs. al-Isra’ ayat 45. <br /><br />Tapi di kesempatan lain, pada juz xv/874, kategori tanbih juga digunakan untuk menyebutkan sabab nuzul al-ayat, yakni Qs. al-Isra’ ayat 111. Sabab nuzul al-ayat terkadang juga disebutkan pada kategori muhimmah, seperti pada juz xv/894, terkait Qs. al-Kahf ayat 28. Pun sabab nuzul al-ayat tak jarang disebutkan pada kesempatan-kesempatan lain di luar ketiga kategori itu. Misalnya pada juz xv/891 terkait Qs. al-Kahf ayat 23. Ketidakpastian seperti inilah yang memunculkan kerancuan dalam diri pemakalah. <br /><br />Hal lain yang tak kalah menarik, itu terkait penggunaan bahasa dalam tafsir al-Ibriz. Selain lokal, Jawa, bahasa ini juga memiliki unggah-ungguh. Ada semacam hirarki berbahasa yang tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya sangat tergantung pihak-pihak yang berdialog. Ini kekhasan tersendiri dari bahasa Jawa (termasuk juga bahasa Sunda), yang tidak dimiliki karya-karya tafsir lainnya. Karenanya, pemakalah berani menyimpulkan, bahasa Jawa yang digunakan oleh Kiai Bisri berkisar pada dua hirarki: bahasa ngoko (kasar) dan bahasa kromo (halus). <br /><br />Kedua hirarki bahasa ini dipakai pada saat berbeda. Bahasa ngoko digunakan tatkala Kiai Bisri menafsirkan ayat secara bebas, karena tidak ada keterkaitan dengan cerita tertentu dan tidak terkait dengan dialog antar dua orang atau lebih. Sementara bahasa kromo digunakan untuk mendeskripsikan dialog antara dua orang atau lebih, yang masing-masing pihak memiliki status sosial berbeda. Satu di bawah dan lainnya di atas. Satu hina dan lainnya mulia. Misalnya, deskripsi dialog yang mengalir antara Ashab al-Kahf dengan Raja Rumania yang lalim, Diqyanus, antara Qithmir (anjing yang selalu mengiringi langkah Ashab al-Kahf) dengan Ashab al-Kahf, antara Nabi Muhammad SAW dengan seorang konglomerat Arab-Quraisy bernama Uyainah bin Hishn, antara Allah SWT dengan Iblis yang enggan menuruti perintah-Nya untuk bersujud pada Adam AS, juga antara Khidir AS dengan Musa AS. <br /><br />Kiai Bisri terkadang juga menampilkan Hadis Nabi apa adanya, tanpa menyebutkan rangkaian sanadnya. Statusnya, shahih, hasan, atau dhaif-kah, juga tak disebutkannya. Penyebutan semacam ini jelas akan menimbulkan pelbagai pertanyaan, utamanya terkait status Hadis itu. Selain menampilkan Hadis Nabi, Kiai Bisri terkadang juga menampilkan pendapat para shahabat. Misalnya, pendapat Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah, terkait penafsiran Qs al-Isra’ ayat 111. Dalam menafsiri Qs. al-Baqarah ayat 1, alim-laam-miim, Kiai Bisri sebenarnya juga menggunakan interpretasi a la Ibn ‘Abbas. Hanya saja, Kiai Bisri tidak menyebut secara langsung, penafsiran siapa yang dinukilnya. <br /><br />Pertanyaan selanjutnya: metode apakah yang ditempuh Kiai Bisri dalam menyusun karya tafsirnya ini? Berdasarkan analisis yang pemakalah lakukan secara ‘ijmalistis’ alias global dan tidak mendetail ini, pemakalah cencerung menyimpulkan metodenya adalah tahlili. Cocok juga disebut sebagai al-tahlili al-wajiz, seperti halnya Tafsir al-Jalalain. Dan tak salah juga disebut ijmali. Sedang manhaj-nya tak lain adalah al-ma’tsur. <br /><br />Kasus Penafsiran dalam al-Ibriz<br /><br />Perihal penafsiran Kiai Bisri dalam karya tafsirnya ini, pemakalah akan memberikan beberapa contoh penafsirannya secara acak. Misalnya terkait Qs. al-Isra’ ayat 23, KH Bisri menulis, ‘Allah Ta’ala wus perintah supoyo siro kabeh ora nyembah kejobo namung marang Panjenengan Dewe, lan supoyo ambeciki marang wong tuwo loro, ateges ngabekti marang bopo biyung. Lamun salah suwijine wong tuwo loro utowo karo pisan wus tuwo, tur dadi tanggungan iro, ojo pisan-pisan siro ngucap marang deweke: ‘opo’ utowo ‘hush’. Lan siro ojo nyentak marang wong tuwo loro. Ngucapo marang wong tuwo loro sarono pangucap kang bagus, alus’. <br /><br />(Allah Swt telah memerintahkan, supaya kamu semua tidak menyembah selain-Nya dan supaya berbuat baik kepasa kedua orang tua, maksudnya berbakti kepada ibu-bapak. Jika salah satu dari atau keduanya sudah lanjut usia, dan menjadi tanggunganmu, maka jangan sekali-kali kamu berkata; ‘apa’ atau ‘hush’. Kamu jangan membentak keduanya. Berkatalah pada keduanya dengan perkataan yang baik, halus).<br /><br />Terkait Qs. al-Isra ayat 29, Kiai Bisri menulis, ‘Tangan iro ojo siro belenggu oleh gulu iro, ateges medit ora infaq babar pisan, lan iyo ojo iro beber babar pisan, mundak-mundak siro dadi wong pinahidu [meryo ora aweh babar pisan] utowo dadi getun ora duwe opo-opo [mergo olehe infaq dikabehaken].’ <br /><br />(Tanganmu jangan kamu belenggukan pada leher, maksudnya pelit tidak berinfaq sama sekali, pun jangan kamu umbar sama sekali, nanti kamu menjadi orang yang dicela (karena tidak memberi sama sekali) atau menjadi menyesal tidak punya apa-apa [karena diinfakkan semua]). <br /><br />Misalnya lagi, terkait ayat yang berbunyi wa la tajhar bi shalatika, Kiai Bisri menulis: Tanbih; Wa la tajhar bi shalatika. Dawuh bi shalatika iki ulama-ulama suloyo. Miturut shahabat Ibn ‘Abbas, shalatika iku tafsirane moco al-Qur’an. Kolo iku Nabi Muhammad SAW ora pareng banter-banter moco al-Qur’an mundhak kerungu wong-wong kafir, banjur dadi sebabe wong-wong kafir podo misuh-misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Rehning zaman sak iki, ambanteraken moco al-Qur’an iku ora biso dadi sebabe wong kafir podo misuhi al-Qur’an lan Allah Ta’ala. Mulo ambanteraken moco al-Qur’an iku ora dadi larang, asal ora tasywisy. Miturut Siti ‘Aisyah, shalatika iku do’a. Dadi, do’a iku banter nemen-nemen ora bagus, alon nemen-nemen sahinggo awake dewe ora kerungu iyo ora bagus. <br /><br />Tanbih: wa la tajhar bi shalatika. (Tentang) firman bi shalatika ini ulama berbeda pendapat. Menurut shahabat Ibn Abbas, penafsiran shalatika itu membaca al-Qur’an. Saat itu Nabi Muhammad SAW tidak diperkenankan membaca al-Quran keras-keras, karena akan didengar orang-orang kafir yang menjadi sebab (bagi) mereka untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Adapaun saat ini, mengeraskan membaca al-Qur’an itu bukan menjadi sebab bagi orang-orang kafir untuk mengata-ngatai (menjelek-jelekkan) al-Qur’an dan Allah Ta’ala. Karenanya, mengeraskan membaca al-Qur’an tidak menjadi larangan, asalkan tidak tasywisy. Menurut Siti ‘Aisyah, shalatika itu do’a. Jadi, membaca do’a terlalu keras itu tidak baik, terlalu pelan sehingga diri kita tidak mendengarnya juga tidak bagus. Wa Allah a’lam bi al-shawab.<br /><br />Tentang penafsiran shalatika ini Kiai Bisri memang ‘mengekor’ kepada ulama sebelumnya, yaitu Ibn ‘Abbas dan ‘Aisyah. Namun ketika persoalan larangan mengeraskan bacaan al-Qur’an atau do’a itu dikontekkan pada saat ini, Kiai Bisri memberi ramuan penafsiran yang berbeda. Menurutnya, jika saat ini pembacaan al-Qur’an secara keras tidak menjadi sebab bagi orang-orang kafir menjelek-jelekkan al-Qur’an dan Allah Ta’ala, maka hukum pelarangan itu menjadi hilang. Dalam hal ini, Kiai Bisri paham betul kaidah fikih, al-hukm yadur ma’a al-‘illah wujudan wa ‘adaman, taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman wa al-amkan wa al-ahwal atau idza wujidat al-‘illah wujida al-hukm wa in intafat al-‘illah intafa al-hukm. <br /><br />Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat<br /><br />Ketika menafsirkan Qs. al-Rahman ayat 27 yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika dzu al-jalali wa al-ikram, Kiai Bisri menafsirkan, ‘Sekabehane kang ana ing bumi (hewan-hewan lan liya-liyane) kabeh rusak. Lan tetep ora rusak Dzate Pangeran ira kang kagungan sifat kahagungan lan mulyaakan marang wong-wong mukmin.’ (Semua yang ada di bumi [hewan-hewan dan yang lainnya], semua hancur. Dan Dzat Allah SWT yang memiliki sifat agung dan memuliakan kaum mukmin tidak hancur.)<br /><br />Terkait Q.s al-Qashshash ayat 88 yang berbunyi wa la tad’u ma’a Allah ilahan akhara la ilaha illa huwa kullu syai’in halikun illa wajhahu lahu al-hukmu wa ilaihi turjaun, Kiai Bisri menuliskan, ‘Siro ojo nyembah bareng-bareng karo nyembah Allah. (Ojo nyembah) sesembahan liyo, ora ono Pangeran kang hak disembah kejobo namung Allah ta’ala dewe. Sekabehane opo bae iku mesti rusak kejobo Panjenengane Allah. Iku namung kagungane Allah ta’ala dewe sekabehane putusan kang lestari. Lan namung marang Panjenengane Allah dewe siro kabeh bakal dibalekake (sowan, tangi sangking kubur banjur podo ngerasaake walese Pangeran dewe-dewe)’. <br /><br />(Kamu jangan menyembah Allah dengan disertai menyembah selain-Nya. Jangan menyembah sesembahan lain. Tidak ada Pangeran [Tuhan] yang hak disembah kecuali Allah saja. Apapun yang ada pasti hancur kecuali Dzat Allah. Keputusan yang abadi hanya kepunyaan Allah. Dan hanya pada Allah lah kalian semua akan dikembalikan [bangun dari kubur lantas masing-masing merasakan balasan Tuhan]). Wa Allah a’lam. <br />Sedang terkait Qs. al-Zumar ayat 67 yang berbunyi, wa al-samawatu mathwiyyatun bi yaminih, Kiai Bisri mengartikannya ‘utawi piro-piro langit iku dilempit kelawan asto tengene Allah.’ (Langit dilipat dengan tangan kanan Allah). Lantas Kiai Bisri menafsirkan, ‘Langit-lagit dilempit, dikumpulaken serana kakuasaane Allah Ta’ala. <br />Itulah beberapa kasus penafsiran dalam al-Ibriz Li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-Aziz karya Kiai Bisri Musthofa, ayahanda al-marhum KH Cholil Bisri dan KH A Musthofa Bisri. Dan masih banyak kasus penafsiran lain yang tak kalah menarik dan patut dielaborasi lebih jauh pada kesempatan lain. Wa Allah a’lam bi al-Shawab.[]Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-1153124244649726682006-07-17T01:14:00.000-07:002007-11-22T02:51:38.343-08:00Konsep Iman, Islam, Kufr, dan Ahli Kitab dalam Qur�n, Liberation & PluralismOleh Nurul Huda Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/pictures/rul.jpg" align="left" hspace="10" alt="Nurul" />Salah satu manifestasi (dan konsekuensi) meningkatnya kekakuan teologi Islam adalah pembakuan istilah-istilah seperti iman, Islam dan kufr. Istilah-istilah ini tidak lagi dipandang sebagai kualitas yang dapat dimiliki individu; kualitas yang dinamis dan beragam intensitasnya sesuai dengan tahap-tahap hidup individu itu. Bahkan, istilah-istilah itu kini dipandang sebagai kualitas yang tertanam dalam kelompok, sebagai pagar karakteristik etnis. Cara istilah ini dipergunakan di dalam al-Qur’an dan beberapa literatur tafsir menunjukkan bahwa hubungan antara pemaknaan awal dengan penggunaannya saat ini telah agak berselisih. Meski beberapa aspek pemaknaan kontemporer berakar dari yang awalnya, ada aspek lain yang telah diabaikan sepenuhnya. = Farid Esack, al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000), hal. 156 =<br /><br />A. Muqaddimah<br /><br />Farid Esack, dalam Qur’an, Liberation and Pluralism yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan titel al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, mencoba memberikan tawaran pada umat Islam dewasa ini, untuk melakukan reinterpretasi secara radikal terhadap istilah-istilah agama yang telah mengalami pembakuan dan pembekuan. Pembakuan dan pembekuan ini pada gilirannya akan kian mempersulit upaya mewujudkan keadilan. Karena itu, yang terjadi, istilah itu justeru akan menjadi alat hegemoni baru satu komunitas atas komunitas lainnya. Imân, Islâm dan kufr, menurut Esack, adalah istilah yang paling rawan menimbulkan kesenjangan, bahkan konflik sosial, jika tidak dipahami secara dinamis. <br /><br />Untuk itulah, upaya membedah pikiran-pikiran – meminjam bahasa Farid Esack – progresif yang ditawarkannya perlu dilakukan secara kritis dan mendalam. Sehingga, hubungan keberagamaan yang saling menghargai dan menguntungkan satu sama lain bisa dikedepankan. Sebab, hanya dan hanya dengan model keberagamaan seperti inilah, harmonisasi antar berbagai pemeluk agama akan terajut dengan sangat indah memukau.<br /><br />B. Sketsa Biografi Farid Esack <br /><br />Farid Esack lahir pada 1959 di pinggiran kota Cape Town, tepatnya di Wymberg, Afrika Selatan. Ia lahir dari seorang ibu yang ditinggalkan suaminya bersama lima orang anak yang lain. Sepeninggal sang ayah yang raib entah kemana itulah, Esack bersama saudara kandung dan saudara seibu hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, kawasan pekerja miskin untuk orang hitam dan kulit berwarna. Ibu Esack lantas mau tidak mau harus memainkan peran ganda sebagai ayah sekaligus ibu bagi enam anaknya yang masih kecil-kecil.<br /><br />Karena keterbatasan perekonomian, tak jarang mereka mengemis meminta belas kasihan orang lain. Meskipun demikian, Esack tak menghentikan aktivitas menuntut ilmu. Di tengah keterhimpitan hidup, Esack tetap rajin bersekolah meski tanpa alas sepatu dan buku-buku yang memadai. Namun, di atas segalanya, tiada pengalaman traumatik yang menggores luka keluarga Esack, kecuali tatkala ia menyaksikan ibunya menjadi korban pemerkosaan. <br /><br />Kenyataan-kenyataan pahit yang dialami keluarganya itu menjadi salah satu inspirasi penting dalam perkembangan pemikiran Esack yang meyakini bahwa berteologi bukan berarti mengurusi “urusan” Tuhan semata: neraka, surga dan lain-lain. Bagi Esack, teologi yang terlalu mengurusi Tuhan, sementara Tuhan adalah zat yang tidak perlu diurus , adalah teologi mubazir yang terlalu banyak menyedot energi umat. Esack meyakini bahwa teologi harus dipraksiskan, bukan digenggam erat-erat untuk tujuan kesalehan personal (individual piety). Dengan mendekati dan mengasihi makh-luk-Nya, demikian Esack, maka kita sama saja telah mengabdi kepada Tuhan. <br /><br />Satu pengalaman eksistensial lainnya yang berkaitan dengan berteologi praksis di atas, yang melampaui batas demarkasi ideologis sempat dialami Esack dan keluarganya. Tatkala kesulitan hidup makin mendera, keluarga Esack sangat bergantung kepada para tetangga Kristen yang selalu rutin memberi makanan ala kadarnya. Esack secara khusus juga tak pernah melupakan jasa Tuan Frankl, seorang Yahudi, yang sering memperpanjang batas pengembalian pinjaman barang dan uang untuk waktu yang tak terbatas. Esack juga seorang pengagum dan pengidola Abû Dzarr al-Ghifârî, bapak sosialisme Islam. Barangkali pengalaman hidupnya yang pahit mengilhami gaya hidup Esack selanjutnya yang bersahaja. <br /><br />B. Pendidikan dan Aktivisme <br /><br />Di tengah kesulitan yang mendera hebat, Esack masih sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di Bonteheuwel Afsel. Pada waktu itu, ia memperoleh pendidikan berdasarkan pendidikan nasional Kristen. Terkait aktivitasnya, sejak usia 9 tahun Esack telah menceburkan diri dalam aktivitas keagamaan secara intens. Ia aktif di Jamaah Tabligh, sebuah organisasi keagamaan yang memiliki jaringan internasional dan berpusat di Pakistan. Di dalam organisasi yang menekankan imitasi ke masa awal Islam (salaf) inilah, Esack memahami makna persaudaraan (brotherhood). Esack juga berkesempatan menuntut ilmu di Pakistan untuk meneruskan studinya di Jami’ah al-‘Ulum al-Islamiyah. Di sini Esack muda mendapat gelar Bachelor of Art (BA) dalam bidang Hukum Islam. <br /><br />Semakin lama persentuhan emosional dan teologis Esack dengan Jamaah Tabligh makin meluntur seiring dengan makin melebarnya jurang pemisah dalam banyak pemahaman agama. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga muslim yang menjadi minoritas menyadarkan Esack betapa tidak enaknya menjadi minoritas: sering dilecehkan dan ditindas. Pada titik inilah, ia bisa merasakan kecemasan kaum Hindhu dan Kristen yang minoritas di negeri Pakistan dan sering mendapatkan diskriminasi sosial dan pelecehan agama. Pengalaman eksistensial sewaktu kecil banyak berhutang budi kepada tetangga Kristen dan “tukang kredit” berdarah Yahudi, membuatnya sadar bahwa persaudaraan universal lintas agama dapat digalang untuk membebaskan kaum yang tertindas. <br /><br />Akhirnya, jurang antara teologi konservatif yang masih melekat di dalam dirinya dengan teologi praksis progresif semakin terang benderang. Esack lantas menetapkan pilihan menanggalkan konservatisme. Ia makin sering mangkir dari pertemuan-pertemuan rutin Jamaah Tabligh dan kerap mengikuti diskusi yang diadakan Gerakan Pelajar Kristen (yang kemudian dinamai Breakthrough). Tokoh kelompok tersebut yang paling inspirasional adalah Norman Wray yang mentaji mitra Esack untuk memulai proyek kemanusiaan universal lintas agama. Esack mulai mengajar studi Islam di sekolah yang dipimpin Wray. Tugas-tugas paramedis di Penjara Pusat Karachi juga dikerjakan bersama serta terjun sebagai pengajar di perkampungan kumuh Hindhu dan Kristen. <br />Pengalaman eksistensial itulah yang mengubah pandangan teologis Esack dan ia tanpa putus asa berusaha mengawinkan iman dan praksis di Afsel. Pengalaman di Pakistan menunjukkan adanya titik temu pandangan seksis dan rasialis di mana ia sering menemui penindasan terhadap wanita, sementara Afsel sarat dengan sistem apartheid. Esack menempuh studi di Pakistan tatkala Pakistan berada di bawah pemerintahan Ayub Khan dan Zulfikar Ali Butto (1956-1977). Pada tanggal 5 Juli 1977, Jenderal Zia ul-Haq yang berpandangan konservatif dalam pemikiran keagamaannya melakukan kudeta tak berdarah.<br /><br />Sembilan tahun Esack menghabiskan waktunya belajar teologi dan ulum al-Qur’an di Pakistan. Ia kembali ke Afsel pada tahun 1982. Bersama tiga sahabat karibnya, ‘Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Shamiel Manie dari University of Western Cape, Esack membentuk organisasi The Call of Islam pada tahun 1984. Ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi ini berafiliasi pada Front Demokrasi Bersatu (UDF), didirikan masyarakat lintas-agama tahun 1983 untuk menentang rezim apartheid.<br />Perlawanan terhadap rezim apartheid mencapai puncaknya pada dekade 1980-an. Sebagai komponen inti dari UDF, The Call of Islam memainkan peran penting dalam menggalang solidaritas interreligius dan lintas agama untuk mendobrak status quo. Di bawah naungan UDF, kaum Yahudi, Kristen dan Islam mentahbiskan perlawanan kaum beriman terhadap penindasan dalam bentuk apapun. <br /><br />Farid Esack ternyata masih menyimpan semangat untuk belajar lagi. Di tengah kecaman kaum konservatif Islam yang menuding Esack dan The Call of Islam sebagai kolaborator kafir, Esack seringkali bersedih mengapa mereka selalu mendasarkan diri pada al-Quran untuk menilai dengan prasangka negatif terhadap non-Islam. Lebih ironis lagi, mereka mengecap kafir orang yang bekerjasama dengan Yahudi dan Nashrani meskipun untuk mencapai tujuan mulia. Ayat-ayat yang sering dipakai sebagai justifikasi antara lain: <br /><br />وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (البقرة: 120).<br /><br />Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar.” Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong kamu” (QS al-Baqarah: 120). <br /><br />يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (المائدة: 51).<br /><br />Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin di antara kamu” (QS al-Ma’idah: 51).<br /><br />Hal inilah yang mendorong Esack mempelajari al-Quran dan Injil. Ia sangat penasaran mengapa kitab suci yang seringkali digunakan untuk melegitimasi penindasan dan ekslusivisme dengan adanya penafsiran-penafsiran sempit. Pada tahun 1989, ia meninggalkan negerinya lagi untuk belajar hermeneutika al-Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman. Di Universitas Theologische Hochschule, Frankfrut Am Main Jerman, Esack menekuni studi Bibel selama satu tahun. Adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh geral doktoralnya dalam kajian tafsir. Saat ini, aktivitas Esack sangatlah padat. Ia tak pernah membuang waktunya secara cuma-cuma kecuali untuk mengajar secara aktif di University of Wetern Cape serta menulis karya-karya ilmiah dan menghadiri seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di beberapa perguruan tinggi papan atas seperti Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Cambridge, Birmingham, Amsterdam dan CSUN (California State University Nortridge). <br /><br />C. Gagasan tentang Imân, Islâm, Kufr, dan Ahli Kitab <br /><br />1. Imân<br /><br />Ketika berbicara tentang îmân, Farid Esack acapkali mengutip QS al-Anfâl: 2-4. <br /><br />إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ (2) الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ (4). (الأنفال: 2-4).<br /><br />Artinya: “Sungguh, mu’minûn adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka; dan bila dibacakan ayat-ayat-Nya, semakin kuatlah iman mereka dan kepada Tuhanlah mereka menyerahkan diri (2), yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah mu’minûn yang sebenar-benarnya. (3) Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia.” (4). (QS al-Anfal: 2-4). <br /><br />Menurut Esack, ayat diatas adalah yang paling eksplisit mendefinisikan kata mu’min. Meski mu’min di sini secara luas dimaknai sebagai “mu’min yang utuh”, ide tentang keutuhan atau ketidakutuhan îmân itu sendiri menunjukkan dinamisme konsep, dinamisme yang lebih jauh menggarisbawahi adanya îmân yang diperkuat dan dipertinggi. Teks ini juga merefleksikan hubungan antara îmân dengan amal saleh. <br /><br />Esack juga memberikan definisi îmân, kendati banyak mengadopsi gagasan pemikir-pemikir sebelumnya, seperti al-Baidhawi, Lane, atau Fazlur Rahman. Menurut Esack, îmân merupakan bentuk verbal dari akar kata a-m-n yang merujuk pada pengertian “aman”, “mempercayakan”, “berpaling kepada”, yang dari sana diperoleh makna “keyakinan yang baik,” “ketulusan”, “ketaatan”, atau “kesetiaan”. Bentuk amânah memiliki makna ganda “percaya” dan “menyerahkan keyakinan.” Dengan demikian, makna primernya adalah “menjadi setia pada apa yang telah dititipkan Tuhan kepada dirinya dengan keyakinan teguh di dalam hati; bukan hanya di lidah.” <br /><br />Pengertian îmân seperti ini, sebelumnya telah diberikan oleh E.W. Lane melalui kamusnya, Lane’s Arabic-English Lexicon. Dengan demikian, pemaknaan îmân model Esack tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan pemaknaan menurut Lane. Sebab, Esack dengan terang-terangan merujuk karya Lane itu. Selain itu, Esack juga mengutip pandangan-pandangan al-Baidhâwî. Esack menulis, dengan mengutip al-Baidhâwî, ketika a-m-n diikuti partikel bi, kata itu berarti “mengakui” atau “mengenali”. Kata ini juga dipakai dalam makna “percaya”, yaitu ketika orang merasa aman untuk mempercayakan sesuatu kepada seseorang. <br /><br />Esack kemudian menulis dengan mengutip Fazlur Rahman; menurut al-Qur’an, “îmân adalah tindakan hati, keputusan untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan firman-Nya, memperoleh kedamaian, rasa aman, dan benteng terhadap cobaan.” Karena itu, lanjut Esack, melalui pemahaman atas QS al-Anfâl: 2-4 itu, setidaknya ada tiga tema pokok yang dapat diambil terkait persoalan îmân ini. Pertama, watak dinamis îmân. Kedua, kesalingterkaitan antara îmân dengan amal saleh. Dan ketiga, îmân sebagai respon personal kepada Tuhan. <br /><br />Dalam karya agungnya, al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, Esack mengulas cukup panjang tentang kontroversi fluktuasi îmân: apakah îmân dinamis atau justrru statis? Sebagai bentuk pembandingan, supaya mendapatkan gambaran yang utuh dan jernih tentang persoalan ini, disamping menuliskan argumen kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân, Esack juga menampilkan kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Setelah itu Esack baru memberikan pandangannya, kendati tetap jatuh pada salah satu kelompok yang “berseteru” itu. Ini merupakan keputusan wajar seorang penafsir.<br />Dalam bukunya ini, pertama-tama Esack menuliskan pandangan kelompok yang tidak mengakui dinamisasi îmân. Esac menulis, kebanyakan penafsir berpendapat bahwa dalam kalimat “semakin kuatlah îmân mereka” yang semakin menguat adalah aspek penegasan dan kepuasan hati, bukan îmân itu sendiri. Al-Thabari mengatakan: “Ditambahkanlah pengakuan lebih banyak lagi pada pengakuan mereka saat itu.” Al-Zamakhsyarî mengatakan, “yang bertambah adalah keyakinan dan kepuasan di hati.” Al-Râzî menegaskan, yang bertambah itu kepastian, ketegasan, dan kesadaran (bukan îmân itu sendiri). <br /><br />Esack kemudian membandingkan gagasan kelompok ini dengan kelompok yang berseberangan, yakni kelompok yang mengakui dinamisasi îmân. Sebagai wakil dari kelompok ini, Esack menampilkan Ibn ‘Araby (dari kalangan sufi), al-Thabathabai (dari kalangan Syiah), dan Râsyid Ridha (dari kalangan Sunni). Menurut Esack, ketiga tokoh terkemuka dari wakil kelompok yang berbeda-beda ini dengan cara yang berbeda-beda pula menerima ide bahwa îmân itu sendirilah yang bertambah. Ibn Araby menyebutnya sebagai “kemajuan dari tingkat pengetahuan menuju tingkat keyakinan.” Al-Thabathabai sepakat bahwa “cahaya îmân itu memancar secara berangsur-angsur ke dalam hati, dan intensitasnya meningkat sampai terang sempurna... îmân kemudian semakin bertambah dan tumbuh sampai pada tingkat keyakinan.” Sedang Ridha menafsirkan bertambahnya îmân sebagai “keyakinan (yang makin besar) untuk patuh, kuatnya kepuasan hati, dan kekayaan dalam pengenalan.” Ridha juga mengatakan, “sebenarnya îmân dalam hati itu sendirilah yang bertambah atau berkurang.” <br />Pertanyaannya kemudian, di mana posisi Farid Esack? Esack berdiri kokoh di tengah pandangan kelompok kedua yang mengakui dinamisasi dan fluktuasi îmân. Esack menulis, persoalan paling signifikan adalah bahwa îmân merupakan pengakuan pribadi dan respon aktif terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi îmân ini mengimplikasikan bahwa îmân berfluktuasi dan dinamis. Esack kemudian merujuk setidaknya pada dua hadis: “îmân akan menyelamatkan manusia di akhirat nanti” dan “îmân itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tiada tuhan selain Allah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. (Bahkan) kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.” Esack melanjutkan, meski sumber asli îmân adalah karunia dan kemurahan Tuhan, îmân tatap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh berbagai pengalaman sosial dan personalnya. Kemudian secara lebih tagas lagi Esack menyatakan, “semua ini membuktikan bahwa realitas tingkatan îmân lebih bisa diterima dibandingkan ide tentang îmân yang stabil dan tidak berubah.” Bagaimana kita menjelaskan posisi pemikiran Esack yang justeru berdiri di tengah kelompok kedua? Untuk menjawab pertanyaan ini, diskusi yang baik perlu kita lakukan. <br /><br />Tentang îmân yang selalu terkait dengan amal saleh, seperti tergambar dalam QS al-Anfâl: 2-4 di atas, Esack menyatakan, îmân secara instrinsik terkait dengan amal saleh, entah sebagai bagian atau konsekuensi dari îmân. Esack kemudian mengutip ucapan Rahman, bahwa memisahkan îmân dari tindakan adalah absurd dan tak dapat diterima menurut pandangan al-Qur’an. <br /><br />Lagi-lagi, Esack juga setuju dengan gagasan pemikir sebelumnya, Izutsu. Bahkan Esack mengatakan, penjelasan paling baik tentang hubungan ini adalah seperti yang dikatakan Izutsu: “Kaitan terkuat dari hubungan semantiknya mengikat shâlih (kesalehan) dan iman sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihah (amal saleh)...sehingga kita dapat dibenarkan jika mendefinisikan yang pertama dalam terma yang kedua, atau mengekspresikan yang kedua dalam terma yang pertama.” <br /><br />Dalam kesempatan lain, terkait hubungan antara îmân dan amal saleh ini, Esack juga menulis sekaligus menyentil tradisi kaum muslim secara umum yang keimanannya tidak menjadikan dirinya peka terhadap realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Esack menyindir, îmân (keyakinan) kita seperti jubah dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid, sehingga keyakinan diceraikan dari kenyataan dan sipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Banyak diantara kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan mendengar di dalam masjid atau daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi tuli. Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya. <br /><br />Dengan pernyataan ini, jelas bahwa Esack sangat menekankan teori keimanan yang diiringi praksis tindakan. Keimanan tak ada maknanya, tanpa diiringi tindakan nyata bagi kehidupan masyarakat. Keduanya harus dipadukan, laksana – meminjam bahasa Izutsu – benda dan bayangannya. Dan inilah sebenarnya, yang melatari Esack menulis buku al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme.<br /><br />2. Islâm <br /><br />Ketika mengulas terma Islam, mula-mula Farid Esack mengutip QS Ali Imrân: 19: <br /><br />إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ (ال عمران: 19).<br /><br />Artinya: “Sungguh, dîn di sisi Allah hanya Islâm. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena dengki diantara mereka. Barang siapa menolak (yakfur) ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imrân: 19).<br /><br />Menurut Esack, sebagai bentuk invinitif dari aslama, Islâm bararti “tunduk”, “menyerah”, “memenuhi atau melakukaan”. Dalam konteks kalimat “ia masuk ke dalam al-silm”, Islâm diartikan sebagai nama suatu agama. Istilah ini juga bermakna “rekonsiliasi”, “damai” atau “keseluruhan”. Dalam hal ini, secara tidak langsung memang, sebenarnya Esack “mengakui” dirinya banyak terpengaruh oleh pemaknaan yang tawarkan pemikir sebelumnya, seperti Rasyid Ridha, Amir Ali, dan Muhammad Ali. Kedua nama terakhir ini, oleh Esack diidentifikasi sebagai kaum liberal Muslim.<br /><br />Esack menulis (dan menyetujuinya), Rasyid Ridha adalah satu-satunya yang membedakan secara eksplisit antara Islâm yang dilembagakan dengan yang tidak. Ridha berpendapat, penggunaaan al-Islâm dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut Muslim, masih relatif baru, dan didasarkan pada prinsip fenomenologi “agama sebagai apa yang dianut oleh para pemeluknya.” Islam sosial dan Islam adat, “yang beragam dan tergantung pada perbedaan yang terjadi pada penganutnya melalui penerimaan yang tidak kritis, tak ada hubungannya dengan Islâm yang sebenarnya, tapi sebaliknya menyimpang dari iman yang sejati. <br /><br />Tentang pemaknaan Islam yang tidak sektarian, Farid Esack juga setuju dengan pandangan Cristian Troll. Troll misalnya, mengatakan: “Islâm primordial dan universal, yaitu penyerahan diri kepada Yang Absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan, di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang...Setiap respons tulus terhadap panggilan dari sang Misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan Islâm eksistensial dan personal.” <br /><br />Dan jika ditelusuri lebih jauh, gagasan Esack tentang Islam ini sebenarnya banyak diwarnai oleh gagasan Jane Smith dalam karyanya, A Historical and Semantic Study of the Term ‘Islam’ as seen in Sequence of Qur’an Commentaries. Bahkan, jika kita menelaah secara seksama karya Esack al-Qur’an, Liberalisme dan Pluralisme, kita akan melihat betapa Jane Smith paling banyak dijadikan referensi gagasan Esack tentang term ini. Misalnya, Esack setuju dengan Smith yang memperlihatkan, bahwa arti yang asli dari Islâm terdapat dalam gabungan pemahaman individu dan kelompok. Dalam tafsir tradisional, Islâm adalah ketundukan individual sekaligus nama suatu kelompok. Dan masih banyak lagi gagasan-gagasan Jane Smith yang diadopasi (secara kritis?) oleh Esack dalam karyanya ini.<br /><br />Yang menjadi persoalan dalam wacana dominan Muslim kontemporer, menurut Esack, adalah wacana itu didasarkan pada ide bahwa Islâm hanyalah Islam yang sudah dilembagakan. Di dalam teks yang menggunakan kata itu jelas terkandung makna personalis sekaligus kelompok. Esack lantas menganjurkan, supaya kedua pengertian itu ditampung dalam setiap upaya untuk membuat ruang bagi keduanya: pentingnya ketundukan pribadi dalam kerangka identifikasi kelompok, sekaligus kemungkinan ketundukan pribadi di luar parameter historis komunitas Muslim. <br /><br />Esack juga menulis, meski QS Ali Imrân: 19 acap digunakan untuk menegaskan keutamaan Islam atas agama-agama lain, muatan universal dalam istilah Islâm memberi pemahaman bahwa teks itu ditujukan bagi siapa saja yang tunduk pada kehendak Tuhan. Dengan demikian, cakupan ini memasukkan agama-agama lain serta beragam kewajiban dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya, dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka. Karena itu, Esack setuju dengan ucapan Ridha yang menyatakan, Muslim yang sejati adalah yang tak ternoda oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apapun, dalam periode kapanpun, dan di tempat asal manapun.” Dari sinilah, gagasan Esack tentang pemaknaan asal Islam menjadi terurai dengan sangat nyata. Dan gagasan Esack – kendati banyak setuju dan mengadopsi gagasan pemikir muslim modernis sebelumnya – inilah yang mentahbiskan dirinya sebagai pemikir muslim progresif yang layak mendapat apresiasi tinggi.<br /><br />3. Kufr <br /><br />Dalam merefleksikan makna kufr, Esack berpijak pada QS Ali Imrân: 21-22. <br />إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِحَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (21) أُولَئِكَ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ. (22). (ال عمران: 22).<br /><br />Artinya: “Sungguh, orang-orang yang menolak (yakfurûn) ayat-ayat Allah, dan membunuh para nabi tanpa hak dan membunuh orang-orang yang mengajak pada keadilan, maka kabarkanlah bahwa mereka akan memperolah siksa yang pedih. (21). Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya, dan mereka sekali-kali tidak akan memperoleh penolong.” (22). (QS Ali Imrân: 21-22).<br /><br />Menurut Esack, teks ini menggabungkan yang doktrinal (kufr) dengan yang sosiopolitis (keadilan). Bukan hanya mencela kufr dan orang-orang yang menghalangi keadilan, teks ini bahkan menjanjikan bagi mereka “siksaan yang pedih” dan hilangnya dukungan. Dan kalimat “orang-orang yang menolak ayat-ayat Allah” adalah salah satu cara untuk menggambarkan kaum lain dalam al-Qur’ân, dengan memakai bentuk-bentuk dari kufr. Bentuk lain adalah kâfir, dan jamaknya kuffâr atau kâfirûn. <br /><br />Dalam pemaknaan etimologisnya, Esack setuju dengan pemaknaan yang diberikan Ibn Mandzur dan Lane. Keduanya memaknai kufr dengan “menutup”. Kemudian kufr digunakan untuk penutupan sesuatu dengan niat untuk menghancurkannya. Namun – dalam hal ini Esack setuju dengan al-Baidhawi – pemaikaian awalnya yang paling lazim adalah “penutupan perbuatan baik” yaitu “tidak bersyukur.” Esack juga sepakat dengan Izutsu yang mengatakan, ketika Islâm diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim dengan penolakan terhadapnya. Seorang kâfir, dengan demikian, berarti “orang yang menerima kebaikan dari Tuhan, namun tidak bersyukur atau malah mengingkarinya.” <br /><br />Izutsu juga menunjukkan, inti struktur (makna primer) term kufr bukan “tak percaya”, melainkan “tak bersyukur” atau “tak tahu berterima kasih”. Di dalam al-Qur’ân, kufr mendapat makna sekunder “orang yang tak meyakini Tuhan”, karena ia sering muncul sebagai lawan dari mu’min. Karenanya, Esack menuliskan, obyek kekufuran di dalam al-Qur’an seringkali berupa keesaan Tuhan, kitab suci, tanda-tanda Tuhan, hari kebangkitan, dan para nabi. Terkadang Esack juga mengaitkan kufr dengan penolakan untuk bermurah hati kepada orang lain. <br /><br />Dalam tulisannya yang lain, Tauhid dan Pembebasan, Esack juga menulis: kufr bukan hanya merupakan seperangkat keyakinan, tetapi juga sebuah pola perilaku. Kita tidak bisa bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid. Kita tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang lain). Sistem nilai dan standar perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko. <br /><br />Karenanya, Esack berpesan, agar tidak terjadi perlakuan tidak adil terhadap mereka yang tidak berlabel “Muslim”, maka ada beberapa hal penting yang mesti diindahkan, antara lain, pertama, yang dicela al-Qur’an sebagai kufr adalah perilaku bermusuhan terhadap Islâm dan Mulim, dalam pengertian tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasi keberadaan kolektif mereka atas dasar ketundukan ini. Kedua, al-Qur’an menggambarkan kâfir sebagai sosok yang mengetahui keesaan Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, namun memilih menolak mengakuinya. Ketiga, al-Qur’an juga spesifik soal motif keputusan kufr untuk menolak memegang keyakinan tertentu. Mereka memilih jalan kufr, karena pertimbangan material (QS al-Anbiyâ’: 53; QS al-Syu’arâ’: 74; QS Luqmân: 21); ikatan kesukuan (QS al-Zukhruf: 22); dan karena Islâm akan menggoyahkan tatanan sosial yang tidak adil (QS Ali Imrân: 21).<br /><br />4. Ahli Kitab<br /><br />Salah satu masalah pokok yang diungkap al-Qur’ân ialah Ahli Kitab. Secara umum, kaum Yahudi dan Nashrani, adalah komunitas yang ditunjuk al-Qur’ân sebagai Ahli Kitab. Dua komunitas itu secara jelas diketahui memiliki persambungan akidah dengan kaum Muslim. Bahkan Allah sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk memberikan pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan Injil (kitab suci agama Nashrani) serta mengopreksi sebagian lainnya. (Lihat QS Ali Imrân: 3; QS al-Mâ’idah: 48; dan QS al-An’âm: 92).<br /><br />Kendati demikian, sebenarnya al-Qur’ân sendiri memiliki konsep yang tidak selalu sama mengenai Ahli Kitab. QS Ali Imrân: 64 mengajak Ahli Kitab untuk mencari titik temu (kalimah sawâ’) dengan umat Islam. Mereka juga kelompok yang harus diperlakukan dengan baik (QS al-Ankabût: 46); sebagian dari mereka ada yang beriman kepada al-Qur’ân dan kitab-kitab lain (QS Ali Imrân: 113-115 dan 199); sebagian dari mereka juga ada yang mendapat kecaman dalam al-Qur’ân (QS al-Mâ’idah: 59, QS Ali Imrân: 69, QS al-Baqarah: 109); dan sembelihan dan wanita-wanita yang baik dari mereka halal bagi kaum Muslim (QS al-Mâ’idah: 5).<br /><br />Terkait persoalan Ahli Kitab, Esack mengatakan, posisi al-Qur’an terhadap Ahli Kitab dan bahkan pengertian tentang siapa yang disebut Ahli Kitab itu berkembang dalam beberapa fase. Memang ada kesepakatan bahwa istilah ini selalu ditujukan kepada kaum Yahudi dan Nashrani yang ditemui Nabi Muhammad selama misi kenabiannya. Al-Qur’an pada dasarnya hanya menyinggung perilaku dan keyakinan kaum Ahli Kitab yang benar-benar mengalami kontak sosial dengan masyarakat Muslim awal. Karenanya, menyamakan begitu saja kategori al-Qur’an tentang Ahli Kitab dengan kaum Yahudi dan Nashrani dalam masyarakat kontemporer, lanjut Esack, berarti mengabaikan realitas historis masyarakat Madinah, serta perbedaan teologis antara kaum Yahudi dan Nashrani yang dulu dan yang sekarang. <br /><br />Melalui pernyataan ini, tergambar jelas dalam benak kita bahwa Esack mencoba melakukan pembedaan secara tegas antara Yahudi dan Nashrani secara historis yang ditemui Nabi Muhammad di Madinah – ini yang banyak disebut al-Qur’an sebagai Ahli Kitab – dengan Yahudi dan Nashrani yang hidup saat ini. Karena itu, pada kesempatan lain, Esack menyatakan: “ada beberapa masalah dalam membahas Ahli Kitab sebagai kelompok agama kontemporer yang dianggap sama dengan yang dimaksud al-Qur’an.” Esack sendiri tampaknya tidak terlalu mementingkan klaim-klaim Ahli Kitab atau bukan Ahli Kitab itu. Bagi Esack, yang jauh lebih penting adalah bagaimana hubungan antara pemeluk agama yang berbeda bisa terajut dengan harmonis, apakah itu dengan Ahli Kitab atau dengan pemeluk agama yang lain. <br /><br />Sebab itu pula, pada kesempatan lain Esack menyatakan, untuk menghindari penyamarataan (gagasan Ahli Kitab—red) ini, dibutuhkan gagasan yang jelas dari sumber-sumber keyakinan mereka, dengan berbagai nuansanya, yang mencirikan berbagai komunitas yang bertemu dengan kaum Muslim awal. Dalam disiplin tafsir, sejarah, maupun pemikiran hukum Islam, sambung Esack, tak ada satupun yang mendekati konsensus tentang identitas Ahli Kitab. Yang ada justeru perselisihan soal kelompok spesifik mana dari Yahudi dan Nashrani yang digolongkan Ahli Kitab. Terkadang, kaum Hindu, Buddha, Zoroaster, Magian, dan Sabiin dimasukkan atau dikeluarkan dari golongan Ahli Kitab, tergantung kecenderungan teologis penafsir. <br /><br />Gagasan Esack yang mencoba “membatasi” terma Ahli Kitab hanya pada kaum Yahudi dan Nashrani yang melakukan kontak sosial langsung dengan Nabi Muhammad, tampaknya bukan gagasan genuine dari Esack. Ternyata gagasan ini dapat kita runut persambungannya (selain pada ulama klasik tentunya, juga) pada gagasan Mohammed Arkoun. Menurut Arkoun, Ahli Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani yang harus dihadapi Nabi Muhammad di Makkah dan Madinah. Mereka disebut sebagai pemilik wahyu yang lebih awal, orang-orang yang dikasihi Allah sama dengan orang-orang Muslim, yang telah menerima wahyu yang baru. Karena itu pula, untuk menjembatani terma Ahli Kitab yang sudah tidak memadai untuk konteks saat ini, Arkoun lantas menawarkan terma baru Masyarakat Kitab. Sedang Esack sendiri tampaknya tidak menawarkan terma baru sebagaimana Arkoun.<br /><br />Yang jelas, seperti dikatakan Esack, al-Qur’an secara khusus mengakui Ahli Kitab sebagai komunitas sosioreligius yang sah. Ada sejumlah petunjuk di dalam al-Qur’an tentang legitimasi esensial ini. Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: <br /><br />وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ. (المؤمنون: 52).<br /><br />Artinya: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu.” (QS al-Mu’minûn: 52). <br /><br />Kedua, dalam dua bidang sosial yang penting, makanan dan perkawinan , sikap murah hati al-Qur’ân terlihat jelas: makanan “orang-orang yang diberi kitab” dinyatakan sebagai sah (halâl) bagi kaum Muslim dan makanan kaum Muslim sah bagi mereka (QS al-Mâ’idah: 5). Demikian pula pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli Kitab” (QS al-Mâ’idah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini menunjukkan secara sangat eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma dalam hubungan Muslim-kaum lain. <br /><br />Menariknya, menurut Esack, teks QS al-Mâ’idah: 5, menyebut wanita Ahli Kitab dengan cara yang sama dengan wanita beriman: <br /><br />الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ. (المائدة: 5).<br /><br />Artinya: “(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Alkitab sebelum kamu.” (QS al-Maidah: 5).<br /><br />Ayat ini menunjukkan, aturan kebolehan ini berkaitan dengan dinamika sosial komunitas Muslim awal dan dengan kebutuhan akan kepaduan komunitas. <br />Ketiga, dalam bidang hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nashrani diakui (QS al-Mâ’idah: 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi Muhammad ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka (QS al-Mâ’idah: 42-43). <br /><br />D. Khatimah<br /><br />Maulana Farid Esack acap berpesan: “Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan panggilan kaum tertindas sama dengan mengabaikan penggilan Allah.” Jelas, ini ungkapan yang sakral bagi Esack dan mendasari seluruh bangunan pemikirannya. Dalam seluruh pernik-pernik gagasannya, Esack selalu menekankan keberiringan hubungan antara langit (baca: Tuhan) dengan bumi (baca: makhluk) atau dalam bahasa yang lain antara keimanan dengan amal saleh. Dan runutan gagasan ini, bisa disibak melalui sejarah hidupnya sebagai orang yang tertindas.<br /><br />Sebab itu pula, semua gagasannya bisa dibaca secara utuh melalui perspektif seorang tertindas yang ingin melakukan pemberontakan atas ketertindasannya. Itu pulalah yang menyeret takdir dirinya sebagai pemikir muslim progresif. Kam min fiatin qalîlatin ghalabat fiatan katsîratan bi idznillâh. Pun demikian, satu hal yang perlu diperhatikan dalam-dalam, ternyata kebesaran seseorang – dalam hal ini Esack – tidak bisa serta-merta dilepaskan dari “bayang-bayang” kebesaran orang-orang sebelumnya. Wa Allâh al’lam.[] <br /><br />E. Referensi<br /><br />1. Referensi Buku<br />al-Baidhawi, Majmu’ah min al-Tafasir, Beirut, Dâr Ihyâ’ al-Turâts, Tth.<br />Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’ân dan Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2000. <br />Al-Syaukanî, Fath al-Qadîr, Beirut, Dâr al-Fikr, 1973.<br />Burhanuddin, Tafsir Liberatif dan Prinsip Wahyu Progresif: Perspektif Farid Esack dan Charles Kurzman Tentang Islam, Modernitas, dan Masa Lalu Yang Diciptakan, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatulah.<br />Cristian Troll, The Qur’anic View of Other Religions: Grounds for Living Together, Ttp, 1987.<br />Farid Esack, al-Qur’ân, Liberalisme, dan Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terj. Watung A. Budiman, Bandung, Mizan, 2000.<br />Farid Esack, On Being a Muslim, Yogyakarta, Ircisod, 2003.<br />Farid Esack, Tauhid dan Pembebasan, dalam Jurnal al-Huda, Vol. II, No. 6, 2002.<br />Irwandi, Membaca Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack, skripsi, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah.<br />Marzuki Wahid, Nomenklatur Islam: Problem Hermeneutika al-Qur’an dan Fakta Historis dalam dimuat Jurnal al-Burhan, No. 6, tahun 2005.<br />Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan al-Qur’ân, terj. Machasin, Jakarta, INIS, 1997.<br />Mohammed Arkoun, Pemikiran tentang Wahyu: Dari Ahli Kitab Sampai Masyarakat Kitab, dalam Jurnal Ulûm al-Qur’ân No. 2, Vol. IV, 1993.<br />Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairi, Shahîh Muslim, Beirut, Dâr al-Fikr, Tth. <br />Nurcholish Madjid, Fikih Lintas Agama, Jakarta, Paramadina, 2004.<br />Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi Atas Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta, Bentang Budaya, 2000.<br />Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal, McGill University Press, 1966.<br /><br />2. Referensi website<br /><br />http://www.gusdur.net/<br />http://www.republika.co.id/<br />http://www.islamlib.com/<br />http://swaramuslim.net/. <br />http://www.qalam-online.com/Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-44034934259235277612007-11-22T02:41:00.000-08:002007-11-22T02:45:16.913-08:00Isi Lebih Toleran Ketimbang KulitProf. Dr. Kautsar Azhari Noer<br />Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta<br /><br />Ajaran yang menekankan isi akan lebih toleran, ketimbang yang mengedepankan kulit atau formalitas. Berikut pernyataan Guru Besar UIN Jakarta Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer kepada Nurul H. Maarif dan J. Widhi Cahya dari the WAHID Institute:<br /><br />Bagaimana pandangan tarekat di Indonesia terhadap perbedaan agama?<br />Umumnya toleran. Tapi kita tidak bisa menggeneralisir, karena aliran tarekat itu bermacam-macam. Itupun sangat tergantung gurunya. Ada guru yang sangat toleran dan ada yang kurang. <br /><br />Mengapa tarekat bisa toleran?<br />Umumnya yang toleran itu menganut doktrin wahdat al-wujud Ibn Araby. Doktrin ini sangat menekankan aspek esoteric dan tidak peduli bentuk. Bukan berarti bentuk itu tidak ada. Bentuk itu otomatis. Naqsabandiyyah, Syatariyyah, atau yang lain, yang menganut paham ini, mereka toleran. <br /><br />Mereka tidak pernah mempersoalkan agama formal?<br />Saya tidak berani mengatakan seperti itu. Yang jelas, mereka toleran pada non muslim. Sehingga non muslimpun bisa masuk ke sana. Ini banyak terjadi di Barat, kendati tidak semua. Di sana, ada beberapa tarekat yang mempersilahkan non muslim ikut berzikir atau berdoa bersama, tanpa menanyakan agamanya. Misalnya tarekat Maulawiyyah. Tarekat ini anggotanya banyak dari non muslim.<br /><br />Alasan filosofisnya apa? <br />Saya kira karena kelompok itu lebih menekankan esensi atau esoteric. Bentuk apa saja, Yahudi, Islam, Kristen, dan sebagainya, tapi toh esensinya sama. Orang bertauhid, itu tunduk pada Tuhan dan selalu merasakan kehadiran-Nya. Ini esensi yang perlu ditekankan. Waktu di Skotlandia, saya punya kawan dari Jerman. Dia mengaku ikut Tarekat Naqsabandiyyah di Eropa. Menariknya, dia agamanya Katolik dan dia tidak masuk Islam.<br /><br />Amalannya sama dengan yang muslim?<br />Sama saja! <br /><br />Anda pernah belajar tasawuf di Beshara Skotlandia. Bagaimana lembaga ini? <br />Ini lebih esoteric lagi. Di situ bentuk tidak diutamakan. Yahudi, Islam, Kristen, sekuler, atau apa saja, itu yang penting intinya. Jadi arahnya man 'arafa nafsahu fagad 'arafa rabbah. Beshara ini tidak ada silsilahnya. Ini pendidikan esoteric saja. Pendidikan spiritual yang tidak ada baiat dan tidak ada mursyid. Ini universal untuk siapa saja. <br /><br />Kitab apa yang diajarkan di sana?<br />Fushush al Hikam karya Syeikh al-Akbar Muhyidin Ibn Araby. Disamping itu juga dipelajari karya Jalaluddin Rumi, Tao dan Bhagavad-Gita. Orang kalau memahami Ibn Araby akan mudah memahami Upanishad dan Tao. Itu ketemu! <br /><br />Apakah lembaga spiritual modern (non tarekat) juga banyak yang toleran?<br />Tasawuf itu tidak harus punya lembaga. Intinya kan mendekatkan diri sedekatnya pada Allah. Tapi memang, orang akan lebih mudah melalui guru atau organisasi ketimbang belajar sendiri. Ibn Araby sendri punya guru sampai 70 orang lebih. Bahkan gurunya ada yang perempuan. Orang yang bisa menjalaninya tanpa guru itu punya bakat yang luar biasa. <br /><br />Anda pernah menulis, lembaga spiritual modern cenderung seperti lembaga bisnis?<br />Memang bisnis itu nggak haram. Itu terhormat. Sufi itu banyak yang pedagang. Saya mengritik, itu karena ada kecenderungan bisnisasi tasawuf. Tapi saya tidak pernah menuding lembaga atau orang yang membisniskan tasawuf. Itu kritik untuk hati-hati saja.<br /><br />Siapa tokoh tarekat di Indonesia yang toleran?<br />Kalau zaman dulu, itu banyak. Ada Abdus Shamad al-Palimbangi, Syamsuddin al-Sumatrani, dan banyak lagi. Pokoknya kalau yang diutamakan itu isi, itu lebih toleran ketimbang yang kulit. Hanya saja, biasanya orang lebih setia pada kulit ketimbang isi. Akibatnya membunuh orang atas nama agama.<br /><br />Dengan pengajaran tasawuf, Anda yakin konflik antar agama bisa selesai?<br />Bisa! Bisa! Cuma tidak semua orang bisa belajar tasawuf. Dan umumnya, orang berantem itu karena simbol. Abdul Karim Soroush menyatakan, Islam itu ada dua. Islam kebenaran dan Islam identitas. Islam kebenaran itu yang didakwahkan para nabi. Itu membawa kebenaran, bukan identitas. Kalau kita membawa Islam sebagai identitas, itu akan lebih mudah menyulut konflik antara sesama muslim, atau dengan non muslim. Masing-masing akan menonjolkan identitas. <br /><br />Harapan Anda?<br />Yang terpenting menghormati perbedaan. Kadang kita lupa, bahwa kita harus menghormati perbedaan.<br /><br />*Suplemen the WAHID Institute III di Majalah TEMPO, 25-31 Desember 2006Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-24451271.post-75433023783280671552007-11-22T00:05:00.000-08:002007-11-22T00:16:04.860-08:00Yang Diperkosa, Yang DicambukOleh Nurul H. Maarif<br /><br /><img src="http://www.gusdur.net/indonesia/images/stories/200612/2006-12-07-nurul-sp.jpg" align="left" hspace="6" alt="cah-elik" />Kabar memilukan tersiar dari Jeddah. Diberitakan Sydney Morning Herald, Kamis (22/11/2007), seorang wanita berusia 19 tahun dari Suku Syiah di Kota Qatif, Arab Saudi, diculik dan diperkosa 7 pria. Saat penculikan terjadi, ia sedang berdua-duaan bersama seorang pria yang bukan mahram-nya. Atas dasar ini, Dewan Pengadilan Tinggi Saudi memutuskan hukuman untuknya; cambuk 200 kali dan penjara 6 bulan. Sedang para pemerkosa hanya divonis antara 2 tahun dan 9 tahun penjara, tanpa hukuman cambuk secuilpun. Adilkah?<br /><br />Ada beberapa hal yang penting dibaca dari peristiwa ini. Pertama, hukum seharusnya (lebih) disasarkan pada pelaku bukan korban. Apalagi hukuman di atas, jelas sangat berat bagi korban dan sangat ringan bagi pelaku. Mungkin para pengadil di sana berasumsi, wanita itulah "penyebab" atau "pemancing" terjadinya perkosaan itu. Dan, "penyebab" atau "pemancing" tak seharusnya luput dari hukuman. Asumsi ini seharusnya dihilangkan dalam kontek ini, karena berarti memojokkan perempuan. Seakan-akan perempuan adalah biang kejahatan, hingga dalam keadaan terjepitpun masih saja dianggap salah. Ini jelas paradigma bias yang perlu dikoreksi. <br /><br />Kedua, soal berdua-duaan dengan lawan jenis non-mahram yang juga dijadikan dasar penghukuman, itupun debatable. Ketentuan di Saudi Arabia, barangkali juga di Serambi Makkah Aceh, orang yang ketahuan berdua-duaan dengan non-mahram sudah mengharuskannya kena hukuman. Pertanyaannya: apakah ketentuan ini ada presedennya dalam hukum Islam? Memang Rasulullah SAW pernah menyatakan, "la yakhluwanna ahadukum (sebagian riwayat: rajulun) bi imratin illa ma'a dzi mahramin/jangan kalian bersepi-sepian dengan perempuan kecuali beserta mahram-nya" (HR. al-Bukhari). Adakah preseden hukum, cambuk misalnya, di dalam sabda Nabi Muhammad SAW ini? Bukankah ini tak lebih sebagai "warning" untuk kehati-hatian belaka? <br /><br />Ketiga, wanita itu berlatar suku Syiah di Kota Qatif, Arab Saudi, sedang pengadil berlatar kelompok Sunni. Jangan sampai, apa yang terjadi pada wanita malang ini tersebab faktor primordialitas aliran keagamaan! Yang dianggap "berbeda" -- kendati belum klir kesalahannya -- dikenai hukuman sekerasnya dan yang dianggap "kelompok" -- kendati telah klir kesalahannya -- dikenai hukuman seringannya. Kira-kira, apa alasan para pelaku tidak dikenai hukuman cambuk, padahal hukum di sana mengharuskan demikian atau bahkan lebih berat dari sekedar cambuk?<br /><br />Seharusnya, keadilan ditegakkan di atas kepentingan apapun. Allah SWT berfirman, "I'dilu huwa aqrab li al-taqwa/berbuat adillah, karena keadilan lebih dekat pada ketakwaan" (Qs. al-Maidah: 8). Jika tidak, umat ini niscaya rusak, sebagaimana sinyalemen Rasulullah SAW terkait rusaknya umat terdahulu; jika yang melanggar hukum kelompok sendiri (orang kuat) maka akan diringankan hukumannya, tapi jika yang melanggar hukum kelompok lain (orang lemah) maka akan diberatkan hukumannya. Inilah, antara lain, tercermin dari kisah Fatimah al-Makhzumiyyah si bangsawan pencuri bokor emas, yang membuat Nabi Muhammad SAW murka.<br /><br />Keempat, tidak seharusnya pengadilan memutuskan hukuman bagi orang yang belum tentu bersalah. Ada adagium, "lebih baik salah melepas penjahat, daripada salah memenjarakan orang yang benar" atau "lebih baik salah memberi pemaafan, ketimbang salah menjatuhkan hukuman". Bahkan kisah Maiz bin Malik, menunjukkan betapa Rasulullah SAW sangat berat memutuskan hukum, hatta kepada pelaku kejahatan yang mengakuinya dengan jujur.<br /><br />Dikisahkan, Maiz bin Malik, meminta Rasulullah SAW untuk membersihkan dirinya dari dosa. Berkali-kali permintaannya ditolak. Baru pada yang keempat kalinya, pengakuan jujurnya telah berbuat zina dipertimbangkan oleh baginda. Itupun Rasulullah SAW tak serta-merta menghukumnya. Masih ada keraguan, benarkah pengakuan valid? Atau hanya sensasi? Karena itu, kondisi kejiwaan, saksi, apakah coitus itu betul-betul terjadi dan sebagainya, diperiksa dengan super teliti oleh baginda, sampai akhirnya hukuman rajam dijatuhkan. <br /><br />Kisah yang diriwayatkan Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi dalam Shahih Muslim-nya itu memberi pelajaran penting; kepada orang yang jelas-jelas mengaku berbuat kejahatan dan meminta dihukum saja sanksi tidak bisa serta-merta dijatuhkan, apalagi kepada orang yang baru diduga bersalah. Hakim haruslah hati-hati, karena satu kakinya tergantung di surga dan satu kakinya lagi tergantung di neraka. <br /><br />Untuk itu, hendaknya semua ini menjadi pelajaran. Jangan sampai korban yang seharusnya mendapat perlindungan hukum, justru menerima sanski atas tuduhan yang tidak jelas. Sudah jatuh tertimpa tangga! Wa Allah a'lam.[]<br /><br />*www.gusdur.net, Kamis, 22 November 2007.Nurul Huda Maarifhttp://www.blogger.com/profile/15905293921613962623noreply@blogger.com0